Sahabat Nabi Muhammad SAW yang Paling Miskin
loading...
A
A
A
Khalid Muhammad Khalid mengisahkan pada tahun-tahun kejayaan umat Islam, panji-panji Islam telah berkibar di seluruh penjuru.
Harta benda yang tak sedikit jumlahnya mengalir ke Madinah sebagai pusat pemerintahan baik sebagai upeti ataupun pajak untuk kemudian diatur pembagiannya menurut ketentuan Islam. Negara mampu membayar mahal gaji dan tunjangan hidup bagi pejabat.
Nah, di antara gundukan harta ini tidak ada Salman Al-Farisi ra. Beliau hanyalah lelaki tua yang berwibawa. Dia seringkali kedapatan duduk di bawah naungan pohon. Mengayam dan menjalin daun kurma untuk dijadikan bakul atau keranjang.
Salman berpakaian sangat sederhana. Bukannya tidak punya duit untuk membeli pakaian yang layak. Tunjangan yang diperolehnya tidak sedikit, antara empat sampai enam ribu dirham setahun. Tapi semua itu disumbangkannya habis untuk kegiatan sosial. Satu dirham pun tak diambil untuk dirinya.
“Untuk bahannya kubeli daun satu dirham, lalu kuperbuat dan kujual tiga dirham. Yang satu dirham kuambil untuk modal, satu dirham lagi untuk nafkah keluargaku, sedang satu dirham sisanya untuk sedekah,” kata Salman suatu ketika.
Salman kelahiran Persia. Suatu negeri yang terkenal dengan kemewahan dan kesenangan serta hidup boros. Ia bukan dari golongan miskin atau bawahan, tapi dari golongan berpunya dan kelas tinggi.
Kenapa ia sekarang menolak harta, kekayaan dan kesenangan; bertahan dengan kehidupan bersahaja, tiada lebih dari satu dirham tiap harinya, yang diperoleh dari hasil jerih payahnya sendiri? Kenapa ditolaknya pangkat dan tak bersedia menerimanya?
“Seandainya kamu masih mampu makan tanah --asal tak membawahi dua orang manusia--maka lakukanlah!” ujar Salman.
Salman menolak pangkat dan jabatan, kecuali jika mengepalai sepasukan tentara yang pergi menuju medan perang. Ia mau menjabat jika dalam suasana tidak ada seorang pun yang mampu memikul tanggung jawab kecuali dia. Jika begitu, biasanya dia melakukannya dengan hati murung dan jiwa merintih.
Lalu kenapa ketika memegang jabatan yang mesti dipikulnya, ia tidak mau menerima tunjangan yang diberikan padanya secara halal?
Diriwayatkan oleh Hisyam bin Hisan dari Hasan: “Tunjangan Salman sebanyak lima ribu setahun, (gambaran kesederhanaannya) ketika ia berpidato di hadapan tigapuluh ribu orang separuh baju luarnya (aba’ah) dijadikan alas duduknya dan separuh lagi menutupi badannya. Jika tunjangan keluar, maka dibagi-bagikannya sampai habis, sedang untuk nafkahnya dari hasil usaha kedua tangannya”.
Kenapa ia melakukan perbuatan seperti itu dan amat zuhud kepada dunia, padahal ia seorang putra Persia yang biasa tenggelam dalam kesenangan dan dipengaruhi arus kemajuan?
Marilah kita dengar jawaban yang diberikannya ketika berada di atas pembaringan menjelang ajalnya, sewaktu ruhnya yang mulia telah bersiap-siap untuk kembali menemui Tuhannya Yang Maha linggi lagi Maha Pengasih.
Sa’ad bin Abi Waqqash datang menjenguknya, lalu Salman menangis. “Apa yang anda tangiskan, wahai Abu Abdillah,” tanya Sa’ad, “padahal Rasulullah SAW wafat dalam keadaan rida kepada anda?”
“Demi Allah,” ujar Salman, “Daku menangis bukanlah karena takut mati ataupun mengharap kemewahan dunia, hanya Rasulullah telah menyampaikan suatu pesan kepada kita, sabdanya: Hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengendara, padahal harta milikku begini banyaknya”.
Kata Sa’ad: “Saya perhatikan, tak ada yang tampak di sekelilingku kecuali satu piring dan sebuah baskom. Lalu kataku padanya: “Wahai Abu Abdillah, berilah kami suatu pesan yang akan kami ingat selalu darimu!”
Maka ujarnya: “Wahai Sa’ad! Ingatlah Allah di kala dukamu, sedang kau derita. Dan pada putusanmu jika kamu menghukumi. Dan pada saat tanganmu melakukan pembagian”.
Pada hari-hari ia bertugas sebagai Amir atau kepala daerah di Madain, keadaannya tak sedikit pun berubah. Ia menolak untuk menerima gaji sebagai amir, satu dirham sekalipun. Ia tetap mengambil nafkahnya dari hasil menganyam daun kurma, sedangkan pakaiannya tidak lebih dari sehelai baju luar, dalam kesederhanaan dan kesahajaannya tak berbeda dengan baju usangnya.
Terpaksa Menjadi Miskin
KH Mustafa Bisri atau Gus Mus sebagaimana dikutip Quito R. Motinggo dalam bukunya berjudul "Keajaiban Cinta: Membuat Hidup Lebih Berenergi dan Dinamis" mengatakan orang-orang miskin yang ada saat ini ialah orang-orang yang sebenarnya “terpaksa” menjadi orang miskin.
