Apakah Syarifah Boleh Menikah dengan Laki-Laki Non Sayyid?
loading...
A
A
A
Sayyidi Syekh Dr. Muhammad bin Ali Ba'atiyah menukil perkataan Imam Suyhuti dalam kitabnya: "Keturunan itu akan mengikuti nasab ayahnya, dan akan ikut kepada ibu ketika ibunya berstatus isteri dan hamba sahaya (meski ayahnya merdeka) atau merdeka (meski ayahnya hamba sahaya)."
Ulama Hadramaut menetapkan fatwa ketidakabsahan pernikahan antara syarifah dengan non-sayyid, yang demikian itu semata-mata demi melindungi kelestarian nasab Rasulullah SAW agar tak terputus dan terus bersambung hingga hari kiamat.
Dalam kitab Umdatul Mufti wal Mustafti, Mufti Hadramaut Imam Jamaluddin Muhammad bin Abdurrahman Al-Ahdal menyebutkan: "Tidak boleh bagi seorang syarif (Sayyid) mengawinkan anak perempuannya (syarifah) dengan selain syarif, namun andaikata ia (syarifah) telah baligh dan ridha, maka diperkenankan baginya melakukan hal tersebut. Karena persolaan kesetaraan (kafa'ah) merupakan hak bagi perempuan dan walinya, dan jika salah satunya menafikan perkara tersebut, hilanglah anjuran kesetaraan dalam pernikahan."
Selepas memafhumi ketidakabsahan pernikahan ini, maka seorang hakim pun tak berwenang untuk menikahkan syarifah dengan non-sayyid ketika sang wali perempuan tiada.
Imam Jamaluddin menegaskan dalam kitabnya, jika hal itu (pernikahan syarifah dengan non-dayyid) berlangsung, maka ulama berkewajiban mencegah dan memisahkan mereka, tak boleh hanya berdiam diri, sebab itu akan melambangkan keridhaannya terhadap perzinaan.
Dalil yang digunakan adalah hadis Rasulullah SAW:
لا تنكحوا النساء إلا إلى الأكفاء. (رواه الطبراني) وفي رواية: ألا لا تزوج النساء إلا الأولياء، ولا يزوجن من غير الأكفاء.
"Janganlah kalian mengawinkan perempuan kecuali dengan orang yang sekufu (setara)." (HR. Thabrani). Dalam riwayat lain: "Tidaklah menikahkan seorang perempuan kecuali walinya, dan janganlah menikahkan mereka dengan orang yang tidak sekufu."
Berdasarkan konteks hadis, menerangkan bahwa kafa'ah (kesetaraan) dalam pernikahan merupakan anjuran Nabi Muhammad SAW. Oleh karenya, Imam Syafi'i, Ahmad, Sufyan, dan Abu Hanifah mencantumkan hukum kafa'ah dalam madzhabnya masing-masing. Kendati demikian, kafa'ah tidak termasuk syarat sahnya sebuah pernikahan.
Ibnu Hajar Al-Haitami pakar ulama fikih ternama madzhab Syafi'i berkata, "Dan (kafa'ah) dalam sebuah pernikahan tidak menjadi syarat sah nikah secara mutlak. Akan tetapi akan berubah sebagai syarat ketika sang perempuan tidak ridha (ketika tidak adanya kafa'ah). . . ."
Di dalam kitab Bugyatul Mustarsyidin, Mufti Tarim Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Husein Al-Masyur menyebutkan, "Saya tidak melihat kebolehan mengenai pernikahan (antara syarifah dengan non-syarif) meski dirinya (syarifah) dan sang wali ridha atas perihal tersebut, karena kemuliaan nasab tidak boleh dicemari dan dikotori, dan setiap kerabat dekat atau pun jauh memiliki hak atas keturunan (Fatimah) Az-Zahra, yaitu adalah keridhaan terhadap apa yang ia (Syarifah) lakukan."
Sayyid Abdurrahman menuturkan kisah yang pernah berlaku di kota Mekkah, yaitu menikahnya non-sayyid dengan syarifah. Topik ini menjadi kontroversi dan tak luput dari kepedulian ulama Saadah Ba'alawi, yang condong tidak setuju. Sontak, mereka mengerahkan segala usaha dan upaya agar melepaskannya dari ikatan pernikahan.
