Tragedi Karbala: Kisah Pasukan Yazid yang Membelot setelah Mendengar Pidato dan Doa Husein
loading...
A
A
A
Pertempuran Karbala terjadi pada 10 Muharram, tahun ke-61 dari Kalender Hijriah (10 Oktober 680) di Karbala, yang sekarang terletak di Irak. Hari pertempuran juga dikenal sebagai Hari Asyura . Pertempuran terjadi antara pendukung dan keluarga dari cucu Muhammad, Husein bin Ali dengan pasukan militer yang dikirim oleh Yazid bin Muawiyah, Kekhalifahan Umayyah pada saat itu.
Mahmoud Syarifi dalam "Ensiklopedia kata-kata Imam Al-Hussein (as)" menyebutkan alasan Yazid bin Muawiyah berperang adalah karena Husein bin Ali tidak berjanji setia kepadanya. Husein bin Ali menganggap alasan dan kekuasaan Yazid tidak sah dan bertentangan dengan Perjanjian Hasan–Mu'awiyah, yang diwarisi Yazid.
Husein menyebutkan alasan bahaya penghancuran Islam oleh Yazid dan kurangnya kesetiaan seseorang seperti dia kepada seseorang seperti Yazid.
Menjelang pertempuran, pada saat kedua pasukan saling berhadap-hadapan banyak kejadian yang menarik. Husein masih sempat pidato dan berdoa agar pasukan Yazid sadar akan kekeliruannya. Selain itu, ada anggota pasukan Yazid yang mati karena jatuh dan diseret kudanya. Lalu ada juga yang sadar, lalu membelot ke pihak Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Usai pidato, Husein turun dari punggung kuda dan memberikan tali kekangnya kepada Uqbah bin Salman. Namun, kata-kata dan nasihat itu dibalas dengan lemparan tombak oleh pasukan Yazid yang kebanyakan dari Kufah. Tak lama kemudian, seorang bernama Abdullah bin Hauzah At-Tamimi dengan suara lantang berseru: “Hei kelompok Khawarij, adakah Husein di antara kalian?”
Para sahabat menjawab: “Ya, Husein di sini. Apa maumu?”
Ibn Hauzah kembali berseru: “Hai Husein! Berbahagailah karena sebentar lagi engkau akan masuk neraka.”
Sayyidina Husein menjawab: “Aku akan segera bertemu dengan Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang. Siapakah engkau?”
Abdullah menjawab: “Aku adalah anak Hauzah At-Tamimi.”
Husein lantas mengangkat tangannya dan berdoa: “Ya Allah kirimlah ia ke neraka.”
Mendengar doa Sayyidina Husein, Abdullah marah dan serta merta menghentakkan kudanya menuju beliau. Mendadak kuda yang dinaikinya terbentur batu dan jatuh sehingga membuat penunggangnya terpental ke tanah dengan kaki yang masih terikat di tubuh kuda. Kuda itu bangkit dan berlari kesana-kemari menyeret penunggangnya. Tak ayal, tubuh dan kepala Abdullah At-Tamimi berkali-kali membentur bebatuan sahara Karbala.
Abdullah tewas secara mengenaskan dan Allah telah mengirimnya ke neraka. Mas’ud bin Wail Al-Hadhrami yang berada di barisan depan pasukan berkuda pimpinan Umar bin Sa’ad menyaksikan kejadian itu dari dekat. Tanpa banyak berpikir, dia mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan pasukan Kufah.
Dalam hati dia berkata: “Demi Allah aku tidak akan pernah memerangi keluarga Nabi. Sebab mereka memiliki kedudukan dan derajat yang tinggi di sisi Allah.”
Zuhair bin Al-Qain mendatangi Imam Husein dan meminta izin untuk berbicara dengan pasukan Kufah. Imam mengizinkan. Sahabat setia Imam Husein itu segera bangkit dan berdiri menghadap pasukan musuh. Dengan suara lantang, Zuhair berseru:
“Wahai warga Kufah! Takutlah kalian akan azab Allah. Aku berdiri di sini untuk menyampaikan nasihat kepada kalian, sebab kalian memiliki hak untuk mendengarkannya dariku. Sampai saat ini, kita masih terikat dalam persaudaraan seagama. Tali ikatan ini tetap ada selama pedang belum memisahkannya. Tetapi ketika pedang sudah berbicara, kita akan terpisah menjadi dua kelompok yang berbeda."
