Suksesi Kepemimpinan: Mengapa Kaum Anshar Mengalah dengan Muhajirin?
loading...
A
A
A
Mengapa Kaum Anshar selalu mengalah dengan kaum Muhajirin dalam suksesi kepemimpinan pasca- Nabi Muhammad SAW menjadi pertanyaan menarik. Soalnya, sejak Abu Bakar Ash-Shiddiq , kepemimpinan dipegang terus kaum Muhajirin.
M. Yunan Nasution (1913-1996) dalam tulisannya berjudul "Implikasi Sosial-Keagamaan Muhammad sebagai Penutup Utusan Allah" menjelaskan segera setelah Nabi Muhammad wafat, umat Islam dihadapkan kepada masalah yang cukup pelik, yang tak pernah timbul di kala Nabi masih hidup serta tak dijumpai cara penyelesaiannya dalam al-Qur'an, yakni masalah suksesi.
"Siapa yang menggantikan Nabi Muhammad sebagai kepala negara Madinah?" ujar M Yunan Nasution dalam tulisan yang dihimpun dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" (Edtor: Budhy Munawar-Rachman) tersebut.
Sebagaimana diketahui, kala itu Madinah telah menjadi ibu kota dari negara yang bercorak konfederasi dari suku-suku bangsa Arab yang terdapat di Semenanjung Arabia. Jadi ketika beliau wafat, beliau mempunyai kedudukan bukan saja sebagai Rasul Allah, tetapi juga sebagai kepala negara.
Menurut Yunan Nasution, untuk menyelesaikan persoalan ini, para muasrikh mencatat, telah terjadi pertemuan antara pemuka-pemuka Muhajirin dan Ansar di Saqirah Bani Sa'adah. Karena tidak adanya petunjuk yang jelas dalam al-Qur'an tentang siapa pengganti Nabi sebagai kepala negara Madinah tersebut, nyaris pertemuan itu menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam.
"Kaum Ansar memajukan argumen pertolongan yang mereka berikan kepada Nabi sehingga beliau berhasil menaklukkan Mekkah dan menyebarkan Islam di seluruh Semenanjung Arabia," ujar Yunan Nasution. "Di sisi lain, kaum Muhajirin mengajukan pula argumentasi mereka, yakni karena merekalah orang yang pertama-tama pendukung dakwah Nabi Muhammad."
Andaikata mereka tidak ada, tidak akan mungkin Islam berkembang dari jumlah yang sangat kecil, namun lama kelamaan bertambah besar. Di samping argumen di atas, kaum Muhajirin juga membawa perkataan Nabi "al-Aimmah min Quraisy" (Para Pemimpin itu dari suku Quraisy) serta perbuatan Nabi, yakni mewakilkan pelaksanaan tugas menjadi imam sholat kepada Abu Bakar, yang orang Quraisy itu, ketika beliau sakit.
Terhadap argumen-argumen yang diajukan oleh kaum Muhajirin itu, kaum Ansar mundur, maka terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama, pengganti nabi dalam kedudukan beliau sebagai kepala negara. Jabatan itu pun ketika itu disebut dengan khalifatu Rasulillah.
"Di sini timbul pertanyaan, kenapa orang-orang Anshar mundur dari maksud mereka untuk menjadi khalifah? Karena di dalam memajukan argumen, maka argumen yang dianggap kuat adalah argumen yang mempunyai referensi al-Qur'an dan hadis," ujar Yunan Nasution
Kaum Ansar tidak mempunyai argumen itu, mereka hanya mempunyai argumen rasional. Sebaliknya kaum Muhajirin mempunyai argumen perkataan dan perbuatan Nabi.
Hadis "para pemimpin harus dari suku Quraisy'" ternyata mendominasi pemikiran Islam semenjak Abu Bakar sebagai hhalifah, sampai berabad-abad lamanya, dan pemikiran ini dianut di kalangan Sunni.
Pendapat Kaum Syiah
Bagaimana sebenarnya penjelasan al-Qur'an tentang suksesi tersebut? Karena tidak ada penjelasan yang tegas, timbullah berbagai pendapat, sebagai lawan dari pendapat yang menyatakan bahwa para pemimpin dari suku Quraisy.
