Tragedi Karbala: Detik-Detik Syahidnya Sayyidina Husein bin Ali Cucu Rasulullah SAW
loading...
A
A
A
Detik-detik syahidnya Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib cucu Rasulullah SAW dalam peristiwa tragedi Karbala sungguh memilukan. Kisah ini menggambarkan betapa sesungguhnya Sayyidina Husein sudah tahu dan siap syahid di padang Karbala.
Kisah ini dimulai lima hari sebelum Husein dan pada sahabatnya syahid di Karbala. Tepatnya pada hari Ahad, 5 Muharam 61 Hijriah. Kala itu secara bertahap, pasukan Yazid bin Muawiyah yang terpencar di seluruh kota Kufah berkumpul dan bergabung dengan pasukan Umar bin Sa’ad. Menurut sebuah riwayat, Syabts bin Rub’i telah bergerak ke arah Karbala dengan 1000 pasukan berkuda.
Ubaidullah bin Ziyad, Gubernur Kufah, memerintahkan kepada sebagian pasukan untuk berdiri di jalanan yang menuju ke arah Karbala dan menghalangi siapa pun yang membantu Sayyidina Husein.
Sejaitnya ada warga Kufah yang hendak membantu Husein. Namun karena dihalang-halangi pasukan musuh mereka pun melarikan diri.
Menurut sebuah riwayat, seorang komandan laskar yang sebelumnya bergerak dari Kufah dengan 1000 pasukan, begitu sampai di Karbala, pasukan yang tersisa hanya sekitar tiga atau empat ratus orang, dan selebihnya melarikan diri karena tidak memiliki keyakinan terhadap perang ini.
Kondisi ini benar-benar membuat posisi Husein sangat kritis. ”Perhatikanlah! Kami tidak akan pernah menyerah dengan hina. Allah, RasulNya dan para mukmin tidak akan pernah menerima kehinaan untuk kami," ujar Husein di hadapan pasukan musuh.
"Pangkuan-pangkuan suci yang telah membesarkan kami. Kepandaian dan keberanian mereka tidak akan pernah mengajarkan untuk mendahulukan ketaatan pada orang-orang hina atas kematian secara ksatria,” tambahnya.
Keesokan harinya, Umar bin Sa’ad memperoleh sebuah surat dari Ubaidullah bin Ziyad, yang isinya: “Aku tidak begitu saja menyerahkan pasukan berkuda dan pasukan berjalan kepadamu. Perhatikanlah bahwa aku memberikan tugas untuk melaporkan keadaan di sini setiap hari kepadaku.”
Sekadar mengingatkan Umar bin Sa'ad terkenal sebagai Ibnu Sa'ad adalah pemimpin pasukan Ubaidillah bin Ziyad dalam Peristiwa Karbala.
Umar putra Sa'ad (Malik) bin Wahib yang terkenal dengan Sa'ad bin Abi Waqqash . Konon ia lahir pada zaman Nabi Muhammad SAW. Namun sebagian lainnya mengatakan pada tahun ketika Umar bin Khattab (23 H/644) menjabat sebagai khalifah.
Menurut Thabari, ia pada tahun 17 H/638 M bersama dengan ayahnya, Sa'ad bin Abi Waqqash turut serta dalam pembukaan kota Irak. Ketika itu, ia masih remaja dan ia mendapat tugas dari ayahnya untuk membebaskan Ra'sul 'Ain.
Mawafaq Khawarizmi dalam buku berjudul "Maqtal al-Husain" mengutip dari Ibnu A'tsam al-Kufi berkata: Ketika Husein bin Ali melakukan hijrah dari Madinah ke Mekkah dan berlindung di Mekkah karena menghindari pemberian baiat kepada Yazid bin Muawiyah, Umar bin Sa'ad menjabat sebagai amir (atau amir haji) Mekkah.
Ketika ia melihat para jemaah haji di baitullah menyambut Imam Husein, Umar pergi ke Madinah dan menulis surat kepada Yazid memberi tahu tentang kedatangan Imam Husein ke Mekkah.
Pada mulanya Ubaidullah bin Ziyad menjanjikan Umar bin Sa'ad jabatan gubernur Rei dengan syarat harus berhadap-hadapan dengan Imam Husein.
Pada mulanya ia menolak ajakan itu, namun ketika Ubaidillah bin Ziyad mengancamnya bahwa ia harus memerangi Husein, maka ia menerima tugas itu dan bergerak menuju ke Karbala dengan pasukan yang dipimpinnya berjumlah 4000 pasukan.