Harta benda yang tak sedikit jumlahnya mengalir ke Madinah sebagai pusat pemerintahan baik sebagai upeti ataupun pajak untuk kemudian diatur pembagiannya menurut ketentuan Islam. Negara mampu membayar mahal gaji dan tunjangan hidup bagi pejabat.
Nah, di antara gundukan harta ini tidak ada Salman Al-Farisi ra. Beliau hanyalah lelaki tua yang berwibawa. Dia seringkali kedapatan duduk di bawah naungan pohon. Mengayam dan menjalin daun kurma untuk dijadikan bakul atau keranjang.
Salman berpakaian sangat sederhana. Bukannya tidak punya duit untuk membeli pakaian yang layak. Tunjangan yang diperolehnya tidak sedikit, antara empat sampai enam ribu dirham setahun. Tapi semua itu disumbangkannya habis untuk kegiatan sosial. Satu dirham pun tak diambil untuk dirinya.
“Untuk bahannya kubeli daun satu dirham, lalu kuperbuat dan kujual tiga dirham. Yang satu dirham kuambil untuk modal, satu dirham lagi untuk nafkah keluargaku, sedang satu dirham sisanya untuk sedekah,” kata Salman suatu ketika.
Salman kelahiran Persia. Suatu negeri yang terkenal dengan kemewahan dan kesenangan serta hidup boros. Ia bukan dari golongan miskin atau bawahan, tapi dari golongan berpunya dan kelas tinggi.
Kenapa ia sekarang menolak harta, kekayaan dan kesenangan; bertahan dengan kehidupan bersahaja, tiada lebih dari satu dirham tiap harinya, yang diperoleh dari hasil jerih payahnya sendiri? Kenapa ditolaknya pangkat dan tak bersedia menerimanya?
“Seandainya kamu masih mampu makan tanah --asal tak membawahi dua orang manusia--maka lakukanlah!” ujar Salman.
Salman menolak pangkat dan jabatan, kecuali jika mengepalai sepasukan tentara yang pergi menuju medan perang. Ia mau menjabat jika dalam suasana tidak ada seorang pun yang mampu memikul tanggung jawab kecuali dia. Jika begitu, biasanya dia melakukannya dengan hati murung dan jiwa merintih.
Lalu kenapa ketika memegang jabatan yang mesti dipikulnya, ia tidak mau menerima tunjangan yang diberikan padanya secara halal?
Diriwayatkan oleh Hisyam bin Hisan dari Hasan: “Tunjangan Salman sebanyak lima ribu setahun, (gambaran kesederhanaannya) ketika ia berpidato di hadapan tigapuluh ribu orang separuh baju luarnya (aba’ah) dijadikan alas duduknya dan separuh lagi menutupi badannya. Jika tunjangan keluar, maka dibagi-bagikannya sampai habis, sedang untuk nafkahnya dari hasil usaha kedua tangannya”.
Kenapa ia melakukan perbuatan seperti itu dan amat zuhud kepada dunia, padahal ia seorang putra Persia yang biasa tenggelam dalam kesenangan dan dipengaruhi arus kemajuan?
Marilah kita dengar jawaban yang diberikannya ketika berada di atas pembaringan menjelang ajalnya, sewaktu ruhnya yang mulia telah bersiap-siap untuk kembali menemui Tuhannya Yang Maha linggi lagi Maha Pengasih.
Sa’ad bin Abi Waqqash datang menjenguknya, lalu Salman menangis. “Apa yang anda tangiskan, wahai Abu Abdillah,” tanya Sa’ad, “padahal Rasulullah SAW wafat dalam keadaan rida kepada anda?”
“Demi Allah,” ujar Salman, “Daku menangis bukanlah karena takut mati ataupun mengharap kemewahan dunia, hanya Rasulullah telah menyampaikan suatu pesan kepada kita, sabdanya: Hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengendara, padahal harta milikku begini banyaknya”.
Kata Sa’ad: “Saya perhatikan, tak ada yang tampak di sekelilingku kecuali satu piring dan sebuah baskom. Lalu kataku padanya: “Wahai Abu Abdillah, berilah kami suatu pesan yang akan kami ingat selalu darimu!”
Maka ujarnya: “Wahai Sa’ad! Ingatlah Allah di kala dukamu, sedang kau derita. Dan pada putusanmu jika kamu menghukumi. Dan pada saat tanganmu melakukan pembagian”.
Pada hari-hari ia bertugas sebagai Amir atau kepala daerah di Madain, keadaannya tak sedikit pun berubah. Ia menolak untuk menerima gaji sebagai amir, satu dirham sekalipun. Ia tetap mengambil nafkahnya dari hasil menganyam daun kurma, sedangkan pakaiannya tidak lebih dari sehelai baju luar, dalam kesederhanaan dan kesahajaannya tak berbeda dengan baju usangnya.
Terpaksa Menjadi Miskin
KH Mustafa Bisri atau Gus Mus sebagaimana dikutip Quito R. Motinggo dalam bukunya berjudul "Keajaiban Cinta: Membuat Hidup Lebih Berenergi dan Dinamis" mengatakan orang-orang miskin yang ada saat ini ialah orang-orang yang sebenarnya “terpaksa” menjadi orang miskin.