"Ketahuilah bahwa Allah telah menjadikan keluarga Rasul-Nya sebagai ujian bagi kalian, bagaimana kalian memperlakukan mereka. Allah telah melarang kalian untuk tunduk dan patuh kepada kaum durjana seperti Yazid dan Ubadillah bin Ziyad."
"Dia pulalah yang memerintahkan kalian untuk membela anak cucu Rasulullah. Jika tidak, tak lama lagi kaum durjana itu akan mencungkil mata kalian, memotong kaki dan tangan kalian serta menggantung tubuh kalian di batang kurma.”
Nasihat Zuhair dibalas dengan makian. Pasukan Kufah tetap bersikeras untuk tidak meninggalkan medan perang sebelum berhasil membantai Imam Husein dan para sahabatnya atau membawa mereka dengan tangan terbelenggu kepada Ibnu Ziyad.
Zuhair kembali angkat suara: “Demi Allah, anak-anak Fathimah lebih baik untuk dicintai dan dibela daripada anak Sumaiyyah. Jika enggan membela Husein, sebaiknya kalian tinggalkan medan ini.”
Tiba-tiba sebuah anak panah yang dibidikkan oleh Syimr bin Dzil Jausyan melesat ke arah Zuhair “Diam kau,” hardik Syimr. “Kata-katamu membuat kami lelah.”
Kepada Syimr, Zuhair bin Al-Qain berkata: “Hei Syimr! aku tidak berbicara denganmu. Sebab kau tak lebih dari seekor binatang. Demi Allah, aku menduga bahwa engkau tidak memahami satu ayatpun dari Al-Qur’an. Tunggulah kehinaanmu di hari kiamat kelak.”
Lagi-lagi Syimr berujar: “Sebentar lagi Tuhan akan membunuhmu bersama tuanmu itu.”
Zuhair menjawab: “Engkau menakut-nakutiku dengan kematian? Demi Allah kematian bersama Husein lebih menyenangkan dari hidup bersama kalian.”
Zuhair kembali mengarahkan pembicaraannya kepada pasukan Kufah: “Wahai hamba-hamba Allah, sadarlah, jangan sampai orang ini menjauhkan kalian dari agama Allah! Demi Tuhan, syafaat keluarga Muhammad tidak akan didapatkan oleh mereka yang membunuh anak cucu Rasul dan membantai para pembela mereka.”
Salah seorang sahabat Imam Husein berkata kepada Zuhair: “Wahai Zuhair, sungguh engkau bagaikan seorang Mukmin berada di keluarga Fir’aun dengan memberikan nasihatmu kepada mereka. Semoga Allah membalasmu dengan balasan yang baik.”
Burair bin Khudhair adalah seorang berusai lanjut yang dikenal zuhud, ahli ibadah, qari’ terkenal di Kota Kufah dan sangat dihormati oleh kabilah Bani Hamdan. Burair meminta izin Imam Husein untuk berbicara dengan pasukan Kufah yang sudah gelap mata.
Setelah mendapat restu dari cucu Nabi itu, Burair mengatakan: “Wahai penduduk Kufah, Allah telah mengutus Muhammad untuk menunjukkan agama yang lurus. Beliau telah memberikan petunjuk dan mengajak umat kepada jalan Allah. Risalahnya bagaikan pelita yang menerangi kegelapan."
"Ketahuilah bahwa mereka yang kini berada di hadapan kalian adalah anak cucu sang Nabi. Karenanya, dengan alasan apakah kalian menghalang
mereka mengambil air sungai Furat?”
Pasukan Kufah menjawab: “Hei Burair! singkat saja, kami bersumpah untuk membuat Husein kehausan dan merasakan dahaga yang tidak akan pernah dialami oleh orang selain dia.”
Burair kembali mengingatkan mereka: “Risalah dan pesan kenabian ada di tengah-tengah kalian yaitu keluarganya. Karena itu, pikirkan bagaimana kalian mesti bersikap terhadap mereka.”
Pasukan Ibnu Ziyad menjawab: “Yang kami inginkan adalah Husein mau tunduk kepada perintah gubernur Kufah Ubaidillah bin Ziyad.”
“Celaka kalian,” sergah Burair. “Lupakah kalian bahwa kalian telah menulis surat kepada junjunganku Husein dan menyatakan sumpah setia untuk berkorban demi beliau?"
