Kisah Sayyidah Aisyah Kehilangan Kalung Malah Dituduh Selingkuh dengan Shafwan
loading...
A
A
A
Kisah Sayyidah Aisyah ra kehilangan kalung berbuntut fitnah. Orang-orang munafik menebarkan kisah bohong atas diri istri Nabi Muhammad SAW itu. Beliau dituduh selingkuh dengan Shafwan ibnul-Mu’aththal as-Sulami. Riwayat itu juga berkaitan dengan sebab turunnya surah an-Nur ayat 11.
Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitab "Luqaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul" mengutip Sahih Bukhari dan Muslim meriwayatkan berdasarkan penuturan Sayyidah Aisyah sendiri atas kisah ini.
Menurut Aisyah, apabila Rasulullah hendak mengadakan perjalanan maka beliau biasanya mengundi di antara para istrinya. Siapa yang namanya keluar, maka dialah yang ikut bersama beliau.
"Dalam suatu peperangan, beliau mengundi kami. Karena nama saya yang keluar, saya pun ikut pergi bersama beliau. Peristiwa ini terjadi setelah turun wahyu yang mewajibkan hijab," tutur Aisyah.
"Di sepanjang perjalanan itu," lanjut Aisyah, "saya pun diangkut di atas tandu dan tetap tinggal di dalamnya."
Ketika Rasulullah selesai dari peperangan, maka kami sedang dalam perjalanan pulang. Kami sudah dekat dengan Madinah.
Pada suatu malam beliau mengumumkan hendak melanjutkan perjalanan. Ketika mereka mengumumkan keberangkatan, saya sedang pergi untuk menyelesaikan hajat.
Setelah saya menyelesaikan hajat, saya pun hendak kembali ke tandu saya. Namun, saya menyadari, kalung saya yang buatan Azhfaar telah putus dan hilang. Maka saya pun kembali ke tempat semula (tempat buang hajat) untuk mencari benda itu.
Saya masih mencari kalung itu di sana, sedangkan orang-orang yang mengangkut tandu saya sudah datang. Mereka pun mengangkat tandu itu ke atas unta. Mereka mengira, saya berada di dalam tandu itu.
Memang, umumnya perempuan pada masa itu tubuhnya ringan. Mereka hanya makan sesuap (sehingga jarang berbobot tubuh berat). Oleh karena itu, para pengangkut tandu itu tidak merasa heran dengan ringannya tandu ketika mereka mengangkatnya.
Mereka tuntun unta dengan tandu tersebut lalu berangkat. Sementara itu, saya baru menemukan kalung saya setelah pasukan itu pergi.
Ketika saya tiba di tempat peristirahatan mereka tadi, tidak seorang pun kelihatan. Akhirnya, saya menuju tempat istirahat saya semula. Saya pikir, mereka akan menyadari, saya tidak bersama mereka sehingga mereka akan kembali untuk mencari saya. Ketika saya duduk di tempat saya, saya merasa mengantuk sehingga tertidur.
Ketika itulah, Shafwan ibnul-Mu’aththal as-Sulami berjalan di belakang pasukan. Pagi hari itu, ia sampai di tempat saya.
Ia melihat seseorang sedang tertidur. Segera ia mengenaliku begitu melihat saya.
Dia memang pernah melihat wajah saya sebelum diwajibkannya hijab. Saya terbangun mendengar suaranya yang mengucapkan, 'Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun!'
Saya pun buru-buru menutupi wajah dengan jilbab. Demi Allah, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada saya. Saya tidak mendengar sepatah kalimat pun keluar dari mulutnya selain ucapan innalillahi tadi.
Ia hanya menundukkan untanya, menginjak kakinya, lalu saya pun menaikinya. Kemudian, dia berangkat menuntun unta itu sampai kami tiba di pasukan yang sedang berhenti untuk beristirahat di siang hari yang terik.
Cerita Bohong
Peristiwa ini dimanfaatkan oleh kaum munafik. Mereka membubuhi kisah ini dengan berbagai cerita bohong. Di antara yang sangat berantusias menyebarkan cerita bohong dan keji itu adalah Abdullah bin Ubay Ibnu Salul.