Ibnu Sa'ad pada hari ke-2 atau ke-3 Muharam al-Haram 61 H/680 M memasuki Karbala. Ia mengutus Qarah bin Qais Khandhali untuk menemui Imam Husein dan menanyakan apa maksud kedatangannya ke Irak. Menjawab pertanyaan itu, Husein berkata bahwa masyarakat Kufah mengundangnya. "Oleh karena itu aku datang, jika mereka tidak mau, maka aku akan pulang."
Umar bin Sa'ad menuliskan jawaban Husain itu kepada Ubaidillah bin Ziyad, namun orang-orang yang berada di sekitar Ubaidillah seperti Syimr bin Dzil Jausyan menganjurkan perang dengan Imam Husein.
Akhirnya Ubaidillah melarang Ibnu Sa'ad yang pada awalnya ingin berdamai dengan Husein, dengan memberikan pilihan apakah akan berperang dengan Husein ataukah akan menyerahkan pemimpin pasukan kepada Syimr bin Dzil Jausyan.
Ibnu Sa'ad dalam menjawab surat Ubaidillah berkata kepada Syimr bahwa ia sendiri yang akan tetap menjadi pemimpin peperangan dan akan berperang melawan Husein.
Pertemuan dengan Ibnu Sa'ad
Sayyidina Husein sempat berbincang-bincang dengan Umar bin Sa'ad beberapa kali. Laporan sejarah dengan redaksi yang bermacam-macam telah dinukilkan untuk peristiwa ini.
Pada salah satu pertemuan, Husein memberi pesan lewat Amru bin Qarazhah Anshari untuk disampaikan kepada Umar bin Sa'ad sehingga terjadi pertemuan antara dua pasukan itu pada malam hari.
Umar bin Sa'ad dengan disertai 20 personel penunggang kuda dan Husein juga dengan disertai pula oleh 20 personel penunggang kuda pergi ke tengah medan pertempuran.
Husein meminta para sahabatnya untuk pergi ke samping medan peperangan dan Umar pun demikian. Pada saat itu, mereka berbicara antara yang satu dengan yang lain, percakapan antara Husein dan Umar pun berlangsung lama.
Husein bertanya kepada Umar: "Apakah kau tidak takut kepada Allah?"
Umar menjawab: "Aku takut jika rumahku rusak".
"Aku akan menyediakan rumah bagimu," ujar Husein.
"Mereka akan mengambil hartaku," jawab Umar.
"Aku akan memberikan yang lebih baik dari pada yang mereka berikan kepadamu," janji Husein.
Ibnu A'tsam dalam bukunya berjudul "al-Futuh" menceritakan, mendapat tawaran Husein, Umar bin Sa'ad pun diam dan tidak memberikan jawaban apa-apa.
Husein sambil meninggalkan mereka bersabda: "Aku berharap kau tidak makan gandum Irak kecuali sedikit saja".
Umar bin Sa'ad berkata:" Apabila tidak ada gandum, maka akan ada ju (barley)".
Imam Husein berkata, “Bagaimana dengan dirimu sendiri? Allah akan segera mengambil jiwamu dan engkau tidak akan terampuni di hari kiamat. Apakah engkau mengira akan sampai pada pemerintahan Rey dan Gurgan? Demi Allah! Tidaklah demikian, karena engkau tidak akan pernah sampai pada keinginanmu.”
Kabilah Bani Asad
Di lain kesempatan, dalam upaya memperkuat pasukan, Habib bin Mazhahir meminta izin kepada Husein untuk mendekati kabilah Bani Asad yang hidup di dekat daerah itu dan mengajak mereka untuk bergabung. Beliau mengizinkan.
Habib kemudian mendatangi mereka dan berkata, “Ikutilah perintahku hari ini dan bergegaslah untuk membantu Husein supaya kalian berada dalam kemuliaan dunia dan akhirat.”
Sejumlah 90 orang bangkit dan bergerak menuju Karbala. Akan tetapi, di pertengahan jalan mereka bertemu dengan pasukan Umar bin Sa’ad, dan karena tidak memiliki pertahanan yang kuat, akhirnya mereka terpencar dan kembali ke rumah masing-masing.
Habib mendatangi Imam Husein dan menceritakan peristiwa ini. Beliau hanya berkata, “Laa haula wa laa quwwata illa billah.”