"Saat ini setelah Husein bersedia menjawab panggilan itu dan datang bersama sahabat-sahabatnya untuk memenuhi ajakan kalian, kalian malah menjual mereka kepada Ibnu Ziyad! Alangkah buruknya perlakuan kalian terhadap anak cucu Rasulullah. Semoga Allah membuat kalian kehausan di hari pembalasan nanti.”
Terdengar celoteh dari barisan musuh: “Hei Burair, kami tidak mengerti apa yang kau katakan.”
Burair menjawab: “Puji syukur kepada Tuhan yang telah menunjukkan kepadaku siapakah kalian sebenarnya. Ya Allah, aku berlepas tangan dari perbuatan mereka. Tuhanku, balaslah kejahatan yang dilakukan oleh kelompok ini dengan kehinaan saat mereka menghadap-Mu dan jatuhkanlah laknat dan kemurkaan-Mu atas mereka.”
Setelah Burair berhenti berbicara puluhan anak panah menerjah ke arahnya. Burair kembali ke posisinya semula di barisan Imam Husein as.
Sayidina Husein meminta kudanya. Setelah duduk di atas punggung kuda, beliau kembali menghadap pasukan Kufah. Sambil meletakkan sebuah naskah Al-Qur’an di atas kepalanya Imam Husein berkata:
“Wahai penduduk Kufah, antara kita ada kitab suci Tuhan dan sunnah kakekku Rasulullah.Tahukah kalian bahwa pakaian yang melekat di tubuhku ini adalah pakaian Nabi? Tahukah kalian bahwa pedang dan perisai yang aku bawa adalah milik kakekku, Rasululah?”
Pasukan musuh membenarkan kata-kata Imam Husein. Menyaksikan itu beliau bertanya: “Kalau begitu, apa alasan kalian memerangiku?”
“Ketaatan kepada gubernur Ubaidillah bin Ziyad,” jawab mereka.
Mendengar jawaban itu, Imam berkata, “Celaka kalian yang telah berbaiat kepada orang seperti dia dan mengacungkan pedang ke arah kami. Celaka kalian yang memilih untuk menjadi pembela musuh-musuh Allah yang tidak akan berlaku adil terhadap kalian. Mengapa kalian justru memerangi keluarga Rasul di saat pedang kaum durjana menguasai kalian dan untuk selanjutnya orang-orang zalim itu akan mengotori dunia dengan kezaliman mereka."
"Celakalah kalian yang telah mencampakkan kitabullah dan mengubah-ubah kandungannya. Mengapa kalian patuh kepada para pengikut setan, pendosa, durjana dan pelanggar ajaran Rasul?"
"Mengapa kalian justru mengikuti mereka serta meninggalkan dan tidak membela kami, keluarga Rasul?"
"Demi Allah, bukan kali ini saja kalian melanggar sumpah setia. Kehidupan kalian sarat dengan pengkhianatan yang telah menyatu dengan kepribadian kalian."
"Ketahuilah bahwa Ibnu Ziyad telah memberiku dua pilihan. Kehinaan atau pembantaian. Kami tidak akan pernah memilih kehinaan. Sebab Allah, kaum mukiminin dan semua orang bijak tidak akan merelakanku memilih kehinaan. Mereka tidak akan menerima alasanku mengikuti orang-orang durjana itu."
"Kini aku bersama sanak keluarga dan sahabat-sahabatku yang berjumlah kecil ini bangkit untuk berjuang di jalan Allah dan siap untuk meneguk cawan syahadah."
"Wahai penduduk Kufah, ketahuilah bahwa setelah ini kalian tidak akan hidup lama. Inilah yang diberitahukan oleh ayahku dari kakekku Rasulullah. Wahai warga Kufah! pikirkanlah untuk selanjutnya selesaikan segera urusan ini."
"Ketahuilah bahwa Husein hanya berharap kepada Allah yang Maha Besar, sebab tak ada satupun makhluk yang hidup, kecuali seluruh urusan dan kehidupannya ada di tangan Allah. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.”
Kemudian Imam Husein membawakan bait-bait syair Farwat bin Masik Al-Muradi, salah seorang sahabat Nabi:
“Wahai kalian semua, jika kami menang itu sudah tradisi.
Namun jika kami hancur ketahuilah bahwa kami tidak akan kalah.
Jika kami berhasil membunuh, kemenangan ada pada kami, dan jika kami terbunuh kami tetap menang.
Kami bukanlah pengecut dan berhati lemah.
Kami adalah jawara dan pemberani.
Jika kami terbunuh berarti itulah saat kesyahidan dan pengorbanan kami.
