Sahabat Nabi Muhammad SAW yang Paling Miskin

Selasa, 16 Agustus 2022 - 05:15 WIB
loading...
Sahabat Nabi Muhammad SAW yang Paling Miskin
Sahabat Nabi Muhammad SAW yang paling miskin dan sepanjang hidupnya tetap miskin boleh jadi adalah Abu Dzar Al-Ghifari. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Sahabat Nabi Muhammad SAW yang paling miskin dan sepanjang hidupnya tetap miskin boleh jadi adalah Abu Dzar Al-Ghifari . Ada juga sahabat Nabi yang menjalani hidup miskin seperti Ali bin Abu Thalib , Salman Al-Farisi , dan Said bin Amir Al Jumahy . Kendati sudah menjadi pejabat tinggi, mereka tetap miskin. Ali sempat menjadi khalifah, Salman dan Said menjadi gubernur.

Banyak sahabat Nabi Muhammad SAW di awal-awal Islam memang hidup miskin, hanya saja di kemudian hari menjadi berkecukupan. Mereka menjadi kaya karena diangkat menjadi pejabat sepeninggal Rasulullah SAW.Sebut saja, misalnya, Abu Hurairah .

Pada masa Nabi, Abu Hurairah sangat miskin sehingga bisa menghabiskan waktunya sehari-hari untuk menemani Nabi SAW. Sejak kecil, penggemar kucing ini sudah bergelut dengan kemiskinan. Sahabat Nabi bernama asli Abdurrahman bin Shakhr Al-Azdi merupakan periwayat hadis yang paling produktif.

Hanya saja, pada era Khalifah Umar bin Khattab beliau terbilang kaya, karena sempat menjadi Gubernur Bahrain. Dia kedapatan menyimpan uang sebanyak 10 ribu Dinar.



Abu Dzar Al-Ghifari
Abu Dzar Al Ghifari menghadap Sang Khalik di tempat pembuangannya di Rabadzah. Ia mati kelaparan bersama isteri dan anak-anaknya. Ia wafat dalam keadaan sangat menyedihkan.

Abu Dzar Al-Ghifari meninggal di pengasingan pada era pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan . Ia menyusul istri dan putranya yang meninggal terlebih dahulu. Tinggal putrinya seorang yang bertahan.

Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya berjudul "Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah" menceritakan pada waktu perang Tabuk, tahun 9 Hijriyah, Rasulullah beserta sahabat sedang dalam perjalanan dalam rangka menghadang pasukan Romawi yang telah berkumpul di suatu tempat. Karena medan yang sulit dan cuaca yang teramat panas terik, dan ada beberapa Muslim yang pergi belakangan, maka rombongan pasukan Muslim menjadi terpisah-pisah.

Begitu pula dengan Abu Dzar, dia terpisah dari rombongan utama karena keledainya melambat. Keledai tersebut kelelahan karena perjalanan yang panjang ditambah terik matahari membuatnya kelaparan dan kehausan. Maka Abu Dzar memutuskan untuk berjalan kaki saja, lalu dipikulnya sendiri barang-barangnya. Dia mempercepat langkahnya agar dapat segera menyusul Rasulullah SAW.

Di suatu pagi, kaum Muslimin tengah beristirahat di suatu tempat, tiba-tiba salah seorang melihat kepulan debu di kejauhan, sedang di depannya terlihat seorang lelaki yang berjalan cepat. “Wahai Rasulullah, itu ada seorang lelaki berjalan seorang diri!” serunya.

“Mudah-mudahan orang itu Abu Dzar,” kata Rasulullah.

Setelah dia dekat dengan rombongan, seseorang berseru, “Wahai Rasulullah! Demi Allah dia Abu Dzar!”

Tibalah Abu Dzar di hadapan Rasulullah dengan wajah gembira. Maka tersenyumlah Rasulullah, senyuman yang menyiratkan kesantunan dan belas kasihan, seraya berkata:

“Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Dzar. Dia berjalan sebatang kara, meninggal sebatang kara, dan dibangkitkan nanti sebatang kara.”

Setelah lebih dari 20 tahun lalu sejak kejadian tersebut, Abu Dzar wafat di padang pasir Rabzah sebatang kara, setelah sebatang kara dia menempuh hidup yang luar biasa yang seorangpun tidak dapat menyamainya.

