4 Istri Rasulullah SAW yang Berstatus Janda saat Dinikahi
loading...
A
A
A
Setidaknya ada 10 istri Nabi Muhammad SAW yang berstatus janda saat dinikahi. Berikut adalah 4 di antaranya. Sebelumnya sudah diulas 7 di antaranya, yakni Khadijah binti Khuwailid , Saudah binti Zam'ah, Hafshah binti Umar, Zainab binti Khuzaimah, Ummu Salamah, Zainab binti Jahsy, dan Raihanah binti Zaid. Kini yang kita bahas adalah Juwairiyah binti al-Harits, Ummu Habibah , Shafiyah binti Huyay, dan Maimunah binti al-Harits.
Nabi Muhammad SAW menikahi Sayyidah Juwairiyah binti al-Harits dengan mahar 400 dirham. Nama asli Sayyidah Juwairiyah adalah Burrah binti Harits bin Abu Dhirar bin Habib bin Aid bin Malik bin Judzaimah bin Musthaliq bin Khuzaah. Beliau tidak suka kalau dikatakan, ‘beliau keluar dari Barrah (kebaikan)’. Itu sebabnya setelah menikah dengan Nabi, namanya diganti dengan Juwairiyah.
Ayahnya, al-Harits, adalah pemimpin Bani Musthaliq. Sebelumnya Sayyidah Juwairiyah adalah istri Musafi bin Shafwan. Beliau kaum ningrat nan cantik, baik hati, dan luas ilmunya. "Lelaki mana pun yang memandangnya bakal jatuh cinta," ujar Sayyidah Aisyah ra.
Kisah Sayyidah Juwairiyah sampai ke pintu rumah Rasulullah, tidak lepas dari permusuhan Bani Musthaliq kepada Islam. Harits bin Abu Dhirar yang menyembah berhala hendak menghalangi dakwah Rasulullah SAW di Madinah.
Mendengar Bani Musthaliq siap mengangkat senjata, Rasulullah SAW memerintahkan para sahabatnya untuk siap berjihad. Rasulullah menjadi panglima dalam perang Mustalaq ini.
Kedua pasukan bertemu di daerah Muraisi. Bersama pasukan Muhajirin dan Anshar, Rasulullah SAW berhasil mengalahkan Bani Mushtaliq. Suami Juwairiyah, Musafi bin Shafwan, terbunuh dalam perang ini. Karena kalah perang, harta dan wanita Bani Musthaliq, termasuk Sayyidah Juwairiyah menjadi tawanan kaum Muslimin.
Janda Musafi ini diserahkan kepada Tsabit bin Qais bin Syammas. Karena Juwairiyah termasuk pemuka kaumnya, ia merasakan kesedihan dan beban yang luar biasa akibat kekalahan Bani Musthaliq. Suaminya terbunuh, ayahnya melarikan diri, dan kini dia beserta kaumnya menjadi tawanan kaum Muslimin.
Beliau pun ingin menebus dirinya agar bebas. Karena dirinya adalah seorang tokoh dari kaumnya. Namun, ia tak memiliki apapun yang bisa digunakan untuk menebus dirinya.
Ia datang menemui Rasulullah, dengan maksud meminta tolong kepada beliau untuk membebaskan dirinya. Aisyah mengatakan, "Demi Allah, tatkala aku melihat ia berdiri di depan pintu rumahku, aku tidak menyukai hal itu. Karena aku tahu, Rasulullah akan melihat apa yang aku lihat".
Juwairiyah berkata, "Hai Rasulullah, aku memiliki masalah yang telah Anda ketahui. Aku ingin membebaskan diriku. Dan aku datang kepadamu agar kau menolongku".
Rasulullah menanggapi, "Atau kau ingin yang lebih baik dari itu?"
"Apa itu, Rasulullah?" tanya Juwairiyah.
Rasulullah berkata, "Aku menikahimu dan kutunaikan pembebasanmu".
Juwairiyah menjawab, "Tentu mau".
Nabi menjawab, "Aku telah melakukannya.”
