Apakah Syarifah Boleh Menikah dengan Laki-Laki Non Sayyid?

Senin, 26 September 2022 - 16:06 WIB
loading...
Apakah Syarifah Boleh Menikah dengan Laki-Laki Non Sayyid?
Apakah syarifah boleh menikah dengan laki-laki non-sayyid? Mazhab Maliki membolehkan, Syafii melarang. Foto/Ilustrasi: abaut her
A A A
Apakah syarifah boleh menikah dengan laki-laki non sayyid? Abdurrahman Ba'alawi di dalam kitabnya "Bughyah al-Murtasyidin" berpendapat bahwa seorang keturunan dari Fatimatuz Zahra hanya dapat menikah dan dinikahi oleh kalangan mereka baik yang dekat maupun yang jauh.

Di dalam kitab ini tidak diperbolehkan adanya perkawinan seorang syarifah dengan laki-laki yang bukan sayyid, meski perempuannya ridha. Hal ini dikarenakan nasab yang mulia tidak bisa dibandingi dengan sembarangan.

Perkawinan seorang sayyid dan syarifah sangatlah bergantung dan berhubungan dengan kafaah karena hal ini bergantung pada nasab, seorang sayyid-syarifah ini adalah keturunan langsung dari Rasulullah SAW yang memiliki kemuliaan nasab. Maka dari itu syarifah harus menikah dengan seorang sayyid yang sekafaah dengannya.



Sayyid menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI adalah suatu gelar yang dipakai untuk sebagian laki-laki Arab sebagai gelar kehormatan yang diberikan kepada orang-orang yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW, melalui cucunya, dari Hasan bin Ali dan Husain bin Ali, yang merupakan anak dari anak perempuan Nabi Muhammad SAW, yaitu Fatimah Az-Zahra dan menantunya Ali bin Abi Thalib. Sedangkan yang perempuan disebut syarifah.

Di dalam sebuah perkawinan yaitu adanya suatu kafaah. Kafaah adalah kesepadanan atau kesetaran antara calon suami dan calon isteri, termasuk dari segi agama, keturunan, dan dari segi keilmuannya.

Hanya saja, syarat kafaah ini masih terdapat perbedaan di antara para ulama khususnya terkait kafaah nasab yaitu jika seorang syarifah menikah dengan laki-laki yang non sayyid.

Menurut Mazhab Maliki, perkawinan di antara seorang syarifah dengan non sayyid adalah sah. Mazhab Maliki membolehkan perkawinan ini karena di dalam Mazhab Maliki kafaah hanya dibagi menjadi dua yaitu: agama dan bebas dari aib yang ditentukan oleh perempuan.

Sedangkan menurut Mazhab Syafii tidaklah sah karena dianggap tidak sekufu dalam hal nasab, hal ini juga mengakibatkan putusnya nasab Baginda Rasulullah SAW. Jikapun diperbolehkan maka seorang syarifah harus mendapatkan ridha oleh seluruh walinya, baik itu wali yang terdekat maupun wali yang jauh.



Muhammad bin Abdurrahman dalam bukunya berjudul "Fiqih Empat Madzhab" mengatakan di dalam Mazhab Syafi'i kafaah ialah di antaranya, nasab, agama, kemerdekaan, dan khifah (profesi). Bani Hasyim hanya setara antara sesama mereka sendiri.

Kafaah adalah syarat bagi sahnya suatu perkawinan jika tidak ada kerelaan, namun bila ada kerelaan maka kafaah tidak dijadikan sebagai syarat, dan hal itu juga adalah hak seorang perempuan dan juga walinya bersama-sama.

Ibnu Hajar menyatakan dalam kitab Fathul Bari, yang seharusnya diunggulkan adalah Bani Hasyim dan Bani Muthalib dari keluarga Quraisy yang lain. Sedangkan di luar mereka antara satu sama yang lainnya sebanding.

Sebenarnya tidak begitu ketika Nabi SAW sendiri menikahkan dua putrinya kepada Utsman bin Affan dan menikahkan Zainab putri beliau yang lain kepada Abdul Ash bin Rabi. Kedua menantunya itu berasal dari bani Abdu Syams.

Ali ra menikahkan putrinya, Ummu Kultsum, kepada Umar yang berasal dari bani Adi. Keunggulan ilmu jauh lebih istimewa daripada kemuliaan semua garis keturunan, bahkan semua bentuk kemuliaan titik seorang ulama setara dengan garis keturunan ulama itu sendiri tidak terkenal.



Kasus di Hadramaut
Persoalan apakah syarifah boleh menikah dengan laki-laki non sayyid juga banyak dibahas di Hadramaut. Di sana, seorang syarifah tidak boleh dinikahkan kecuali oleh sayyid.

Argumen mereka juga sama, dalam rangka menjalankan sunnah tentang adanya kesetaraan (kafa'ah) antara kedua calon pengantin, baik itu dari segi agama seperti iffah (keterjagaan dari maksiat), atau hirfah (mata pencaharian), aib nikah, merdeka, maupun nasab.