Dan dalam lembaran sejarah, dia muncul hanya sebatang kara—yakni orang satu-satunya—baik dalam keagungan zuhud maupun keluhuran cita, dan kemudian dia akan dibangkitkan di sisi Allah sebagai tokoh satu-satunya juga, karena dengan segala amalannya, tidak ada seorang pun yang memadai untuk berdampingan dengannya.



Ali bin Abu Thalib
Ali bin Abu Thalib adalah khalifah yang hidup serba kekurangan secara ekonomi. "Pada suatu hari aku datang ke rumah Ali bin Abu Thalib. Ia sedang duduk di balai-balai berselimut kain kumal. Waktu itu musim dingin," ujar Harun bin Antarah menceritakan penyaksian ayahnya.

Lalu, Antarah berkata pada Ali. "Ya Amiral Mukminin, Allah telah memberi hak kepada anda dan kepada keluarga anda untuk menerima sebagian dari harta Baitul Mal. Mengapa anda berbuat seperti itu terhadap diri anda sendiri?"

"Demi Allah," sahut Ali bin Abu Thalib, "Aku tidak mau mengurangi hak kalian walau sedikit. Ini adalah selimut yang kubawa sewaktu keluar meninggalkan Madinah."

Buku Sejarah Hidup Imam Ali ra karya H.M.H. Al Hamid Al Husaini menyebut 'Ashim bin Ziyad pernah bertanya kepada Ali bin Abu Thalib: "Ya Amiral Mukminin, pakaian anda itu terlalu kasar dan makanan anda pun terlampau buruk! Mengapa anda berbuat seperti itu?"

"Celaka benar engkau itu," jawab Ali bin Abu Thalib. "Allah SWT mewajibkan para pemimpin supaya menempatkan dirinya masing-masing di bawah ukuran orang lain, agar tidak sampai memperkosa penderitaan si miskin."

Suwaid bin Ghaflah juga menyaksikan cara hidup Ali bin Abu Thalib. Ia menceritakan penyaksiannya sendiri: "Pada suatu hari aku datang ke rumah Ali bin Abu Thalib. Di dalamnya tidak terdapat perkakas apapun selain selembar tikar yang sudah koyak. Ia sedang duduk di tempat itu."

"Aku segera bertanya setengah mengingatkan: 'Ya Amiral Mukminin, mengapa rumah anda seperti ini? Anda adalah seorang penguasa kaum muslimin, yang memerintah mereka dan yang menguasai Baitul Mal. Banyak utusan datang menghadap anda, sedang di rumah anda ini tidak ada perkakas selain tikar'…"

"Ya Suwaid," jawab Ali bin Abu Thalib, "dalam rumah yang bersifat sementara ini tidak perlu ada perkakas, sebab di depan kita ada rumah yang kekal. Semua perkakas sudah kami pindahkan ke sana, dan tak lama lagi kami akan kembali ke sana."



Said bin Amir Al Jumahy
Kemiskinan juga akrab dengan Said bin Amir Al Jumahy. Bahkan ia tercatat sebagai orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Di masa Khalifah Umar bin Khattab, Said diangkat menjadi Gubernur di Himsh. Ia sempat menolak namun dipaksa oleh Umar.

Sesudah pelantikan, Khalifah Umar bertanya kepada Said, “Berapa gaji yang Engkau inginkan?”

“Apa yang harus saya perbuat dengan gaji itu, ya Amirul Mu’minin?” jawab Said balik bertanya. “Bukankah penghasilan saya dan Baitul Mal sudah cukup?”

Tidak berapa lama setelah Said memerintah di Himsh, sebuah delegasi datang menghadap Khalifah Umar di Madinah. Delegasi itu terdiri dari penduduk Hims yang ditugasi Khalifah mengamat-amati jalannya pemerintahan di Himsh.

Dalam pertemuan dengan delegasi tersebut, Khalifah Umar meminta daftar fakir miskin Himsh untuk diberikan santunan. Delegasi mengajukan daftar yang diminta Khalifah. Di dalam daftar tersebut terdapat nama-nama si Fulan, dan nama Said bin ‘Amir Al-Jumahy.