Cerita bohong itu menyebar dengan cepat, dari mulut ke mulut, sehingga ada beberapa sahabat yang terfitnah dan tanpa disadari ikut andil dalam menyebarkan berita ini.
Mereka adalah Misthah bin Utsatsah (sepupu Abu Bakar ash-Shiddiq ra), Hassan bin Tsabit dan Hamnah bintu Jahsy ra.
Rasulullah SAW sedih dengan berita yang tersebar, bukan karena meragukan kesetiaan istri beliau. Beliau percaya Aisyah dan Shafwan ra tidak seperti yang digunjingkan.
Berita yang sangat menyakiti hati Rasulullah SAW ini memantik kemarahan para sahabat dan hampir saja menyulut pertikaian di antara kaum Muslimin.
Sebagai respon dari berita buruk ini, Sa’ad bin Mu’adz ra menyatakan kesiapannya untuk membunuh kaum Aus yang terlibat dalam penyebaran berita dusta ini. Sementara Sa’ad bin Ubadah ra tidak setuju dengan sikap Sa’ad bin Mu’adz ini, karena di antara yang tertuduh terlibat dalam penyebaran berita ini berasal dari kaum Sa’ad bin Ubadah.
Hampir saja kekacauan yang diinginkan kaum munafik menjadi nyata, namun dengan petunjuk dari Allah SAW, Rasulullah tampil menyelesaikan permasalahan ini dan berhasil meredam api kemarahan. Sehingga kaum munafik harus menelan pil pahit kegagalan untuk kesekian kalinya.
Awalnya, Aisyah tidak tahu kalau banyak orang yang sedang menggunjing beliau. Beliau menyadari hal itu, ketika jatuh sakit dan meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk tinggal sementara waktu di rumah orang tua beliau yaitu Abu Bakar ra.
Betapa sakit hati Aisyah mendengarnya. Sejak saat itu, beliau susah bahkan tidak bisa tidur. Beliau berharap dan memohon agar Allah SWT memberitahukan kepada nabi-Nya melalui mimpi perihal permasalahan yang sedang dipergunjingkan khalayak ramai.
Aisyah merasa tidak pantas menjadi penyebab turunnya wahyu. Oleh karenanya beliau berharap ada pemberitahuan lewat mimpi kepada nabi-Nya.
Sebulan penuh, ‘Aisyah merasakan kepedihan dan juga Rasulullah akibat ulah orang-orang munafik ini. Sampai akhirnya, Allah SWT menurunkan sepuluh ayat al- Quran perihal berita dusta ini. Allah SWT berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ ۚ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ ۖ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ ۚ وَالَّذِي تَوَلَّىٰ كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﴿١١﴾ لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَٰذَا إِفْكٌ مُبِينٌ ﴿١٢﴾ لَوْلَا جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ ۚ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَدَاءِ فَأُولَٰئِكَ عِنْدَ اللَّهِ هُمُ الْكَاذِبُونَ ﴿١٣﴾ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فِي مَا أَفَضْتُمْ فِيهِ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﴿١٤﴾ إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ ﴿١٥﴾ وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَٰذَا سُبْحَانَكَ هَٰذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ ﴿١٦﴾ يَعِظُكُمُ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ﴿١٧﴾ وَيُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ ۚ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ﴿١٨﴾ إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ﴿١٩﴾ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
11. Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu, tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, maka baginya azab yang besar.
12. Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang Mukminin dan Mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) mengatakan, “Ini adalah berita bohong yang nyata.”
13. Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itu di sisi Allâh adalah orang-orang yang dusta.
14. Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, akibat pembicaraan kamu tentang berita bohong itu.
15. (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal dia di sisi Allâh adalah besar.
16. Dan Mengapa kamu diwaktu mendengar berita bohong itu tidak mengatakan, “Kita sama sekali tidak pantas untuk mengucapkan ini, Maha Suci Engkau (Ya Rabb kami), ini adalah dusta yang besar.”
17. Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.
18. Dan Allâh menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allâh Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
19. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allâh mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.
20. Dan sekiranya bukan karena kurnia Allâh dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allâh Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar). [ QS an-Nûr/24 :11-20]
Dengan turunnya ayat ini, maka permasalahan ini pun menjadi jelas. Rasulullah SAW dan Ummul Mukminin ‘Aisyah ra merasa lega. Begitu juga yang dirasakan oleh kaum Muslimin, namun mereka merasa berang dengan orang-orang yang ikut andil dalam mencoreng nama baik ummul Mukminin.
Sumpah Abu Bakar
Abu Bakar As-Shiddiq ra tersulut emosinya ketika tahu bahwa Misthah bin Utsâtsah, sepupu beliau yang selama ini dibantu ekonominya ternyata ikut andil dalam menyebarkan berita yang telah melukai hati Rasulullah SAW dan seluruh kaum Muslimin ini. Bahkan sampai beliau bersumpah untuk tidak akan membantunya lagi. Lalu turunlah firman Allâh Azza wa Jalla :
وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allâh mengampunimu? dan Allâh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [ QS an-Nûr/24 : 22]
Akhirnya Abu Bakar Radhiyallahu anhu membantu Misthah kembali karena mengharap ampunan dari Allâh Azza wa Jalla .
Dalam ayat-ayat di atas, Allâh mencela mereka yang terperangkap dalam jebakan orang-orang munafik dan memuji kaum Mukminin yang tidak termakan isu ini dan menyikapinya dengan bijak sembari menyakini kedustaan berita ini.
Di antara yang tersanjung dengan ayat ini adalah Abu Ayyub al-Anshari ra. Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadis yang memberitakan bahwa salah sahabat Rasulullah dari kaum Anshar saat mendengar berita ini, beliau mengatakan :
Kita sama sekali tidak pantas untuk mengucapkan ini, Maha Suci Engkau (Ya Rabb kami), ini adalah dusta yang besar [HR. Bukhari, al Fath, 28/110, no. 7370]
Ibnu Hajar menjelaskan bahwa orang ini adalah Abu Ayyub ra.
Setelah perkara ini menjadi jelas, Rasulullah SAW kemudian menuntaskannya dengan memberikan sanksi kepada mereka yang terlibat.
Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitab "Luqaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul" mengutip Sahih Bukhari dan Muslim meriwayatkan berdasarkan penuturan Sayyidah Aisyah sendiri atas kisah ini.
Baca Juga
Menurut Aisyah, apabila Rasulullah hendak mengadakan perjalanan maka beliau biasanya mengundi di antara para istrinya. Siapa yang namanya keluar, maka dialah yang ikut bersama beliau.
"Dalam suatu peperangan, beliau mengundi kami. Karena nama saya yang keluar, saya pun ikut pergi bersama beliau. Peristiwa ini terjadi setelah turun wahyu yang mewajibkan hijab," tutur Aisyah.
"Di sepanjang perjalanan itu," lanjut Aisyah, "saya pun diangkut di atas tandu dan tetap tinggal di dalamnya."
Ketika Rasulullah selesai dari peperangan, maka kami sedang dalam perjalanan pulang. Kami sudah dekat dengan Madinah.
Pada suatu malam beliau mengumumkan hendak melanjutkan perjalanan. Ketika mereka mengumumkan keberangkatan, saya sedang pergi untuk menyelesaikan hajat.
Setelah saya menyelesaikan hajat, saya pun hendak kembali ke tandu saya. Namun, saya menyadari, kalung saya yang buatan Azhfaar telah putus dan hilang. Maka saya pun kembali ke tempat semula (tempat buang hajat) untuk mencari benda itu.
Saya masih mencari kalung itu di sana, sedangkan orang-orang yang mengangkut tandu saya sudah datang. Mereka pun mengangkat tandu itu ke atas unta. Mereka mengira, saya berada di dalam tandu itu.