Ketika kematian tidak menjemput suatu kaum, berarti ketika itu ia sedang merenggut kaum yang lain.”
Inilah hari yang ditentukan bagi kami dan para pembela kami.
Jika para tokoh dunia kekal kamipun pasti akan kekal, sebab kami adalah pemuka umat manusia.
Jika para pemimpin meninggalkan dunia ini menuju ke alam keabadian, kamipun juga akan berjalan menuju ke sana.”
Imam Husein mengangkat kedua tangannya dan berdoa: “Ya Allah, jangan kau siramkan hujan rahmat-Mu kepada kaum ini. Buatlah mereka hidup di bawah kekuasaan para durjana. Dudukkanlah budak dari Bani Tsaqif itu untuk menguasai mereka dan memberi mereka rasakehinaan. Engkau tahu bahwa Husein selalu berserah diri dan bertawakkal kepadaMu. Engkaulah tempat kami semua kembali.”
Sayidina Husein mengarahkan pembicaraannya kepada komandan pasukan musuh, Umar bin Saad: “Hei Umar! Apa engkau mengira dengan membunuhku engkau akan diangkat menjadi gubernur Ray dan Gurgaon?"
"Demi Allah engkau tidak akan mendapatkan impian itu. Kini lakukan apa maumu.Tapi ingat, bahwa setelah kematianku, engkau tidak akan mengalami saat bahagia sama sekali. Aku menyaksikan anak-anak kecil di Kufah yang bermain-main dan melempari kepalamu.”
Umar bin Saad naik pitam. Hurr bin Yazid Ar-Riyahi berdiri di sisi Umar bin Sa'ad dan mendengarkan kata-kata Imam Husein dengan seksama. Dia melirik ke arah Ibnu Saad dan berkata: “Hei Ibnu Saad! Apakah engkau memang berniat membantai Husein?”
“Ya,” jawab Umar. “Demi Allah aku akan menggempur kelompok itu, setidaknya aku bisa memenggal kepala dan memotong tangan Husein.”
Hurr bertanya lagi: “Apakah engkau sudah memikirkan apa yang dikatakan Husein tadi?”
Ibnu saad menjawab: “Ya. Jika aku bisa, tentu aku akan menerima kata-katanya. Tapi Ubaidullah bin Ziyad menekankan untuk menghabisinya. Aku tidak punya pilihan lain.”
Hurr memalingkan pandangan ke arah orang-orang di sekitarnya. Pandangannya tertumpu kepada Qurrah bin Qais yang berada di sampingnya. Kepadanya Hurr berkata, “Hei Qurrah, sudahkah engkau memberi minum kudamu?”
“Belum,” jawabnya.
Hurr berkata lagi, “Apakah engkau tidak mau memberinya minum?”
Kata-kata Hurr dicermati oleh Qurrah. Ia bisa menangkap maksud Hurr. Qurrah menduga bahwa Hurr berniat memisahkan diri dari barisan pimpinan Umar bin Saad tanpa harus diketahui orang lain.
Secepat kilat Hurr melesat ke arah perkemahan Imam Husein. Di tengah jalan ia dihadang oleh Muhajir bin Aus. Muhajir berseru memanggil Hurr, “Hei Hurr, apakah engkau berniat menyerang Husein sekarang?”
Muhajir yang menyaksikan tubuh Hurr yang menggigil dan wajahnya yang pucat pasi bertanya, “Hurr, ada apa denganmu? Mengapa badanmu gemetar seperti ini. Padahal jika ada yang bertanya kepadaku siapakah jawara Kufah aku pasti akan menyebutkan namamu?”
Hurr menjawab: “Muhajir, aku berada di persimpangan jalan, jalan ke surga dan jalan ke neraka, dan aku harus memilih salah satunya. Demi Allah aku hanya menginginkan surga meski harus dibakar hidup-hidup.”
Selepas mengucapkan kata-kata itu, Hurr melesat ke arah perkemahan Imam Husien dengan kepala tertunduk malu.
Dengan airmata yang membasahi pipinya, Hurr berseru, “Ya Allah, aku datang untuk menebus semua kesalahanku dan bertaubat kepada-Mu. Terimalah taubatku ini. Akulah yang telah melukai hati sanak kelurga Rasul.”
Kepada Imam Husein as, Hurr mengatakan, “Aku menyesali semua kesalahanku. Apakah taubatku bisa diterima? Ya Allah aku bertaubat kepada-Mu.”
Sayidina Husein menjawab, “Ya, Allah menerima taubatmu.”