Menurut Aisyah, kabar ini pun tersebar di tengah kaum muslimin. Mereka berkata, ‘(tawanan kita ini) ipar-ipar Rasulullah!’. Mereka pun membebaskan semua tawanan Bani Musthaliq. Tawanan yang dibebaskan karena pernikahan Juwairiyah ini berjumlah 100 orang Bani Musthaliq. "Aku tidak mengetahui wanita yang paling besar berkahnya terhadap kaumnya dibanding Juwairiyah,” ujar Sayyidah Aisyah.
Setelah menjadi Ummahatul Mukminin, Sayyidah Juwairiyah banyak menghabiskan waktunya dengan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sayyidah Juwairiyah dikenal dengan sahabiyah yang ahli sholat.
Sedangkan pernikahan Nabi Muhammad dengan Ummu Habibah dilakukan dari jarak jauh. Nabi Muhammad di Madinah sedangkan Ummu Habibah di Habasyah. Pernikahan ini dilakukan setelah suami Ummu Habibah meninggal dunia.
Ummu Habibah bernama asli Ramlah binti Abu Sufyan (Shakhr) bin Harb bin Umayyah bin Abdusy Syams bin Abdu Manaf al-Umawiyah. Beliau dilahirkan 25 tahun sebelum hijrah. Dan wafat pada tahun 44 H. Ibunya adalah Shafiyah binti Abi al-Ash bin Umayyah. Sang Ibu merupakan bibi dari Khalifah Utsman bin Affan ra.
Beliau adalah pemeluk Islam generasi pertama. Padahal beliau adalah putri dari tokoh besar Mekkah dan pemimpinnya, Abu Sufyan bin Harb. Bapaknya, Abu Sufyan, sangat marah ketika mengetahui putrinya masuk Islam. Itu sebabnya, beliau berhijrah bersama sang suami.
Mereka menempuh perjalanan jauh dan melelahkan menuju Afrika nun jauh di sana. Hijrah ke Habasyah. Beratnya hijrah semakin terasa lagi karena saat itu ia tengah mengandung. Di Habasyah beliau melahirkan seorang anak yang bernama Habibah. Maka sejak itu, beliau dipanggil Ummu Habibah.
Saat di Habasyah itu, sang suami seringkali berdiskusi masalah agama dan ketuhanan dengan kaum Nasrani. Dalam perjalananya, sang suami justru murtad dan memeluk Nasrani.
Tentu saja hal ini menjadi musibah besar bagi Ummu Habibah. Ia berada di perantauan. Negeri asing nun jauh dari sanak saudara. Kalau pulang ke kampung halaman Mekkah, ia berada dalam ancaman. Ayahnya tak menerima keislamannya. Beliau benar-benar sebatang kara setelah suaminya murtad. Tapi ia tetap teguh dengan keislamannya.
Setelah usai masa iddahnya, datang seorang utusan an-Najasyi di depan pintu. Meminta izin bertemu. Ternyata itu adalah budak perempuan miliknya yang namanya Abrahah. Dialah yang mengurusi pakaian an-Najasyi dan meminyaki dirinya.
Ummu Habibah bercerita, utusan itu berkata, “Raja berpesan untukmu, ‘Sesungguhnya Rasulullah SAW menulis surat padaku untuk menikahkanmu dengannya’. Allah memberimu kabar gembira yang begitu baik”, sambung budak itu.
Ia melanjutkan, “Raja berkata padamu tunjuk orang yang mewakilimu untuk menikahkanmu.”
Ummu Habibah mengirim Khalid bin Said bin al-Ash. Ia mewakilkan dirinya dengan Khalid. Kemudian ia memberi Abrahah dua gelang perak dan dua perhiasan yang dikenakan di kaki. Dan juga cicin perak itu disematkan di jari kakinya. Hal itu sebagai bentuk syukur atas kabar gembira yang ia bawa.
Nabi SAW menikahi Ummu Habibah pada tahun ke-7 H. Beliau menikahinya karena memuliakannya dan meneguhkan agamanya. Jadilah Ummu Habibah adalah wanita satu-satunya yang menikah dengan Rasulullah dari jarak jauh. Rasulullah di Madinah, sedangkan beliau berada, di Habasyah, Afrika.