Ketika Khalifah meneliti daftar tersebut, beliau menemukan nama Said bin ‘Amir Al-Jumahy. Lalu beliau bertanya “Siapa Said bin ‘Amir yang kalian cantumkan ini?” “Gubernur kami!“ jawab mereka.

“Betulkah Gubernur kalian miskin?” tanya khalifah heran.

“Sungguh, ya Amiral Mu’minin! Demi Allah! Sering kali di rumahnya tidak kelihatan tanda-tanda api menyala (tidak memasak),” jawab mereka meyakinkan.

Mendengar perkataan itu, Khalifah Umar menangis, sehingga air mata beliau meleleh membasahi jenggotnya. Kemudian beliau mengambil sebuah pundi-pundi berisi uang seribu dinar.

“Kembalilah kalian ke Himsh. Sampaikan salamku kepada Gubernur Said bin ‘Amir. Dan uang ini saya kirimkan untuk beliau, guna meringankan kesulitan-kesulitan rumah tangganya,” ucap Umar sedih.

Setibanya di Himsh, delegasi itu segera menghadap Gubernur Said, menyampaikan salam dan uang kiriman Khalifah untuk beliau. Setelah Gubernur Sa ‘id melihat pundi-pundi berisi uang dinar, pundi-pundi itu dijauhkannya dari sisinya seraya berucap, ‘inna lilahi wa inna ilaihi raji’un. (Kita milik Allah, pasti kembali kepada Allah).”

Uang itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang membutuhkannya. “Dengan begitu berarti kita mendepositokan uang ini kepada Allah. Itulah cara yang lebih baik,” kata Said ketika istrinya bertanya.



Salman Al-Farisi
Kisah sejenis juga melekat pada Salman Al-Farisi. Dia adalah sahabat Nabi yang sepeninggal Nabi SAW sempat menjadi gubernur atau Amir.

Khalid Muhammad Khalid mengisahkan pada tahun-tahun kejayaan umat Islam, panji-panji Islam telah berkibar di seluruh penjuru.

Harta benda yang tak sedikit jumlahnya mengalir ke Madinah sebagai pusat pemerintahan baik sebagai upeti ataupun pajak untuk kemudian diatur pembagiannya menurut ketentuan Islam. Negara mampu membayar mahal gaji dan tunjangan hidup bagi pejabat.

Nah, di antara gundukan harta ini tidak ada Salman Al-Farisi ra. Beliau hanyalah lelaki tua yang berwibawa. Dia seringkali kedapatan duduk di bawah naungan pohon. Mengayam dan menjalin daun kurma untuk dijadikan bakul atau keranjang.

Salman berpakaian sangat sederhana. Bukannya tidak punya duit untuk membeli pakaian yang layak. Tunjangan yang diperolehnya tidak sedikit, antara empat sampai enam ribu dirham setahun. Tapi semua itu disumbangkannya habis untuk kegiatan sosial. Satu dirham pun tak diambil untuk dirinya.

“Untuk bahannya kubeli daun satu dirham, lalu kuperbuat dan kujual tiga dirham. Yang satu dirham kuambil untuk modal, satu dirham lagi untuk nafkah keluargaku, sedang satu dirham sisanya untuk sedekah,” kata Salman suatu ketika.

Salman kelahiran Persia. Suatu negeri yang terkenal dengan kemewahan dan kesenangan serta hidup boros. Ia bukan dari golongan miskin atau bawahan, tapi dari golongan berpunya dan kelas tinggi.

Kenapa ia sekarang menolak harta, kekayaan dan kesenangan; bertahan dengan kehidupan bersahaja, tiada lebih dari satu dirham tiap harinya, yang diperoleh dari hasil jerih payahnya sendiri? Kenapa ditolaknya pangkat dan tak bersedia menerimanya?

“Seandainya kamu masih mampu makan tanah --asal tak membawahi dua orang manusia--maka lakukanlah!” ujar Salman.

Salman menolak pangkat dan jabatan, kecuali jika mengepalai sepasukan tentara yang pergi menuju medan perang. Ia mau menjabat jika dalam suasana tidak ada seorang pun yang mampu memikul tanggung jawab kecuali dia. Jika begitu, biasanya dia melakukannya dengan hati murung dan jiwa merintih.