Hurr berkata lagi, “Saat meninggalkan Kufah, aku mendengar suara yang memberiku kabar gembira akan surga. Dan kini aku berkata sendiri dalam hati, celaka aku yang telah diberi kabar gembira tentang surga tapi berniat memerangi cucu Rasulullah.”
Mahmoud Syarifi dalam "Ensiklopedia kata-kata Imam Al-Hussein (as)" menyebutkan alasan Yazid bin Muawiyah berperang adalah karena Husein bin Ali tidak berjanji setia kepadanya. Husein bin Ali menganggap alasan dan kekuasaan Yazid tidak sah dan bertentangan dengan Perjanjian Hasan–Mu'awiyah, yang diwarisi Yazid.
Husein menyebutkan alasan bahaya penghancuran Islam oleh Yazid dan kurangnya kesetiaan seseorang seperti dia kepada seseorang seperti Yazid.
Menjelang pertempuran, pada saat kedua pasukan saling berhadap-hadapan banyak kejadian yang menarik. Husein masih sempat pidato dan berdoa agar pasukan Yazid sadar akan kekeliruannya. Selain itu, ada anggota pasukan Yazid yang mati karena jatuh dan diseret kudanya. Lalu ada juga yang sadar, lalu membelot ke pihak Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Usai pidato, Husein turun dari punggung kuda dan memberikan tali kekangnya kepada Uqbah bin Salman. Namun, kata-kata dan nasihat itu dibalas dengan lemparan tombak oleh pasukan Yazid yang kebanyakan dari Kufah. Tak lama kemudian, seorang bernama Abdullah bin Hauzah At-Tamimi dengan suara lantang berseru: “Hei kelompok Khawarij, adakah Husein di antara kalian?”
Para sahabat menjawab: “Ya, Husein di sini. Apa maumu?”
Ibn Hauzah kembali berseru: “Hai Husein! Berbahagailah karena sebentar lagi engkau akan masuk neraka.”
Sayyidina Husein menjawab: “Aku akan segera bertemu dengan Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang. Siapakah engkau?”
Abdullah menjawab: “Aku adalah anak Hauzah At-Tamimi.”
Husein lantas mengangkat tangannya dan berdoa: “Ya Allah kirimlah ia ke neraka.”
Mendengar doa Sayyidina Husein, Abdullah marah dan serta merta menghentakkan kudanya menuju beliau. Mendadak kuda yang dinaikinya terbentur batu dan jatuh sehingga membuat penunggangnya terpental ke tanah dengan kaki yang masih terikat di tubuh kuda. Kuda itu bangkit dan berlari kesana-kemari menyeret penunggangnya. Tak ayal, tubuh dan kepala Abdullah At-Tamimi berkali-kali membentur bebatuan sahara Karbala.
Abdullah tewas secara mengenaskan dan Allah telah mengirimnya ke neraka. Mas’ud bin Wail Al-Hadhrami yang berada di barisan depan pasukan berkuda pimpinan Umar bin Sa’ad menyaksikan kejadian itu dari dekat. Tanpa banyak berpikir, dia mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan pasukan Kufah.
Dalam hati dia berkata: “Demi Allah aku tidak akan pernah memerangi keluarga Nabi. Sebab mereka memiliki kedudukan dan derajat yang tinggi di sisi Allah.”
Zuhair bin Al-Qain mendatangi Imam Husein dan meminta izin untuk berbicara dengan pasukan Kufah. Imam mengizinkan. Sahabat setia Imam Husein itu segera bangkit dan berdiri menghadap pasukan musuh. Dengan suara lantang, Zuhair berseru:
“Wahai warga Kufah! Takutlah kalian akan azab Allah. Aku berdiri di sini untuk menyampaikan nasihat kepada kalian, sebab kalian memiliki hak untuk mendengarkannya dariku. Sampai saat ini, kita masih terikat dalam persaudaraan seagama. Tali ikatan ini tetap ada selama pedang belum memisahkannya. Tetapi ketika pedang sudah berbicara, kita akan terpisah menjadi dua kelompok yang berbeda."
"Ketahuilah bahwa Allah telah menjadikan keluarga Rasul-Nya sebagai ujian bagi kalian, bagaimana kalian memperlakukan mereka. Allah telah melarang kalian untuk tunduk dan patuh kepada kaum durjana seperti Yazid dan Ubadillah bin Ziyad."