Dalam kondisi kritis ini, Husein berkirim surat dari Karbala kepada saudaranya Muhammad bin Hanafiyah dan Bani Hasyim. “Seakan dunia sama sekali tak pernah ada (dan demikian inilah dunia yang berkesudahan dan tanpa arti), sementara akhirat adalah senantiasa,” tulisnya.
Penggalan dari pidato Imam Husein kepada para sahabatnya, “Wahai para keturunan besar dan agung! Bersabarlah, karena kematian hanyalah sebuah jembatan tempat kalian akan melewati segala kesulitan dan penderitaan dan mengantarkan kalian ke surga yang luas dengan segala nikmatnya yang senantiasa.”
Pada hari Selasa, 7 Muharam 61 Hijriah terdata bahwa pasukan yang mengambil baju, senjata perang, dan gaji dari pemerintah Bani Umayyah dan siap untuk berperang melawan Husein berjumlah lebih dari 30 ribu orang.
Sungai Furat
Umar bin Sa’ad kembali mendapatkan sebuah surat dari Ubaidullah bin Ziyad dengan isi sebagai berikut, “Jadikanlah pasukanmu untuk memisahkan antara Husein dan sahabat-sahabatnya dengan sungai Furat, hingga tak ada setetes air pun yang sampai ke mereka, sebagaimana Utsman bin Affan dulu terhalangi dari air.”
Kemudian Umar bin Sa’ad menempatkan 500 pasukan penunggang kuda di sisi sungai Furat. Salah satu dari mereka berteriak, “Husein! Demi Allah, engkau tidak akan meminum air ini walau setetes pun hingga kehausan merenggut nyawamu.”
Imam Husein berkata, “Ilahi! Binasakan ia dengan kehausan dan jauhkan ia dari segala rahmat-Mu!”
Hamid bin Muslim mengatakan, "aku melihat dengan mataku sendiri bahwa kutukan Imam Husain betul-betul terlaksana."
Husein mengutuk pasukan musuh, “Ilahi!Tahanlah hujan-Mu dari mereka, ciptakan kesulitan dan kekeringan (sebagaimana tahun-tahun Yusuf), dan tempatkan budak Tsaqafi (Hajjaj bin Yusuf) untuk mereka supaya mereka merasakan pahitnya tegukan racun, dan ambilkan balas dendamku, para sahabatku, Ahlul Bait dan para pengikutku dari mereka.”
Keesokan harinya, rasa kehausan di kemah-kemah makin lama terasa semakin mencekik. Husein lalu memerintahkan saudaranya, Abbas, bersama beberapa orang untuk bergerak ke sungai Furat di malam hari. Dengan rencana yang matang, mereka berhasil mematahkan dan menerobos barisan musuh dan kembali ke kemah dengan kantong-kantong penuh air.
Pada Kamis, 9 Muharam 61 Hijriah Syimr mendatangi perkemahan Imam Husein. Selain memanggil Abbas dan putra-putra Ummul Banin lainnya, ia mengatakan, “Aku telah mengambil surat jaminan untuk kalian dari Ubaidullah.”
Secara bersamaan, mereka berkata, “Allah melaknatmu dan melaknat surat jaminanmu! Kami berada dalam keamanan dan putra dari putri Rasulullah berada dalam ancaman?!”
Melalui saudara lelakinya, Abbas, Husein meminta kesempatan satu malam dari musuh untuk melakukan sholat, berdoa, berkhalwat dengan Tuhan dan membaca Al-Qur'an.
Penggalian parit di seputar perkemahan untuk menghadapi musuh dan memutus hubungan musuh dengan perkemahan dari tiga arah. Interaksi hanya bisa dilakukan dari satu arah dimana para sahabat Husein ditempatkan. Ini adalah strategi Husein yang sangat bermanfaat bagi
para sahabat.
Pada hari itu juga skelompok dari laskar Umar bin Sa’ad bergabung dengan pasukan Husein. Pidato Husein kepada musuh, “Celaka kalian! Kerugian apa yang akan kalian peroleh jika mendengarkan perkataanku? Aku mengajak kalian ke jalan yang benar. Akan tetapi kalian menolak seluruh perintahku dan tidak mendengarkan perkataanku, karena perut-perut kalian telah terpenuhi oleh kekayaan haram hingga mengeraskan hati-hati kalian.”
Setelah menunaikan sholat Subuh bersama para sahabatnya, Husein bersabda, “ ... Allah telah memerintahkan pada kesyahidanku dan kesyahidan kalian. Selamat atas kalian yang memilih kesabaran.”