Selanjutnya, pernikahan Rasulullah dengan Sayyidah Shafiyah binti Huyay . Sayyidah Shafiyah pernah menikah dengan Salam ibn Abi Haqîq, kemudian dengan Kinanah ibn Abi al-Haqîq, penguasa Benteng al-Qumush, benteng yang paling megah di Khaibar. Keduanya adalah kesatria dan penyair terbaik dari kaumnya. Kala itu, penyair menempati posisi mulia. Mereka terhitung sebagai cerdik cendekia.
Sayyidah Shafiyah binti Huyai bin Akhtab adalah bangsawan Bani Nadhir, keturunan Nabi Harun as. Maknanya, jika ditarik garis nasabnya, Nabi Musa as terhitung sebagai pamannya. Rasulullah pernah mengatakan padanya, “Sesungguhnya engkau adalah putri seorang nabi. Pamanmu pun seorang nabi. Dan engkau dalam naungan seorang nabi. Bagaimana kau tidak bangga dengan hal itu?”
Sayyidah Shafiyah lahir tahun 9 sebelum hijrah dan wafat 50 H. Tahun lahir dan wafat itu bertepatan dengan 613 M dan 670 M.
Ayah Sayyidah Shafiyah, Huyai bin Akhtab, adalah tokoh Yahudi sekaligus ulama mereka. Sang ayah tahu bahwa Muhammad bin Abdullah adalah seorang nabi akhir zaman. Ia tahu persis sejak kali pertama kaki Nabi yang mulia menjejak tanah Yatsrib (nama Madinah di masa lalu). Namun ia sombong dan menolak kebenaran. Karena apa? Karena nabi itu berasal dari Arab bukan dari anak turunan Israil (Nabi Ya’qub).
Selanjutnya pernikahan Maimunah binti al-Harits. Nama lengkapnya adalah Barrah binti Al-Harits bin Hazm bin Bujair bin Hazm bin Rabiah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah dan dikenal dengan Maimunah. Ibunya bernama Hindun binti Aus bin Zubai bin Harits bin Hamatsah bin Jarsy.
Dalam keluarganya, Sayyidah Maimunah termasuk dalam tiga bersaudara yang memeluk Islam.
Sayyidah Maimunah dilahirkan enam tahun sebelum masa kenabian, sehingga dia mengetahui saat-saat orang-orang hijrah ke Madinah. Dia banyak terpengaruh oleh peristiwa hijrah tersebut, dan juga banyak dipengaruhi kakak perempuannya, Ummu Fadhal, yang telah lebih dahulu memeluk Islam. Namun dia menyembunyikan keislamannya karena merasa bahwa lingkungannya tidak mendukung.
Sebelum menikah dengan Nabi Muhammad SAW, ia menikah dengan Abu Rahm bin Abdul-Uzza. Suaminya meninggalkan Sayyidah Maimunah sebagai janda pada usia 26 tahun.
Kisah lainnya menyebut Sayyidah Maimunah pernah menikah dengan Mas’ud bin Amr al-Tsaqafi. Mereka kemudian bercerai karena suatu alasan. Lalu, menikah lagi dengan Abu Rahm bin Abdul Uzza. Dalam waktu beberapa lama, Sayyidah Mainumah kembali hidup menjanda setelah suaminya yang kedua, Abu Rahm, meninggal dunia.
Dalam buku Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW karya Quraish Shihab disebutkan, Sayyidah Maimunah sangat mengagumi dan menghormati Nabi Muhammad. Dia gembira manakala pasukan umat Islam meraih kemenangan dalam sebuah peperangan. Hingga suatu ketika, Sayyidah Maimunah curhat kepada Lubabah al-Kubra bahwa dirinya memiliki rasa pada Nabi Muhammad. Dia siap manakala Nabi Muhammad mempersuntingnya.
Sejurus kemudian, Lubabah al-Kubra menceritakan perasaan Sayyidah Maimunah kepada suaminya, Abbas bin Abdul Muthalib. Lalu, Abbas meneruskan informasi itu kepada Nabi Muhammad. Gayung pun bersambut. Nabi kemudian meminta sepupunya, Ja’far bin Abi Thalib, untuk melamar Sayyidah Maimunah untuk dirinya. Lamaran Nabi itu disambut baik oleh Sayyidah Maimunah.
