Kisah Khutbah Ali bin Abu Thalib yang Membuat Seorang Jamaah Pingsan

Selasa, 18 Oktober 2022 - 18:59 WIB
loading...
A A A
Ia mesti senantiasa berharap dan cemas, berpikir positif sekaligus negatif secara seimbang. Maksudnya, seorang Muslim harus senantiasa takut dan khawatir terhadap pembangkangan hawa nafsu dan kecenderungan jahat dalam dirinya, supaya kendali urusan tidak terlepas dari genggaman akal dan keimanan. Tetapi, pada saat yang bersamaan, dia harus tetap merasa yakin dan berharap akan kebaikan dan ampunan Allah SWT dengan memohon perlindungan dari-Nya.

Imam Ali Zainal Abidin dalam doa yang diriwayatkan oleh Abu Hamzah Ats-Tsumali mengatakan:

“Tuhanku, aku berdoa pada-Mu dengan penuh rasa gentar, cinta, harapan dan kecemasan. Tuhanku, aku takut bila melihat dosa-dosaku, Namun, jika aku melihat kedermawanan-Mu, aku menjadi penuh harapan.”

Hasballah Thabib menuturkan, dalam Al-Qur'an banyak sekali ayat yang membahas tentang sifat-sifat orang yang bertakwa. Di antara sifat-sifat mereka dinukilkan dari Surat Al Baqarah ayat 1-4 yang menerangkan sifat-sifat orang yang bertakwa.

Dalam ayat tersebut, menurutnya, Allah SWT mengumpulkan sifat-sifat muttaqin, yaitu beriman kepada yang ghaib, mendirikan sholat, menafkahkan yang wajib atau yang sunnah, beriman kepada Al-Qur'an dan Kitab-kitab sebelumnya dan beriman kepada hari akhir.



Tingkatan Takwa
Musa Kazhim dalam bukunya berjudul "Belajar Menjadi Sufi" mengatakan bertakwa kepada Allah bermakna bahwa seluruh aturan dan tuntunan Ilahi tidak akan berguna tanpa lahirnya ketakwaan dalam diri manusia.

Hanya takwa yang bisa memunculkan swakarsa dan self-enforcement untuk melaksanakan semua aturan dan tuntutan syariat. Kekuatan atau kesadaran takwa dapat menghindarkan orang dari segala bentuk pelanggaran, baik pada tataran kehidupan pribadi maupun masyarakat.

Dalam kaitan dengan takwa, setidaknya ada dua pembacaan di kalangan sufi. Pertama, takwa negatif yang bersumber pada upaya menjauhkan diri dari noda-noda maksiat.

Pada tingkat ini, takwa hanya menjauhkan manusia dari hal-hal yang menjurus pada kemaksiatan; persis seperti upaya seseorang memelihara kesehatan fisiknya dengan menjauh dari lingkungan yang diduga terserang penyakit atau wabah tertentu. Yang demikian tak pelak akan membawa sikap reaktif terhadap segala kemungkinan adanya penularan. Mendekati suatu tempat atau bergaul dengan suatu kelompok yang diduga tertular, dengan alasan apa pun, jelas-jelas merupakan pantangan.

Kedua, takwa positif yang bersumber pada kekuatan dalam jiwa. Pada tingkat ini, takwa bukan hanya menjauhkan orang dari lingkungan maksiat, melainkan menjaga dan membentenginya, terlepas apakah noda-noda itu berada di tempat yang jauh ataupun dekat.

Sekiranya orang seperti ini tinggal di lingkungan yang penuh dengan berbagai fasilitas maksiat, maka kekuatan takwa yang ada di dalam dirinya akan menjaga dan mencegahnya dari pencemaran lingkungan sekitarnya. Dan ini tak ubahnya seperti orang yang telah menjalani vaksinasi sehingga menjadi kebal terhadap pengaruh-pengaruh penyakit.



Kekebalan yang datang dari takwa ini sudah terang tidak bersumber pada faktor-faktor fisikal-eksternal, melainkan bersumber pada aktifasi potensi-potensi spiritual-internal untuk menolak segala macam keburukan yang dapat mengancam kesehatan aspek ruhani manusia. Dan salah satu potensi itu tak lain adalah akal dan perenungan. Fitrah, kalbu yang bersih, kesabaran, tawakal, keistiqamahan, dan lain sebagainya juga dapat memperkuat posisi akal dalam membentengi manusia.

Sayangnya, di kalangan para sufi, pembacaan negatif lebih umum berkembang ketimbang pembacaan positif. Akibatnya, berbondong-bondonglah orang menjauhi ruang-ruang kehidupan dan menyendiri di pedesaan.

Padahal, semua itu hanya mengacu pada makna takwa yang negatif, lemah dan temporer.

(mhy)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2575 seconds (0.1#10.140)