Husein memerintahkan Zuhair bin Qain untuk memegang komando pasukan sebelah kanan, dan Habib bin Mazhahir, pasukan sebelah kiri. Sementara bendera berada di tangan saudaranya, Abbas.
Kendati pasukan musuh telah mendekati perkemahan, namun Husein belum memerintahkan untuk melemparkan anak panah. Beliau berkata, “Aku tidak ingin memulai perang dengan pasukan ini.”
Umar bin Sa’ad meletakkan anak panah di panahnya dan melemparkannya ke arah para sahabat Husein seraya berkata, “Saksikanlah bahwa akulah orang pertama yang melemparkan anak panah ke arah pasukan Husein.”
Kemudian tindakan ini diikuti oleh para pasukan Umar bin Sa’ad. Mereka membidik para sahabat Husein dari segala arah. “Bangkitlah wahai para sahabatku, dan bergegaslah menuju kesyahidan! Allah akan mengampuni kalian,” seru Sayyidina Husein.
Pada serangan pertama, lebih dari empat puluh sahabat Husein gugur syahid. Selebihnya, secara bergilir satu persatu dari mereka maju ke medan pertempuran untuk bergegas menyambut kesyahidan. Ketika seluruh sahabat telah gugur, tibalah giliran keturunan Bani Hasyim untuk maju ke medan laga bersabung nyawa. Namun mereka pun mereguk madu kesyahidan, seluruhnya, tanpa tersisa.
Husein pun sendirian, tak berteman. Dengan pandangan penuh haru, beliau memandang ke arah jasad-jasad para sahabatnya dan memanggil mereka satu persatu, kemudian bergerak ke arah perkemahan untuk mengucapkan perpisahan terakhir. Setelah itu, beliau lantas mengeluarkan pedang dari sarungnya, berdiri berhadapan dengan musuh, dan memulai peperangan yang tak seimbang.
Musuh segera mengepungnya dari segala arah. Tiba-tiba, sebuah anak panah bercabang tiga mengenai dada sebelah kirinya, menancap tepat di jantungnya, sementara tubuhnya dipenuhi oleh seratus lebih anak-anak panah yang menancap.
Husein tersungkur jatuh, gugur syahid. Jeritan para wanita dan anak-anak, membahana, mengharu biru dan memenuhi belantara langit.
Sore hari kesepuluh, setelah Husein sahid, Yazid memerintahkan laskarnya untuk merampas, menjarah, membakar perkemahan dan menyiksa para keluarga nabi. Dengan membabi buta mereka segera menaati perintah ini. Mereka menyerbu ke arah perkemahan Husein, menjarah peralatan, pakaian dan unta-unta, dan kadang kala tanpa malu terlihat tengah merebut dan mengambil paksa pakaian dari tangan seorang wanita Ahlul Bait as.
Putri-putri Rasulullah saw dan keluarga Imam Husein keluar dari perkemahan, menangis dan menjerit karena kehilangan para pelindung dan orang-orang yang mereka kasihi.
Setelah itu, dengan kepala terbuka, kaki telanjang dan pakaian-pakaian yang telah terjarah, keluarga ini menjadi tawanan Umar bin Sa’ad. Perempuan-perempuanini berkata, "Lewatkanlah kami dari tempat terbunuhnya Imam Husein."
Saat pandangan mereka jatuh ke jasad para syuhada, kembali terdengar jeritan dan raungan yang membahana. Mereka menampari wajah-wajah mereka sendiri. Setelah peristiwa ini, Umar bin Sa’ad mengumumkan pada laskarnya, “Siapakah di antara kalian yang bersedia menginjak-injak punggung dan dada Husein dengan kuda?!”
Sepuluh orang bangkit menyatakan kesediaannya, dan mulai mengarahkan kuda-kudanya untuk menginjak-injak tubuh Husein.
Sore itu juga, Umar bin Sa’ad memerintah pasukan Khuli bin Yazid Ashbahi dan Hamid bin Muslim Azdi untuk mengirimkan kepala Husain ke Ubaidullah bin Ziyad di Kufah.
Sementara yang lainnya mengumpulkan kepala-kepala para sahabat dan keluarga beliau yang berjumlah 72 kepala, kemudian mengirimkan seluruh kepala ini ke Kufah bersama Syimr bin Dzil Jausyan dan Qais bin Asy’ats.