Sayyidah Maimunah berusia 26 tahun ketika dinikahi Nabi Muhammad. Kejadian ini terjadi pada bulan Syawal tahun 7 Hirjiyah, ketika Nabi Muhammad tengah mengerjakan umrah al-qadha.
Nabi Muhammad SAW menikahi Sayyidah Juwairiyah binti al-Harits dengan mahar 400 dirham. Nama asli Sayyidah Juwairiyah adalah Burrah binti Harits bin Abu Dhirar bin Habib bin Aid bin Malik bin Judzaimah bin Musthaliq bin Khuzaah. Beliau tidak suka kalau dikatakan, ‘beliau keluar dari Barrah (kebaikan)’. Itu sebabnya setelah menikah dengan Nabi, namanya diganti dengan Juwairiyah.
Ayahnya, al-Harits, adalah pemimpin Bani Musthaliq. Sebelumnya Sayyidah Juwairiyah adalah istri Musafi bin Shafwan. Beliau kaum ningrat nan cantik, baik hati, dan luas ilmunya. "Lelaki mana pun yang memandangnya bakal jatuh cinta," ujar Sayyidah Aisyah ra.
Kisah Sayyidah Juwairiyah sampai ke pintu rumah Rasulullah, tidak lepas dari permusuhan Bani Musthaliq kepada Islam. Harits bin Abu Dhirar yang menyembah berhala hendak menghalangi dakwah Rasulullah SAW di Madinah.
Mendengar Bani Musthaliq siap mengangkat senjata, Rasulullah SAW memerintahkan para sahabatnya untuk siap berjihad. Rasulullah menjadi panglima dalam perang Mustalaq ini.
Kedua pasukan bertemu di daerah Muraisi. Bersama pasukan Muhajirin dan Anshar, Rasulullah SAW berhasil mengalahkan Bani Mushtaliq. Suami Juwairiyah, Musafi bin Shafwan, terbunuh dalam perang ini. Karena kalah perang, harta dan wanita Bani Musthaliq, termasuk Sayyidah Juwairiyah menjadi tawanan kaum Muslimin.
Janda Musafi ini diserahkan kepada Tsabit bin Qais bin Syammas. Karena Juwairiyah termasuk pemuka kaumnya, ia merasakan kesedihan dan beban yang luar biasa akibat kekalahan Bani Musthaliq. Suaminya terbunuh, ayahnya melarikan diri, dan kini dia beserta kaumnya menjadi tawanan kaum Muslimin.
Beliau pun ingin menebus dirinya agar bebas. Karena dirinya adalah seorang tokoh dari kaumnya. Namun, ia tak memiliki apapun yang bisa digunakan untuk menebus dirinya.
Ia datang menemui Rasulullah, dengan maksud meminta tolong kepada beliau untuk membebaskan dirinya. Aisyah mengatakan, "Demi Allah, tatkala aku melihat ia berdiri di depan pintu rumahku, aku tidak menyukai hal itu. Karena aku tahu, Rasulullah akan melihat apa yang aku lihat".
Juwairiyah berkata, "Hai Rasulullah, aku memiliki masalah yang telah Anda ketahui. Aku ingin membebaskan diriku. Dan aku datang kepadamu agar kau menolongku".
Rasulullah menanggapi, "Atau kau ingin yang lebih baik dari itu?"
"Apa itu, Rasulullah?" tanya Juwairiyah.
Rasulullah berkata, "Aku menikahimu dan kutunaikan pembebasanmu".
Juwairiyah menjawab, "Tentu mau".
Nabi menjawab, "Aku telah melakukannya.”
Menurut Aisyah, kabar ini pun tersebar di tengah kaum muslimin. Mereka berkata, ‘(tawanan kita ini) ipar-ipar Rasulullah!’. Mereka pun membebaskan semua tawanan Bani Musthaliq. Tawanan yang dibebaskan karena pernikahan Juwairiyah ini berjumlah 100 orang Bani Musthaliq. "Aku tidak mengetahui wanita yang paling besar berkahnya terhadap kaumnya dibanding Juwairiyah,” ujar Sayyidah Aisyah.