Memang, umumnya perempuan pada masa itu tubuhnya ringan. Mereka hanya makan sesuap (sehingga jarang berbobot tubuh berat). Oleh karena itu, para pengangkut tandu itu tidak merasa heran dengan ringannya tandu ketika mereka mengangkatnya.
Mereka tuntun unta dengan tandu tersebut lalu berangkat. Sementara itu, saya baru menemukan kalung saya setelah pasukan itu pergi.
Ketika saya tiba di tempat peristirahatan mereka tadi, tidak seorang pun kelihatan. Akhirnya, saya menuju tempat istirahat saya semula. Saya pikir, mereka akan menyadari, saya tidak bersama mereka sehingga mereka akan kembali untuk mencari saya. Ketika saya duduk di tempat saya, saya merasa mengantuk sehingga tertidur.
Ketika itulah, Shafwan ibnul-Mu’aththal as-Sulami berjalan di belakang pasukan. Pagi hari itu, ia sampai di tempat saya.
Ia melihat seseorang sedang tertidur. Segera ia mengenaliku begitu melihat saya.
Dia memang pernah melihat wajah saya sebelum diwajibkannya hijab. Saya terbangun mendengar suaranya yang mengucapkan, 'Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun!'
Saya pun buru-buru menutupi wajah dengan jilbab. Demi Allah, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada saya. Saya tidak mendengar sepatah kalimat pun keluar dari mulutnya selain ucapan innalillahi tadi.
Ia hanya menundukkan untanya, menginjak kakinya, lalu saya pun menaikinya. Kemudian, dia berangkat menuntun unta itu sampai kami tiba di pasukan yang sedang berhenti untuk beristirahat di siang hari yang terik.
Cerita Bohong
Peristiwa ini dimanfaatkan oleh kaum munafik. Mereka membubuhi kisah ini dengan berbagai cerita bohong. Di antara yang sangat berantusias menyebarkan cerita bohong dan keji itu adalah Abdullah bin Ubay Ibnu Salul.
Cerita bohong itu menyebar dengan cepat, dari mulut ke mulut, sehingga ada beberapa sahabat yang terfitnah dan tanpa disadari ikut andil dalam menyebarkan berita ini.
Mereka adalah Misthah bin Utsatsah (sepupu Abu Bakar ash-Shiddiq ra), Hassan bin Tsabit dan Hamnah bintu Jahsy ra.
Rasulullah SAW sedih dengan berita yang tersebar, bukan karena meragukan kesetiaan istri beliau. Beliau percaya Aisyah dan Shafwan ra tidak seperti yang digunjingkan.
Berita yang sangat menyakiti hati Rasulullah SAW ini memantik kemarahan para sahabat dan hampir saja menyulut pertikaian di antara kaum Muslimin.
Sebagai respon dari berita buruk ini, Sa’ad bin Mu’adz ra menyatakan kesiapannya untuk membunuh kaum Aus yang terlibat dalam penyebaran berita dusta ini. Sementara Sa’ad bin Ubadah ra tidak setuju dengan sikap Sa’ad bin Mu’adz ini, karena di antara yang tertuduh terlibat dalam penyebaran berita ini berasal dari kaum Sa’ad bin Ubadah.
Hampir saja kekacauan yang diinginkan kaum munafik menjadi nyata, namun dengan petunjuk dari Allah SAW, Rasulullah tampil menyelesaikan permasalahan ini dan berhasil meredam api kemarahan. Sehingga kaum munafik harus menelan pil pahit kegagalan untuk kesekian kalinya.
Awalnya, Aisyah tidak tahu kalau banyak orang yang sedang menggunjing beliau. Beliau menyadari hal itu, ketika jatuh sakit dan meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk tinggal sementara waktu di rumah orang tua beliau yaitu Abu Bakar ra.
Betapa sakit hati Aisyah mendengarnya. Sejak saat itu, beliau susah bahkan tidak bisa tidur. Beliau berharap dan memohon agar Allah SWT memberitahukan kepada nabi-Nya melalui mimpi perihal permasalahan yang sedang dipergunjingkan khalayak ramai.