Setelah itu, mereka mulai mencari-cari orang-orang mereka yang terbunuh lalu menguburkannya. Namun jenazah Husein dan para sahabatnya yang tak berkepala tetap dalam keadaan telanjang di sahara Karbala sampai hari kedua belas Muharam, hingga akhirnya kabilah Bani Asad menguburkan mereka atas arahan Imam Sajjad.
Kisah ini dimulai lima hari sebelum Husein dan pada sahabatnya syahid di Karbala. Tepatnya pada hari Ahad, 5 Muharam 61 Hijriah. Kala itu secara bertahap, pasukan Yazid bin Muawiyah yang terpencar di seluruh kota Kufah berkumpul dan bergabung dengan pasukan Umar bin Sa’ad. Menurut sebuah riwayat, Syabts bin Rub’i telah bergerak ke arah Karbala dengan 1000 pasukan berkuda.
Ubaidullah bin Ziyad, Gubernur Kufah, memerintahkan kepada sebagian pasukan untuk berdiri di jalanan yang menuju ke arah Karbala dan menghalangi siapa pun yang membantu Sayyidina Husein.
Sejaitnya ada warga Kufah yang hendak membantu Husein. Namun karena dihalang-halangi pasukan musuh mereka pun melarikan diri.
Menurut sebuah riwayat, seorang komandan laskar yang sebelumnya bergerak dari Kufah dengan 1000 pasukan, begitu sampai di Karbala, pasukan yang tersisa hanya sekitar tiga atau empat ratus orang, dan selebihnya melarikan diri karena tidak memiliki keyakinan terhadap perang ini.
Kondisi ini benar-benar membuat posisi Husein sangat kritis. ”Perhatikanlah! Kami tidak akan pernah menyerah dengan hina. Allah, RasulNya dan para mukmin tidak akan pernah menerima kehinaan untuk kami," ujar Husein di hadapan pasukan musuh.
"Pangkuan-pangkuan suci yang telah membesarkan kami. Kepandaian dan keberanian mereka tidak akan pernah mengajarkan untuk mendahulukan ketaatan pada orang-orang hina atas kematian secara ksatria,” tambahnya.
Keesokan harinya, Umar bin Sa’ad memperoleh sebuah surat dari Ubaidullah bin Ziyad, yang isinya: “Aku tidak begitu saja menyerahkan pasukan berkuda dan pasukan berjalan kepadamu. Perhatikanlah bahwa aku memberikan tugas untuk melaporkan keadaan di sini setiap hari kepadaku.”
Sekadar mengingatkan Umar bin Sa'ad terkenal sebagai Ibnu Sa'ad adalah pemimpin pasukan Ubaidillah bin Ziyad dalam Peristiwa Karbala.
Umar putra Sa'ad (Malik) bin Wahib yang terkenal dengan Sa'ad bin Abi Waqqash . Konon ia lahir pada zaman Nabi Muhammad SAW. Namun sebagian lainnya mengatakan pada tahun ketika Umar bin Khattab (23 H/644) menjabat sebagai khalifah.
Menurut Thabari, ia pada tahun 17 H/638 M bersama dengan ayahnya, Sa'ad bin Abi Waqqash turut serta dalam pembukaan kota Irak. Ketika itu, ia masih remaja dan ia mendapat tugas dari ayahnya untuk membebaskan Ra'sul 'Ain.
Mawafaq Khawarizmi dalam buku berjudul "Maqtal al-Husain" mengutip dari Ibnu A'tsam al-Kufi berkata: Ketika Husein bin Ali melakukan hijrah dari Madinah ke Mekkah dan berlindung di Mekkah karena menghindari pemberian baiat kepada Yazid bin Muawiyah, Umar bin Sa'ad menjabat sebagai amir (atau amir haji) Mekkah.
Ketika ia melihat para jemaah haji di baitullah menyambut Imam Husein, Umar pergi ke Madinah dan menulis surat kepada Yazid memberi tahu tentang kedatangan Imam Husein ke Mekkah.
Pada mulanya Ubaidullah bin Ziyad menjanjikan Umar bin Sa'ad jabatan gubernur Rei dengan syarat harus berhadap-hadapan dengan Imam Husein.
Pada mulanya ia menolak ajakan itu, namun ketika Ubaidillah bin Ziyad mengancamnya bahwa ia harus memerangi Husein, maka ia menerima tugas itu dan bergerak menuju ke Karbala dengan pasukan yang dipimpinnya berjumlah 4000 pasukan.
