Maulid Nabi: Kisah Pilu saat Bunda Aminah Wafat Sepulang Ziarah dari Madinah

Kamis, 06 Oktober 2022 - 13:35 WIB
loading...
Maulid Nabi: Kisah Pilu saat Bunda Aminah Wafat Sepulang Ziarah dari Madinah
Ibunda Aminah wafat ketika dalam perjalanan antara Madinah ke Mekkah. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Kisah pilu yang dialami Sayyidina Muhammad pada usia 6 tahun itu, kala Bunda Aminah wafat sepulang ziarah ke makam Abdullah, suaminya, di Madinah . Sayyidina Muhammad dibawa pulang ke Mekkah dan selanjutnya diasuh kakeknya, Abdul Muthalib . Tak lama sang kakek pun wafat.

Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Sejarah Hidup Muhammad" mengisahkan Sayyidina Muhammad tinggal di tengah-tengah Keluarga Sa'ad dalam pengasuhan Siti Halimah sampai mencapai usia 5 tahun.

Selama itu pula, Sayyidina Muhammad menghirup jiwa kebebasan dan kemerdekaan dalam udara sahara yang lepas di wilayah pedalaman. Dari kabilah ini beliau belajar mempergunakan bahasa Arab yang murni, sehingga pernah ia mengatakan kepada teman-temannya kemudian: "Aku yang paling fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di tengah-tengah Keluarga Sa'ad bin Bakr."



Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan yang indah sekali dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu Halimah dan keluarganya tempat dia menumpahkan rasa kasih sayang dan hormat selama hidupnya itu.

Sesudah 5 tahun bersama keluarga Siti Halimah, Sayyidina Muhammad dikembalikan ke Mekkah kepada ibunda Aminah. Abdul-Muthalib yang bertindak sebagai pengasuh cucunya itu.

Ia memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan segala kasih-sayangnya kepada cucu ini. “Biasanya buat orang tua itu -pemimpin seluruh Quraisy dan pemimpin Mekkah – diletakkannya hamparan tempat dia duduk di bawah naungan Kakbah, dan anak-anaknya lalu duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai penghormatan kepada orang tua,” tulisnya.

Tetapi apabila Sayyidina Muhammad yang datang, maka didudukkannya ia di sampingnya di atas hamparan itu sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. “Melihat betapa besarnya rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya di belakang dari tempat mereka duduk itu,” ujar Haekal lagi.



Ziarah ke Madinah
Suatu kali Bunda Aminah membawa Sayyidina Muhammad ke Madinah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak Keluarga Najjar. Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan yang ditinggalkan ayahnya dulu.

Sesampai mereka di Madinah, Bunda Aminah memperlihatkan rumah tempat ayah Sayyidina Muhammad saat meninggal dulu serta tempat beliau dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali bagi Sayyidina Muhammad merasakan sebagai anak yatim.

Menurut Haekal, barangkali juga ibunya pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta itu, yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama, kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari pihak ibu.

Sesudah Hijrah, pernah juga Rasulullah menceritakan kepada sahabat-sahabatnya kisah perjalanannya yang pertama ke Madinah dengan ibunya itu. Kisah yang penuh cinta pada Madinah, kisah yang penuh duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.

Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Madinah, Bunda Aminah sudah bersiap-siap akan pulang. Beliau dan rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekkah. Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa', ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan pula di tempat itu.

Sayyidina Muhammad melihat sendiri di hadapannya, sang bunda pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayah dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.

Oleh Umm Aiman, beliau dibawa pulang ke Mekkah. Beliau pulang dengan dengan tangis dan hati yang pilu. Beliau merasakan hidup yang makin sunyi.



Kakek Abdul-Muthalib memang sangat mencintainya. Tetapi sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam Qur'anpun disebutkan, ketika Allah mengingatkan Nabi akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu:

اَلَمۡ يَجِدۡكَ يَتِيۡمًا فَاٰوٰى
وَوَجَدَكَ ضَآ لًّا فَهَدٰى

"Bukankah engkau dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya orang yang akan melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu ditunjukkanNya jalan itu?" (Qur'an, 93: 6-7)

Abdul Muthalib Wafat
Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan terasa agak meringankan juga sedikit, sekiranya Kakek Abdul-Muthalib masih dapat hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua itu juga meninggal, dalam usia 80 tahun. Sedangkan Sayyidina Muhammad waktu itu baru berumur delapan tahun.

Haekal melukiskan, sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia, sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda jenazah sampai ketempat peraduan terakhir.

“Bahkan sesudah itupun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun sesudah itu, di bawah asuhan Abu Thalib pamannya ia mendapat perhatian dan pemeliharaan yang baik sekali, mendapat perlindungan sampai masa kenabiannya, yang terus demikian sampai pamannya itupun akhirnya meninggal,” tulis Haekal.

Sebenarnya kematian Abdul-Muthalib ini, menurut Haekal, merupakan pukulan berat bagi Keluarga Hasyim semua. Di antara anak-anaknya itu tak ada yang seperti dia: mempunyai keteguhan hati, kewibawaan, pandangan yang tajam, terhormat dan berpengaruh di kalangan Arab semua.



Dia menyediakan makanan dan minuman bagi mereka yang datang berziarah, memberikan bantuan kepada penduduk Makkah bila mereka mendapat bencana. “Sekarang ternyata tak ada lagi dari anak-anaknya itu yang akan dapat meneruskan. Yang dalam keadaan miskin, tidak mampu melakukan itu, sedang yang kaya hidupnya kikir sekali,” tulis Haekal.

Oleh karena itu maka Keluarga Umayah yang lalu tampil ke depan akan mengambil tampuk pimpinan yang memang sejak dulu diinginkan itu, tanpa menghiraukan ancaman yang datang dari pihak Keluarga Hasyim.

Pengasuhan Sayyidina Muhammad di pegang oleh Abu Thalib, sekalipun dia bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, menurut Haekal, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus rifada (makanan).

Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Thalib mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan kalau Abdul-Muthalib menyerahkan asuhan Sayyidina Muhammad kemudian kepada Abu Thalib.

Abu Thalib mencintai kemenakannya itu sama seperti Abdul-Muthalib juga. Karena kecintaannya itu ia mendahulukan kemenakan daripada anak-anaknya sendiri.

Budi pekerti Sayyidina Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah yang lebih menarik hati pamannya.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1212 seconds (0.1#10.140)