Ulama Hadramaut sangat memelihara kafa'ah nasab. Lebih-lebih lagi mereka yang bernasab melantas kepada Rasulullah SAW, yang kerap dikenal sebagai ahlu bait Rasulullah SAW.

Mesti kita ketahui, kekangan ini hanya berlaku kepada syarifah yang kepingin menikah dengan non-sayyid. Namun, bila seorang sayyid hendak menikahi non-syarifah, maka akan terlepas dari belenggunya. Sebab, persoalan nasab akan menjalur kepada sang ayah, bukan kepada ibu (kecuali dalam beberapa masalah).

Sayyidi Syekh Dr. Muhammad bin Ali Ba'atiyah menukil perkataan Imam Suyhuti dalam kitabnya: "Keturunan itu akan mengikuti nasab ayahnya, dan akan ikut kepada ibu ketika ibunya berstatus isteri dan hamba sahaya (meski ayahnya merdeka) atau merdeka (meski ayahnya hamba sahaya)."

Ulama Hadramaut menetapkan fatwa ketidakabsahan pernikahan antara syarifah dengan non-sayyid, yang demikian itu semata-mata demi melindungi kelestarian nasab Rasulullah SAW agar tak terputus dan terus bersambung hingga hari kiamat.

Dalam kitab Umdatul Mufti wal Mustafti, Mufti Hadramaut Imam Jamaluddin Muhammad bin Abdurrahman Al-Ahdal menyebutkan: "Tidak boleh bagi seorang syarif (Sayyid) mengawinkan anak perempuannya (syarifah) dengan selain syarif, namun andaikata ia (syarifah) telah baligh dan ridha, maka diperkenankan baginya melakukan hal tersebut. Karena persolaan kesetaraan (kafa'ah) merupakan hak bagi perempuan dan walinya, dan jika salah satunya menafikan perkara tersebut, hilanglah anjuran kesetaraan dalam pernikahan."



Selepas memafhumi ketidakabsahan pernikahan ini, maka seorang hakim pun tak berwenang untuk menikahkan syarifah dengan non-sayyid ketika sang wali perempuan tiada.

Imam Jamaluddin menegaskan dalam kitabnya, jika hal itu (pernikahan syarifah dengan non-dayyid) berlangsung, maka ulama berkewajiban mencegah dan memisahkan mereka, tak boleh hanya berdiam diri, sebab itu akan melambangkan keridhaannya terhadap perzinaan.

Dalil yang digunakan adalah hadis Rasulullah SAW:

لا تنكحوا النساء إلا إلى الأكفاء. (رواه الطبراني) وفي رواية: ألا لا تزوج النساء إلا الأولياء، ولا يزوجن من غير الأكفاء.

"Janganlah kalian mengawinkan perempuan kecuali dengan orang yang sekufu (setara)." (HR. Thabrani). Dalam riwayat lain: "Tidaklah menikahkan seorang perempuan kecuali walinya, dan janganlah menikahkan mereka dengan orang yang tidak sekufu."

Berdasarkan konteks hadis, menerangkan bahwa kafa'ah (kesetaraan) dalam pernikahan merupakan anjuran Nabi Muhammad SAW. Oleh karenya, Imam Syafi'i, Ahmad, Sufyan, dan Abu Hanifah mencantumkan hukum kafa'ah dalam madzhabnya masing-masing. Kendati demikian, kafa'ah tidak termasuk syarat sahnya sebuah pernikahan.

Ibnu Hajar Al-Haitami pakar ulama fikih ternama madzhab Syafi'i berkata, "Dan (kafa'ah) dalam sebuah pernikahan tidak menjadi syarat sah nikah secara mutlak. Akan tetapi akan berubah sebagai syarat ketika sang perempuan tidak ridha (ketika tidak adanya kafa'ah). . . ."

Di dalam kitab Bugyatul Mustarsyidin, Mufti Tarim Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Husein Al-Masyur menyebutkan, "Saya tidak melihat kebolehan mengenai pernikahan (antara syarifah dengan non-syarif) meski dirinya (syarifah) dan sang wali ridha atas perihal tersebut, karena kemuliaan nasab tidak boleh dicemari dan dikotori, dan setiap kerabat dekat atau pun jauh memiliki hak atas keturunan (Fatimah) Az-Zahra, yaitu adalah keridhaan terhadap apa yang ia (Syarifah) lakukan."

Sayyid Abdurrahman menuturkan kisah yang pernah berlaku di kota Mekkah, yaitu menikahnya non-sayyid dengan syarifah. Topik ini menjadi kontroversi dan tak luput dari kepedulian ulama Saadah Ba'alawi, yang condong tidak setuju. Sontak, mereka mengerahkan segala usaha dan upaya agar melepaskannya dari ikatan pernikahan.

Alhasil, mayoritas ulama yang notebenenya Saadah Ba'alawi memutuskan fatwa larangan terkait pernikahan antara syarifah dan non-sayyid. Meski begitu, syariat tetap melegalkannya ketika dilambari keridhaan dari syarifah sendiri atau pun walinya.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1819 seconds (0.1#10.140)