Ibnu Sa'ad pada hari ke-2 atau ke-3 Muharam al-Haram 61 H/680 M memasuki Karbala. Ia mengutus Qarah bin Qais Khandhali untuk menemui Imam Husein dan menanyakan apa maksud kedatangannya ke Irak. Menjawab pertanyaan itu, Husein berkata bahwa masyarakat Kufah mengundangnya. "Oleh karena itu aku datang, jika mereka tidak mau, maka aku akan pulang."
Umar bin Sa'ad menuliskan jawaban Husain itu kepada Ubaidillah bin Ziyad, namun orang-orang yang berada di sekitar Ubaidillah seperti Syimr bin Dzil Jausyan menganjurkan perang dengan Imam Husein.
Akhirnya Ubaidillah melarang Ibnu Sa'ad yang pada awalnya ingin berdamai dengan Husein, dengan memberikan pilihan apakah akan berperang dengan Husein ataukah akan menyerahkan pemimpin pasukan kepada Syimr bin Dzil Jausyan.
Ibnu Sa'ad dalam menjawab surat Ubaidillah berkata kepada Syimr bahwa ia sendiri yang akan tetap menjadi pemimpin peperangan dan akan berperang melawan Husein.
Pertemuan dengan Ibnu Sa'ad
Sayyidina Husein sempat berbincang-bincang dengan Umar bin Sa'ad beberapa kali. Laporan sejarah dengan redaksi yang bermacam-macam telah dinukilkan untuk peristiwa ini.
Pada salah satu pertemuan, Husein memberi pesan lewat Amru bin Qarazhah Anshari untuk disampaikan kepada Umar bin Sa'ad sehingga terjadi pertemuan antara dua pasukan itu pada malam hari.
Umar bin Sa'ad dengan disertai 20 personel penunggang kuda dan Husein juga dengan disertai pula oleh 20 personel penunggang kuda pergi ke tengah medan pertempuran.
Husein meminta para sahabatnya untuk pergi ke samping medan peperangan dan Umar pun demikian. Pada saat itu, mereka berbicara antara yang satu dengan yang lain, percakapan antara Husein dan Umar pun berlangsung lama.
Husein bertanya kepada Umar: "Apakah kau tidak takut kepada Allah?"
Umar menjawab: "Aku takut jika rumahku rusak".
"Aku akan menyediakan rumah bagimu," ujar Husein.
"Mereka akan mengambil hartaku," jawab Umar.
"Aku akan memberikan yang lebih baik dari pada yang mereka berikan kepadamu," janji Husein.
Ibnu A'tsam dalam bukunya berjudul "al-Futuh" menceritakan, mendapat tawaran Husein, Umar bin Sa'ad pun diam dan tidak memberikan jawaban apa-apa.
Husein sambil meninggalkan mereka bersabda: "Aku berharap kau tidak makan gandum Irak kecuali sedikit saja".
Umar bin Sa'ad berkata:" Apabila tidak ada gandum, maka akan ada ju (barley)".
Imam Husein berkata, “Bagaimana dengan dirimu sendiri? Allah akan segera mengambil jiwamu dan engkau tidak akan terampuni di hari kiamat. Apakah engkau mengira akan sampai pada pemerintahan Rey dan Gurgan? Demi Allah! Tidaklah demikian, karena engkau tidak akan pernah sampai pada keinginanmu.”
Kabilah Bani Asad
Di lain kesempatan, dalam upaya memperkuat pasukan, Habib bin Mazhahir meminta izin kepada Husein untuk mendekati kabilah Bani Asad yang hidup di dekat daerah itu dan mengajak mereka untuk bergabung. Beliau mengizinkan.
Habib kemudian mendatangi mereka dan berkata, “Ikutilah perintahku hari ini dan bergegaslah untuk membantu Husein supaya kalian berada dalam kemuliaan dunia dan akhirat.”
Sejumlah 90 orang bangkit dan bergerak menuju Karbala. Akan tetapi, di pertengahan jalan mereka bertemu dengan pasukan Umar bin Sa’ad, dan karena tidak memiliki pertahanan yang kuat, akhirnya mereka terpencar dan kembali ke rumah masing-masing.
Habib mendatangi Imam Husein dan menceritakan peristiwa ini. Beliau hanya berkata, “Laa haula wa laa quwwata illa billah.”
Dalam kondisi kritis ini, Husein berkirim surat dari Karbala kepada saudaranya Muhammad bin Hanafiyah dan Bani Hasyim. “Seakan dunia sama sekali tak pernah ada (dan demikian inilah dunia yang berkesudahan dan tanpa arti), sementara akhirat adalah senantiasa,” tulisnya.