"Dia pulalah yang memerintahkan kalian untuk membela anak cucu Rasulullah. Jika tidak, tak lama lagi kaum durjana itu akan mencungkil mata kalian, memotong kaki dan tangan kalian serta menggantung tubuh kalian di batang kurma.”
Nasihat Zuhair dibalas dengan makian. Pasukan Kufah tetap bersikeras untuk tidak meninggalkan medan perang sebelum berhasil membantai Imam Husein dan para sahabatnya atau membawa mereka dengan tangan terbelenggu kepada Ibnu Ziyad.
Zuhair kembali angkat suara: “Demi Allah, anak-anak Fathimah lebih baik untuk dicintai dan dibela daripada anak Sumaiyyah. Jika enggan membela Husein, sebaiknya kalian tinggalkan medan ini.”
Tiba-tiba sebuah anak panah yang dibidikkan oleh Syimr bin Dzil Jausyan melesat ke arah Zuhair “Diam kau,” hardik Syimr. “Kata-katamu membuat kami lelah.”
Kepada Syimr, Zuhair bin Al-Qain berkata: “Hei Syimr! aku tidak berbicara denganmu. Sebab kau tak lebih dari seekor binatang. Demi Allah, aku menduga bahwa engkau tidak memahami satu ayatpun dari Al-Qur’an. Tunggulah kehinaanmu di hari kiamat kelak.”
Lagi-lagi Syimr berujar: “Sebentar lagi Tuhan akan membunuhmu bersama tuanmu itu.”
Zuhair menjawab: “Engkau menakut-nakutiku dengan kematian? Demi Allah kematian bersama Husein lebih menyenangkan dari hidup bersama kalian.”
Zuhair kembali mengarahkan pembicaraannya kepada pasukan Kufah: “Wahai hamba-hamba Allah, sadarlah, jangan sampai orang ini menjauhkan kalian dari agama Allah! Demi Tuhan, syafaat keluarga Muhammad tidak akan didapatkan oleh mereka yang membunuh anak cucu Rasul dan membantai para pembela mereka.”
Salah seorang sahabat Imam Husein berkata kepada Zuhair: “Wahai Zuhair, sungguh engkau bagaikan seorang Mukmin berada di keluarga Fir’aun dengan memberikan nasihatmu kepada mereka. Semoga Allah membalasmu dengan balasan yang baik.”
Burair bin Khudhair adalah seorang berusai lanjut yang dikenal zuhud, ahli ibadah, qari’ terkenal di Kota Kufah dan sangat dihormati oleh kabilah Bani Hamdan. Burair meminta izin Imam Husein untuk berbicara dengan pasukan Kufah yang sudah gelap mata.
Setelah mendapat restu dari cucu Nabi itu, Burair mengatakan: “Wahai penduduk Kufah, Allah telah mengutus Muhammad untuk menunjukkan agama yang lurus. Beliau telah memberikan petunjuk dan mengajak umat kepada jalan Allah. Risalahnya bagaikan pelita yang menerangi kegelapan."
"Ketahuilah bahwa mereka yang kini berada di hadapan kalian adalah anak cucu sang Nabi. Karenanya, dengan alasan apakah kalian menghalang
mereka mengambil air sungai Furat?”
Pasukan Kufah menjawab: “Hei Burair! singkat saja, kami bersumpah untuk membuat Husein kehausan dan merasakan dahaga yang tidak akan pernah dialami oleh orang selain dia.”
Burair kembali mengingatkan mereka: “Risalah dan pesan kenabian ada di tengah-tengah kalian yaitu keluarganya. Karena itu, pikirkan bagaimana kalian mesti bersikap terhadap mereka.”
Pasukan Ibnu Ziyad menjawab: “Yang kami inginkan adalah Husein mau tunduk kepada perintah gubernur Kufah Ubaidillah bin Ziyad.”
“Celaka kalian,” sergah Burair. “Lupakah kalian bahwa kalian telah menulis surat kepada junjunganku Husein dan menyatakan sumpah setia untuk berkorban demi beliau?"
"Saat ini setelah Husein bersedia menjawab panggilan itu dan datang bersama sahabat-sahabatnya untuk memenuhi ajakan kalian, kalian malah menjual mereka kepada Ibnu Ziyad! Alangkah buruknya perlakuan kalian terhadap anak cucu Rasulullah. Semoga Allah membuat kalian kehausan di hari pembalasan nanti.”
Terdengar celoteh dari barisan musuh: “Hei Burair, kami tidak mengerti apa yang kau katakan.”