Setelah menjadi Ummahatul Mukminin, Sayyidah Juwairiyah banyak menghabiskan waktunya dengan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sayyidah Juwairiyah dikenal dengan sahabiyah yang ahli sholat.
Sedangkan pernikahan Nabi Muhammad dengan Ummu Habibah dilakukan dari jarak jauh. Nabi Muhammad di Madinah sedangkan Ummu Habibah di Habasyah. Pernikahan ini dilakukan setelah suami Ummu Habibah meninggal dunia.
Ummu Habibah bernama asli Ramlah binti Abu Sufyan (Shakhr) bin Harb bin Umayyah bin Abdusy Syams bin Abdu Manaf al-Umawiyah. Beliau dilahirkan 25 tahun sebelum hijrah. Dan wafat pada tahun 44 H. Ibunya adalah Shafiyah binti Abi al-Ash bin Umayyah. Sang Ibu merupakan bibi dari Khalifah Utsman bin Affan ra.
Beliau adalah pemeluk Islam generasi pertama. Padahal beliau adalah putri dari tokoh besar Mekkah dan pemimpinnya, Abu Sufyan bin Harb. Bapaknya, Abu Sufyan, sangat marah ketika mengetahui putrinya masuk Islam. Itu sebabnya, beliau berhijrah bersama sang suami.
Mereka menempuh perjalanan jauh dan melelahkan menuju Afrika nun jauh di sana. Hijrah ke Habasyah. Beratnya hijrah semakin terasa lagi karena saat itu ia tengah mengandung. Di Habasyah beliau melahirkan seorang anak yang bernama Habibah. Maka sejak itu, beliau dipanggil Ummu Habibah.
Saat di Habasyah itu, sang suami seringkali berdiskusi masalah agama dan ketuhanan dengan kaum Nasrani. Dalam perjalananya, sang suami justru murtad dan memeluk Nasrani.
Tentu saja hal ini menjadi musibah besar bagi Ummu Habibah. Ia berada di perantauan. Negeri asing nun jauh dari sanak saudara. Kalau pulang ke kampung halaman Mekkah, ia berada dalam ancaman. Ayahnya tak menerima keislamannya. Beliau benar-benar sebatang kara setelah suaminya murtad. Tapi ia tetap teguh dengan keislamannya.
Setelah usai masa iddahnya, datang seorang utusan an-Najasyi di depan pintu. Meminta izin bertemu. Ternyata itu adalah budak perempuan miliknya yang namanya Abrahah. Dialah yang mengurusi pakaian an-Najasyi dan meminyaki dirinya.
Ummu Habibah bercerita, utusan itu berkata, “Raja berpesan untukmu, ‘Sesungguhnya Rasulullah SAW menulis surat padaku untuk menikahkanmu dengannya’. Allah memberimu kabar gembira yang begitu baik”, sambung budak itu.
Ia melanjutkan, “Raja berkata padamu tunjuk orang yang mewakilimu untuk menikahkanmu.”
Ummu Habibah mengirim Khalid bin Said bin al-Ash. Ia mewakilkan dirinya dengan Khalid. Kemudian ia memberi Abrahah dua gelang perak dan dua perhiasan yang dikenakan di kaki. Dan juga cicin perak itu disematkan di jari kakinya. Hal itu sebagai bentuk syukur atas kabar gembira yang ia bawa.
Nabi SAW menikahi Ummu Habibah pada tahun ke-7 H. Beliau menikahinya karena memuliakannya dan meneguhkan agamanya. Jadilah Ummu Habibah adalah wanita satu-satunya yang menikah dengan Rasulullah dari jarak jauh. Rasulullah di Madinah, sedangkan beliau berada, di Habasyah, Afrika.
Selanjutnya, pernikahan Rasulullah dengan Sayyidah Shafiyah binti Huyay . Sayyidah Shafiyah pernah menikah dengan Salam ibn Abi Haqîq, kemudian dengan Kinanah ibn Abi al-Haqîq, penguasa Benteng al-Qumush, benteng yang paling megah di Khaibar. Keduanya adalah kesatria dan penyair terbaik dari kaumnya. Kala itu, penyair menempati posisi mulia. Mereka terhitung sebagai cerdik cendekia.