Lalu kenapa ketika memegang jabatan yang mesti dipikulnya, ia tidak mau menerima tunjangan yang diberikan padanya secara halal?

Diriwayatkan oleh Hisyam bin Hisan dari Hasan: “Tunjangan Salman sebanyak lima ribu setahun, (gambaran kesederhanaannya) ketika ia berpidato di hadapan tigapuluh ribu orang separuh baju luarnya (aba’ah) dijadikan alas duduknya dan separuh lagi menutupi badannya. Jika tunjangan keluar, maka dibagi-bagikannya sampai habis, sedang untuk nafkahnya dari hasil usaha kedua tangannya”.

Kenapa ia melakukan perbuatan seperti itu dan amat zuhud kepada dunia, padahal ia seorang putra Persia yang biasa tenggelam dalam kesenangan dan dipengaruhi arus kemajuan?

Marilah kita dengar jawaban yang diberikannya ketika berada di atas pembaringan menjelang ajalnya, sewaktu ruhnya yang mulia telah bersiap-siap untuk kembali menemui Tuhannya Yang Maha linggi lagi Maha Pengasih.

Sa’ad bin Abi Waqqash datang menjenguknya, lalu Salman menangis. “Apa yang anda tangiskan, wahai Abu Abdillah,” tanya Sa’ad, “padahal Rasulullah SAW wafat dalam keadaan rida kepada anda?”

“Demi Allah,” ujar Salman, “Daku menangis bukanlah karena takut mati ataupun mengharap kemewahan dunia, hanya Rasulullah telah menyampaikan suatu pesan kepada kita, sabdanya: Hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengendara, padahal harta milikku begini banyaknya”.

Kata Sa’ad: “Saya perhatikan, tak ada yang tampak di sekelilingku kecuali satu piring dan sebuah baskom. Lalu kataku padanya: “Wahai Abu Abdillah, berilah kami suatu pesan yang akan kami ingat selalu darimu!”

Maka ujarnya: “Wahai Sa’ad! Ingatlah Allah di kala dukamu, sedang kau derita. Dan pada putusanmu jika kamu menghukumi. Dan pada saat tanganmu melakukan pembagian”.

Pada hari-hari ia bertugas sebagai Amir atau kepala daerah di Madain, keadaannya tak sedikit pun berubah. Ia menolak untuk menerima gaji sebagai amir, satu dirham sekalipun. Ia tetap mengambil nafkahnya dari hasil menganyam daun kurma, sedangkan pakaiannya tidak lebih dari sehelai baju luar, dalam kesederhanaan dan kesahajaannya tak berbeda dengan baju usangnya.



Terpaksa Menjadi Miskin
KH Mustafa Bisri atau Gus Mus sebagaimana dikutip Quito R. Motinggo dalam bukunya berjudul "Keajaiban Cinta: Membuat Hidup Lebih Berenergi dan Dinamis" mengatakan orang-orang miskin yang ada saat ini ialah orang-orang yang sebenarnya “terpaksa” menjadi orang miskin.

"Mereka lebih banyak terpaksa hidup miskin, karena pintu-pintu rezeki seperti sudah tertutup untuk mereka. Kemiskinan tersebut bukan sebuah pilihan," ujar Gus Mus.

Hal ini tidak seperti Salman al-Farisi yang sudah menjadi pejabat, dengan gaji sekitar empat ribu sampai enam ribu Dinar, tetapi ia tetap memilih hidup sederhana. Semua gajinya diberikan kepada orang yang membutuhkan dan untuk kepentingan umat. Rumahnya kecil. Jika ia berdiri, kepalanya menyentuh atap rumah. Jika ia tidur, kakinya menyentuh dinding. Perabotan di dalam rumah, hanya terdapat satu mangkuk tempat makan, dan satu tempat air untuk berwudhu.

Menurut Gus Mus, kemiskinan yang dijalani secara terpaksa bukan kemiskinan yang istimewa dan terhormat. Kemiskinan seperti ini hanyalah kemiskinan yang sangat dibenci oleh Islam. Di samping sudah menjadi beban bagi orang lain, ia juga menjadi beban bagi dirinya sendiri, termasuk keluarganya. Keberadaan mereka bisa mencoreng keagungan Islam.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1955 seconds (0.1#10.140)