Burair menjawab: “Puji syukur kepada Tuhan yang telah menunjukkan kepadaku siapakah kalian sebenarnya. Ya Allah, aku berlepas tangan dari perbuatan mereka. Tuhanku, balaslah kejahatan yang dilakukan oleh kelompok ini dengan kehinaan saat mereka menghadap-Mu dan jatuhkanlah laknat dan kemurkaan-Mu atas mereka.”
Setelah Burair berhenti berbicara puluhan anak panah menerjah ke arahnya. Burair kembali ke posisinya semula di barisan Imam Husein as.
Sayidina Husein meminta kudanya. Setelah duduk di atas punggung kuda, beliau kembali menghadap pasukan Kufah. Sambil meletakkan sebuah naskah Al-Qur’an di atas kepalanya Imam Husein berkata:
“Wahai penduduk Kufah, antara kita ada kitab suci Tuhan dan sunnah kakekku Rasulullah.Tahukah kalian bahwa pakaian yang melekat di tubuhku ini adalah pakaian Nabi? Tahukah kalian bahwa pedang dan perisai yang aku bawa adalah milik kakekku, Rasululah?”
Pasukan musuh membenarkan kata-kata Imam Husein. Menyaksikan itu beliau bertanya: “Kalau begitu, apa alasan kalian memerangiku?”
“Ketaatan kepada gubernur Ubaidillah bin Ziyad,” jawab mereka.
Mendengar jawaban itu, Imam berkata, “Celaka kalian yang telah berbaiat kepada orang seperti dia dan mengacungkan pedang ke arah kami. Celaka kalian yang memilih untuk menjadi pembela musuh-musuh Allah yang tidak akan berlaku adil terhadap kalian. Mengapa kalian justru memerangi keluarga Rasul di saat pedang kaum durjana menguasai kalian dan untuk selanjutnya orang-orang zalim itu akan mengotori dunia dengan kezaliman mereka."
"Celakalah kalian yang telah mencampakkan kitabullah dan mengubah-ubah kandungannya. Mengapa kalian patuh kepada para pengikut setan, pendosa, durjana dan pelanggar ajaran Rasul?"
"Mengapa kalian justru mengikuti mereka serta meninggalkan dan tidak membela kami, keluarga Rasul?"
"Demi Allah, bukan kali ini saja kalian melanggar sumpah setia. Kehidupan kalian sarat dengan pengkhianatan yang telah menyatu dengan kepribadian kalian."
"Ketahuilah bahwa Ibnu Ziyad telah memberiku dua pilihan. Kehinaan atau pembantaian. Kami tidak akan pernah memilih kehinaan. Sebab Allah, kaum mukiminin dan semua orang bijak tidak akan merelakanku memilih kehinaan. Mereka tidak akan menerima alasanku mengikuti orang-orang durjana itu."
"Kini aku bersama sanak keluarga dan sahabat-sahabatku yang berjumlah kecil ini bangkit untuk berjuang di jalan Allah dan siap untuk meneguk cawan syahadah."
"Wahai penduduk Kufah, ketahuilah bahwa setelah ini kalian tidak akan hidup lama. Inilah yang diberitahukan oleh ayahku dari kakekku Rasulullah. Wahai warga Kufah! pikirkanlah untuk selanjutnya selesaikan segera urusan ini."
"Ketahuilah bahwa Husein hanya berharap kepada Allah yang Maha Besar, sebab tak ada satupun makhluk yang hidup, kecuali seluruh urusan dan kehidupannya ada di tangan Allah. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.”
Kemudian Imam Husein membawakan bait-bait syair Farwat bin Masik Al-Muradi, salah seorang sahabat Nabi:
“Wahai kalian semua, jika kami menang itu sudah tradisi.
Namun jika kami hancur ketahuilah bahwa kami tidak akan kalah.
Jika kami berhasil membunuh, kemenangan ada pada kami, dan jika kami terbunuh kami tetap menang.
Kami bukanlah pengecut dan berhati lemah.
Kami adalah jawara dan pemberani.
Jika kami terbunuh berarti itulah saat kesyahidan dan pengorbanan kami.
Ketika kematian tidak menjemput suatu kaum, berarti ketika itu ia sedang merenggut kaum yang lain.”
Inilah hari yang ditentukan bagi kami dan para pembela kami.
Jika para tokoh dunia kekal kamipun pasti akan kekal, sebab kami adalah pemuka umat manusia.