Penggalan dari pidato Imam Husein kepada para sahabatnya, “Wahai para keturunan besar dan agung! Bersabarlah, karena kematian hanyalah sebuah jembatan tempat kalian akan melewati segala kesulitan dan penderitaan dan mengantarkan kalian ke surga yang luas dengan segala nikmatnya yang senantiasa.”
Pada hari Selasa, 7 Muharam 61 Hijriah terdata bahwa pasukan yang mengambil baju, senjata perang, dan gaji dari pemerintah Bani Umayyah dan siap untuk berperang melawan Husein berjumlah lebih dari 30 ribu orang.
Baca Juga
Sungai Furat
Umar bin Sa’ad kembali mendapatkan sebuah surat dari Ubaidullah bin Ziyad dengan isi sebagai berikut, “Jadikanlah pasukanmu untuk memisahkan antara Husein dan sahabat-sahabatnya dengan sungai Furat, hingga tak ada setetes air pun yang sampai ke mereka, sebagaimana Utsman bin Affan dulu terhalangi dari air.”
Kemudian Umar bin Sa’ad menempatkan 500 pasukan penunggang kuda di sisi sungai Furat. Salah satu dari mereka berteriak, “Husein! Demi Allah, engkau tidak akan meminum air ini walau setetes pun hingga kehausan merenggut nyawamu.”
Imam Husein berkata, “Ilahi! Binasakan ia dengan kehausan dan jauhkan ia dari segala rahmat-Mu!”
Hamid bin Muslim mengatakan, "aku melihat dengan mataku sendiri bahwa kutukan Imam Husain betul-betul terlaksana."
Husein mengutuk pasukan musuh, “Ilahi!Tahanlah hujan-Mu dari mereka, ciptakan kesulitan dan kekeringan (sebagaimana tahun-tahun Yusuf), dan tempatkan budak Tsaqafi (Hajjaj bin Yusuf) untuk mereka supaya mereka merasakan pahitnya tegukan racun, dan ambilkan balas dendamku, para sahabatku, Ahlul Bait dan para pengikutku dari mereka.”
Keesokan harinya, rasa kehausan di kemah-kemah makin lama terasa semakin mencekik. Husein lalu memerintahkan saudaranya, Abbas, bersama beberapa orang untuk bergerak ke sungai Furat di malam hari. Dengan rencana yang matang, mereka berhasil mematahkan dan menerobos barisan musuh dan kembali ke kemah dengan kantong-kantong penuh air.
Pada Kamis, 9 Muharam 61 Hijriah Syimr mendatangi perkemahan Imam Husein. Selain memanggil Abbas dan putra-putra Ummul Banin lainnya, ia mengatakan, “Aku telah mengambil surat jaminan untuk kalian dari Ubaidullah.”
Secara bersamaan, mereka berkata, “Allah melaknatmu dan melaknat surat jaminanmu! Kami berada dalam keamanan dan putra dari putri Rasulullah berada dalam ancaman?!”
Melalui saudara lelakinya, Abbas, Husein meminta kesempatan satu malam dari musuh untuk melakukan sholat, berdoa, berkhalwat dengan Tuhan dan membaca Al-Qur'an.
Penggalian parit di seputar perkemahan untuk menghadapi musuh dan memutus hubungan musuh dengan perkemahan dari tiga arah. Interaksi hanya bisa dilakukan dari satu arah dimana para sahabat Husein ditempatkan. Ini adalah strategi Husein yang sangat bermanfaat bagi
para sahabat.
Pada hari itu juga skelompok dari laskar Umar bin Sa’ad bergabung dengan pasukan Husein. Pidato Husein kepada musuh, “Celaka kalian! Kerugian apa yang akan kalian peroleh jika mendengarkan perkataanku? Aku mengajak kalian ke jalan yang benar. Akan tetapi kalian menolak seluruh perintahku dan tidak mendengarkan perkataanku, karena perut-perut kalian telah terpenuhi oleh kekayaan haram hingga mengeraskan hati-hati kalian.”
Setelah menunaikan sholat Subuh bersama para sahabatnya, Husein bersabda, “ ... Allah telah memerintahkan pada kesyahidanku dan kesyahidan kalian. Selamat atas kalian yang memilih kesabaran.”
Husein memerintahkan Zuhair bin Qain untuk memegang komando pasukan sebelah kanan, dan Habib bin Mazhahir, pasukan sebelah kiri. Sementara bendera berada di tangan saudaranya, Abbas.