Alhasil, mayoritas ulama yang notebenenya Saadah Ba'alawi memutuskan fatwa larangan terkait pernikahan antara syarifah dan non-sayyid. Meski begitu, syariat tetap melegalkannya ketika dilambari keridhaan dari syarifah sendiri atau pun walinya.
Ulama Hadramaut menetapkan fatwa ketidakabsahan pernikahan antara syarifah dengan non-sayyid, yang demikian itu semata-mata demi melindungi kelestarian nasab Rasulullah SAW agar tak terputus dan terus bersambung hingga hari kiamat.
Dalam kitab Umdatul Mufti wal Mustafti, Mufti Hadramaut Imam Jamaluddin Muhammad bin Abdurrahman Al-Ahdal menyebutkan: "Tidak boleh bagi seorang syarif (Sayyid) mengawinkan anak perempuannya (syarifah) dengan selain syarif, namun andaikata ia (syarifah) telah baligh dan ridha, maka diperkenankan baginya melakukan hal tersebut. Karena persolaan kesetaraan (kafa'ah) merupakan hak bagi perempuan dan walinya, dan jika salah satunya menafikan perkara tersebut, hilanglah anjuran kesetaraan dalam pernikahan."
Selepas memafhumi ketidakabsahan pernikahan ini, maka seorang hakim pun tak berwenang untuk menikahkan syarifah dengan non-sayyid ketika sang wali perempuan tiada.
Imam Jamaluddin menegaskan dalam kitabnya, jika hal itu (pernikahan syarifah dengan non-dayyid) berlangsung, maka ulama berkewajiban mencegah dan memisahkan mereka, tak boleh hanya berdiam diri, sebab itu akan melambangkan keridhaannya terhadap perzinaan.
Dalil yang digunakan adalah hadis Rasulullah SAW:
لا تنكحوا النساء إلا إلى الأكفاء. (رواه الطبراني) وفي رواية: ألا لا تزوج النساء إلا الأولياء، ولا يزوجن من غير الأكفاء.
"Janganlah kalian mengawinkan perempuan kecuali dengan orang yang sekufu (setara)." (HR. Thabrani). Dalam riwayat lain: "Tidaklah menikahkan seorang perempuan kecuali walinya, dan janganlah menikahkan mereka dengan orang yang tidak sekufu."
Berdasarkan konteks hadis, menerangkan bahwa kafa'ah (kesetaraan) dalam pernikahan merupakan anjuran Nabi Muhammad SAW. Oleh karenya, Imam Syafi'i, Ahmad, Sufyan, dan Abu Hanifah mencantumkan hukum kafa'ah dalam madzhabnya masing-masing. Kendati demikian, kafa'ah tidak termasuk syarat sahnya sebuah pernikahan.
Ibnu Hajar Al-Haitami pakar ulama fikih ternama madzhab Syafi'i berkata, "Dan (kafa'ah) dalam sebuah pernikahan tidak menjadi syarat sah nikah secara mutlak. Akan tetapi akan berubah sebagai syarat ketika sang perempuan tidak ridha (ketika tidak adanya kafa'ah). . . ."
Di dalam kitab Bugyatul Mustarsyidin, Mufti Tarim Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Husein Al-Masyur menyebutkan, "Saya tidak melihat kebolehan mengenai pernikahan (antara syarifah dengan non-syarif) meski dirinya (syarifah) dan sang wali ridha atas perihal tersebut, karena kemuliaan nasab tidak boleh dicemari dan dikotori, dan setiap kerabat dekat atau pun jauh memiliki hak atas keturunan (Fatimah) Az-Zahra, yaitu adalah keridhaan terhadap apa yang ia (Syarifah) lakukan."
Sayyid Abdurrahman menuturkan kisah yang pernah berlaku di kota Mekkah, yaitu menikahnya non-sayyid dengan syarifah. Topik ini menjadi kontroversi dan tak luput dari kepedulian ulama Saadah Ba'alawi, yang condong tidak setuju. Sontak, mereka mengerahkan segala usaha dan upaya agar melepaskannya dari ikatan pernikahan.
Alhasil, mayoritas ulama yang notebenenya Saadah Ba'alawi memutuskan fatwa larangan terkait pernikahan antara syarifah dan non-sayyid. Meski begitu, syariat tetap melegalkannya ketika dilambari keridhaan dari syarifah sendiri atau pun walinya.
(mhy)