Jika para pemimpin meninggalkan dunia ini menuju ke alam keabadian, kamipun juga akan berjalan menuju ke sana.”
Imam Husein mengangkat kedua tangannya dan berdoa: “Ya Allah, jangan kau siramkan hujan rahmat-Mu kepada kaum ini. Buatlah mereka hidup di bawah kekuasaan para durjana. Dudukkanlah budak dari Bani Tsaqif itu untuk menguasai mereka dan memberi mereka rasakehinaan. Engkau tahu bahwa Husein selalu berserah diri dan bertawakkal kepadaMu. Engkaulah tempat kami semua kembali.”
Sayidina Husein mengarahkan pembicaraannya kepada komandan pasukan musuh, Umar bin Saad: “Hei Umar! Apa engkau mengira dengan membunuhku engkau akan diangkat menjadi gubernur Ray dan Gurgaon?"
"Demi Allah engkau tidak akan mendapatkan impian itu. Kini lakukan apa maumu.Tapi ingat, bahwa setelah kematianku, engkau tidak akan mengalami saat bahagia sama sekali. Aku menyaksikan anak-anak kecil di Kufah yang bermain-main dan melempari kepalamu.”
Umar bin Saad naik pitam. Hurr bin Yazid Ar-Riyahi berdiri di sisi Umar bin Sa'ad dan mendengarkan kata-kata Imam Husein dengan seksama. Dia melirik ke arah Ibnu Saad dan berkata: “Hei Ibnu Saad! Apakah engkau memang berniat membantai Husein?”
“Ya,” jawab Umar. “Demi Allah aku akan menggempur kelompok itu, setidaknya aku bisa memenggal kepala dan memotong tangan Husein.”
Hurr bertanya lagi: “Apakah engkau sudah memikirkan apa yang dikatakan Husein tadi?”
Ibnu saad menjawab: “Ya. Jika aku bisa, tentu aku akan menerima kata-katanya. Tapi Ubaidullah bin Ziyad menekankan untuk menghabisinya. Aku tidak punya pilihan lain.”
Hurr memalingkan pandangan ke arah orang-orang di sekitarnya. Pandangannya tertumpu kepada Qurrah bin Qais yang berada di sampingnya. Kepadanya Hurr berkata, “Hei Qurrah, sudahkah engkau memberi minum kudamu?”
“Belum,” jawabnya.
Hurr berkata lagi, “Apakah engkau tidak mau memberinya minum?”
Kata-kata Hurr dicermati oleh Qurrah. Ia bisa menangkap maksud Hurr. Qurrah menduga bahwa Hurr berniat memisahkan diri dari barisan pimpinan Umar bin Saad tanpa harus diketahui orang lain.
Secepat kilat Hurr melesat ke arah perkemahan Imam Husein. Di tengah jalan ia dihadang oleh Muhajir bin Aus. Muhajir berseru memanggil Hurr, “Hei Hurr, apakah engkau berniat menyerang Husein sekarang?”
Muhajir yang menyaksikan tubuh Hurr yang menggigil dan wajahnya yang pucat pasi bertanya, “Hurr, ada apa denganmu? Mengapa badanmu gemetar seperti ini. Padahal jika ada yang bertanya kepadaku siapakah jawara Kufah aku pasti akan menyebutkan namamu?”
Hurr menjawab: “Muhajir, aku berada di persimpangan jalan, jalan ke surga dan jalan ke neraka, dan aku harus memilih salah satunya. Demi Allah aku hanya menginginkan surga meski harus dibakar hidup-hidup.”
Selepas mengucapkan kata-kata itu, Hurr melesat ke arah perkemahan Imam Husien dengan kepala tertunduk malu.
Dengan airmata yang membasahi pipinya, Hurr berseru, “Ya Allah, aku datang untuk menebus semua kesalahanku dan bertaubat kepada-Mu. Terimalah taubatku ini. Akulah yang telah melukai hati sanak kelurga Rasul.”
Kepada Imam Husein as, Hurr mengatakan, “Aku menyesali semua kesalahanku. Apakah taubatku bisa diterima? Ya Allah aku bertaubat kepada-Mu.”
Sayidina Husein menjawab, “Ya, Allah menerima taubatmu.”
Hurr berkata lagi, “Saat meninggalkan Kufah, aku mendengar suara yang memberiku kabar gembira akan surga. Dan kini aku berkata sendiri dalam hati, celaka aku yang telah diberi kabar gembira tentang surga tapi berniat memerangi cucu Rasulullah.”
(mhy)