Kendati pasukan musuh telah mendekati perkemahan, namun Husein belum memerintahkan untuk melemparkan anak panah. Beliau berkata, “Aku tidak ingin memulai perang dengan pasukan ini.”
Umar bin Sa’ad meletakkan anak panah di panahnya dan melemparkannya ke arah para sahabat Husein seraya berkata, “Saksikanlah bahwa akulah orang pertama yang melemparkan anak panah ke arah pasukan Husein.”
Kemudian tindakan ini diikuti oleh para pasukan Umar bin Sa’ad. Mereka membidik para sahabat Husein dari segala arah. “Bangkitlah wahai para sahabatku, dan bergegaslah menuju kesyahidan! Allah akan mengampuni kalian,” seru Sayyidina Husein.
Pada serangan pertama, lebih dari empat puluh sahabat Husein gugur syahid. Selebihnya, secara bergilir satu persatu dari mereka maju ke medan pertempuran untuk bergegas menyambut kesyahidan. Ketika seluruh sahabat telah gugur, tibalah giliran keturunan Bani Hasyim untuk maju ke medan laga bersabung nyawa. Namun mereka pun mereguk madu kesyahidan, seluruhnya, tanpa tersisa.
Husein pun sendirian, tak berteman. Dengan pandangan penuh haru, beliau memandang ke arah jasad-jasad para sahabatnya dan memanggil mereka satu persatu, kemudian bergerak ke arah perkemahan untuk mengucapkan perpisahan terakhir. Setelah itu, beliau lantas mengeluarkan pedang dari sarungnya, berdiri berhadapan dengan musuh, dan memulai peperangan yang tak seimbang.
Musuh segera mengepungnya dari segala arah. Tiba-tiba, sebuah anak panah bercabang tiga mengenai dada sebelah kirinya, menancap tepat di jantungnya, sementara tubuhnya dipenuhi oleh seratus lebih anak-anak panah yang menancap.
Husein tersungkur jatuh, gugur syahid. Jeritan para wanita dan anak-anak, membahana, mengharu biru dan memenuhi belantara langit.
Sore hari kesepuluh, setelah Husein sahid, Yazid memerintahkan laskarnya untuk merampas, menjarah, membakar perkemahan dan menyiksa para keluarga nabi. Dengan membabi buta mereka segera menaati perintah ini. Mereka menyerbu ke arah perkemahan Husein, menjarah peralatan, pakaian dan unta-unta, dan kadang kala tanpa malu terlihat tengah merebut dan mengambil paksa pakaian dari tangan seorang wanita Ahlul Bait as.
Putri-putri Rasulullah saw dan keluarga Imam Husein keluar dari perkemahan, menangis dan menjerit karena kehilangan para pelindung dan orang-orang yang mereka kasihi.
Setelah itu, dengan kepala terbuka, kaki telanjang dan pakaian-pakaian yang telah terjarah, keluarga ini menjadi tawanan Umar bin Sa’ad. Perempuan-perempuanini berkata, "Lewatkanlah kami dari tempat terbunuhnya Imam Husein."
Saat pandangan mereka jatuh ke jasad para syuhada, kembali terdengar jeritan dan raungan yang membahana. Mereka menampari wajah-wajah mereka sendiri. Setelah peristiwa ini, Umar bin Sa’ad mengumumkan pada laskarnya, “Siapakah di antara kalian yang bersedia menginjak-injak punggung dan dada Husein dengan kuda?!”
Sepuluh orang bangkit menyatakan kesediaannya, dan mulai mengarahkan kuda-kudanya untuk menginjak-injak tubuh Husein.
Sore itu juga, Umar bin Sa’ad memerintah pasukan Khuli bin Yazid Ashbahi dan Hamid bin Muslim Azdi untuk mengirimkan kepala Husain ke Ubaidullah bin Ziyad di Kufah.
Sementara yang lainnya mengumpulkan kepala-kepala para sahabat dan keluarga beliau yang berjumlah 72 kepala, kemudian mengirimkan seluruh kepala ini ke Kufah bersama Syimr bin Dzil Jausyan dan Qais bin Asy’ats.
Setelah itu, mereka mulai mencari-cari orang-orang mereka yang terbunuh lalu menguburkannya. Namun jenazah Husein dan para sahabatnya yang tak berkepala tetap dalam keadaan telanjang di sahara Karbala sampai hari kedua belas Muharam, hingga akhirnya kabilah Bani Asad menguburkan mereka atas arahan Imam Sajjad.
(mhy)