Aisyah merasa tidak pantas menjadi penyebab turunnya wahyu. Oleh karenanya beliau berharap ada pemberitahuan lewat mimpi kepada nabi-Nya.
Sebulan penuh, ‘Aisyah merasakan kepedihan dan juga Rasulullah akibat ulah orang-orang munafik ini. Sampai akhirnya, Allah SWT menurunkan sepuluh ayat al- Quran perihal berita dusta ini. Allah SWT berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ ۚ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ ۖ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ ۚ وَالَّذِي تَوَلَّىٰ كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﴿١١﴾ لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَٰذَا إِفْكٌ مُبِينٌ ﴿١٢﴾ لَوْلَا جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ ۚ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَدَاءِ فَأُولَٰئِكَ عِنْدَ اللَّهِ هُمُ الْكَاذِبُونَ ﴿١٣﴾ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فِي مَا أَفَضْتُمْ فِيهِ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﴿١٤﴾ إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ ﴿١٥﴾ وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَٰذَا سُبْحَانَكَ هَٰذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ ﴿١٦﴾ يَعِظُكُمُ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ﴿١٧﴾ وَيُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ ۚ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ﴿١٨﴾ إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ﴿١٩﴾ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
11. Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu, tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, maka baginya azab yang besar.
12. Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang Mukminin dan Mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) mengatakan, “Ini adalah berita bohong yang nyata.”
13. Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itu di sisi Allâh adalah orang-orang yang dusta.
14. Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, akibat pembicaraan kamu tentang berita bohong itu.
15. (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal dia di sisi Allâh adalah besar.
16. Dan Mengapa kamu diwaktu mendengar berita bohong itu tidak mengatakan, “Kita sama sekali tidak pantas untuk mengucapkan ini, Maha Suci Engkau (Ya Rabb kami), ini adalah dusta yang besar.”
17. Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.
18. Dan Allâh menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allâh Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
19. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allâh mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.
20. Dan sekiranya bukan karena kurnia Allâh dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allâh Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar). [ QS an-Nûr/24 :11-20]
Dengan turunnya ayat ini, maka permasalahan ini pun menjadi jelas. Rasulullah SAW dan Ummul Mukminin ‘Aisyah ra merasa lega. Begitu juga yang dirasakan oleh kaum Muslimin, namun mereka merasa berang dengan orang-orang yang ikut andil dalam mencoreng nama baik ummul Mukminin.
Sumpah Abu Bakar
Abu Bakar As-Shiddiq ra tersulut emosinya ketika tahu bahwa Misthah bin Utsâtsah, sepupu beliau yang selama ini dibantu ekonominya ternyata ikut andil dalam menyebarkan berita yang telah melukai hati Rasulullah SAW dan seluruh kaum Muslimin ini. Bahkan sampai beliau bersumpah untuk tidak akan membantunya lagi. Lalu turunlah firman Allâh Azza wa Jalla :
وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allâh mengampunimu? dan Allâh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [ QS an-Nûr/24 : 22]
Akhirnya Abu Bakar Radhiyallahu anhu membantu Misthah kembali karena mengharap ampunan dari Allâh Azza wa Jalla .
Dalam ayat-ayat di atas, Allâh mencela mereka yang terperangkap dalam jebakan orang-orang munafik dan memuji kaum Mukminin yang tidak termakan isu ini dan menyikapinya dengan bijak sembari menyakini kedustaan berita ini.
Di antara yang tersanjung dengan ayat ini adalah Abu Ayyub al-Anshari ra. Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadis yang memberitakan bahwa salah sahabat Rasulullah dari kaum Anshar saat mendengar berita ini, beliau mengatakan :
Kita sama sekali tidak pantas untuk mengucapkan ini, Maha Suci Engkau (Ya Rabb kami), ini adalah dusta yang besar [HR. Bukhari, al Fath, 28/110, no. 7370]
Ibnu Hajar menjelaskan bahwa orang ini adalah Abu Ayyub ra.
Setelah perkara ini menjadi jelas, Rasulullah SAW kemudian menuntaskannya dengan memberikan sanksi kepada mereka yang terlibat.
(mhy)