Sayyidah Shafiyah binti Huyai bin Akhtab adalah bangsawan Bani Nadhir, keturunan Nabi Harun as. Maknanya, jika ditarik garis nasabnya, Nabi Musa as terhitung sebagai pamannya. Rasulullah pernah mengatakan padanya, “Sesungguhnya engkau adalah putri seorang nabi. Pamanmu pun seorang nabi. Dan engkau dalam naungan seorang nabi. Bagaimana kau tidak bangga dengan hal itu?”
Sayyidah Shafiyah lahir tahun 9 sebelum hijrah dan wafat 50 H. Tahun lahir dan wafat itu bertepatan dengan 613 M dan 670 M.
Ayah Sayyidah Shafiyah, Huyai bin Akhtab, adalah tokoh Yahudi sekaligus ulama mereka. Sang ayah tahu bahwa Muhammad bin Abdullah adalah seorang nabi akhir zaman. Ia tahu persis sejak kali pertama kaki Nabi yang mulia menjejak tanah Yatsrib (nama Madinah di masa lalu). Namun ia sombong dan menolak kebenaran. Karena apa? Karena nabi itu berasal dari Arab bukan dari anak turunan Israil (Nabi Ya’qub).
Selanjutnya pernikahan Maimunah binti al-Harits. Nama lengkapnya adalah Barrah binti Al-Harits bin Hazm bin Bujair bin Hazm bin Rabiah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah dan dikenal dengan Maimunah. Ibunya bernama Hindun binti Aus bin Zubai bin Harits bin Hamatsah bin Jarsy.
Dalam keluarganya, Sayyidah Maimunah termasuk dalam tiga bersaudara yang memeluk Islam.
Sayyidah Maimunah dilahirkan enam tahun sebelum masa kenabian, sehingga dia mengetahui saat-saat orang-orang hijrah ke Madinah. Dia banyak terpengaruh oleh peristiwa hijrah tersebut, dan juga banyak dipengaruhi kakak perempuannya, Ummu Fadhal, yang telah lebih dahulu memeluk Islam. Namun dia menyembunyikan keislamannya karena merasa bahwa lingkungannya tidak mendukung.
Sebelum menikah dengan Nabi Muhammad SAW, ia menikah dengan Abu Rahm bin Abdul-Uzza. Suaminya meninggalkan Sayyidah Maimunah sebagai janda pada usia 26 tahun.
Kisah lainnya menyebut Sayyidah Maimunah pernah menikah dengan Mas’ud bin Amr al-Tsaqafi. Mereka kemudian bercerai karena suatu alasan. Lalu, menikah lagi dengan Abu Rahm bin Abdul Uzza. Dalam waktu beberapa lama, Sayyidah Mainumah kembali hidup menjanda setelah suaminya yang kedua, Abu Rahm, meninggal dunia.
Dalam buku Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW karya Quraish Shihab disebutkan, Sayyidah Maimunah sangat mengagumi dan menghormati Nabi Muhammad. Dia gembira manakala pasukan umat Islam meraih kemenangan dalam sebuah peperangan. Hingga suatu ketika, Sayyidah Maimunah curhat kepada Lubabah al-Kubra bahwa dirinya memiliki rasa pada Nabi Muhammad. Dia siap manakala Nabi Muhammad mempersuntingnya.
Sejurus kemudian, Lubabah al-Kubra menceritakan perasaan Sayyidah Maimunah kepada suaminya, Abbas bin Abdul Muthalib. Lalu, Abbas meneruskan informasi itu kepada Nabi Muhammad. Gayung pun bersambut. Nabi kemudian meminta sepupunya, Ja’far bin Abi Thalib, untuk melamar Sayyidah Maimunah untuk dirinya. Lamaran Nabi itu disambut baik oleh Sayyidah Maimunah.
Sayyidah Maimunah berusia 26 tahun ketika dinikahi Nabi Muhammad. Kejadian ini terjadi pada bulan Syawal tahun 7 Hirjiyah, ketika Nabi Muhammad tengah mengerjakan umrah al-qadha.
(mhy)