Kaum Syi'ah umpamanya, lebih spesifik dalam pandangan mereka tentang suksesi ini yakni haruslah dari keluarga sedarah yang terdekat dengan Nabi.
Maka para imam dari kaum Syi'ah, memang rentetan keturunan yang mempunyai hubungan darah dengan Nabi, yang dimulai dari Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi sendiri.
Berbeda dengan kedua pandangan Sunni dan Syi'ah tersebut, kaum Khawarij mengatakan bahwa pengganti Nabi tidaklah mesti dari suku Quraisy ataupun dari keturunan Nabi sendiri. Siapa saja dari kaum Muslim, bukan Arab sekalipun, kalau memenuhi persyaratan sebagai pemimpin ia boleh menggantikan nabi sebagai kepala negara tersebut.
"Pendapat Khawarij ini, dalam perkembangan berikutnya, terutama sesudah abad XVI M dianut oleh Sunni," ujar Yunan Nasution.
M. Yunan Nasution (1913-1996) dalam tulisannya berjudul "Implikasi Sosial-Keagamaan Muhammad sebagai Penutup Utusan Allah" menjelaskan segera setelah Nabi Muhammad wafat, umat Islam dihadapkan kepada masalah yang cukup pelik, yang tak pernah timbul di kala Nabi masih hidup serta tak dijumpai cara penyelesaiannya dalam al-Qur'an, yakni masalah suksesi.
"Siapa yang menggantikan Nabi Muhammad sebagai kepala negara Madinah?" ujar M Yunan Nasution dalam tulisan yang dihimpun dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" (Edtor: Budhy Munawar-Rachman) tersebut.
Sebagaimana diketahui, kala itu Madinah telah menjadi ibu kota dari negara yang bercorak konfederasi dari suku-suku bangsa Arab yang terdapat di Semenanjung Arabia. Jadi ketika beliau wafat, beliau mempunyai kedudukan bukan saja sebagai Rasul Allah, tetapi juga sebagai kepala negara.
Menurut Yunan Nasution, untuk menyelesaikan persoalan ini, para muasrikh mencatat, telah terjadi pertemuan antara pemuka-pemuka Muhajirin dan Ansar di Saqirah Bani Sa'adah. Karena tidak adanya petunjuk yang jelas dalam al-Qur'an tentang siapa pengganti Nabi sebagai kepala negara Madinah tersebut, nyaris pertemuan itu menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam.
"Kaum Ansar memajukan argumen pertolongan yang mereka berikan kepada Nabi sehingga beliau berhasil menaklukkan Mekkah dan menyebarkan Islam di seluruh Semenanjung Arabia," ujar Yunan Nasution. "Di sisi lain, kaum Muhajirin mengajukan pula argumentasi mereka, yakni karena merekalah orang yang pertama-tama pendukung dakwah Nabi Muhammad."
Andaikata mereka tidak ada, tidak akan mungkin Islam berkembang dari jumlah yang sangat kecil, namun lama kelamaan bertambah besar. Di samping argumen di atas, kaum Muhajirin juga membawa perkataan Nabi "al-Aimmah min Quraisy" (Para Pemimpin itu dari suku Quraisy) serta perbuatan Nabi, yakni mewakilkan pelaksanaan tugas menjadi imam sholat kepada Abu Bakar, yang orang Quraisy itu, ketika beliau sakit.
Terhadap argumen-argumen yang diajukan oleh kaum Muhajirin itu, kaum Ansar mundur, maka terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama, pengganti nabi dalam kedudukan beliau sebagai kepala negara. Jabatan itu pun ketika itu disebut dengan khalifatu Rasulillah.
"Di sini timbul pertanyaan, kenapa orang-orang Anshar mundur dari maksud mereka untuk menjadi khalifah? Karena di dalam memajukan argumen, maka argumen yang dianggap kuat adalah argumen yang mempunyai referensi al-Qur'an dan hadis," ujar Yunan Nasution
Kaum Ansar tidak mempunyai argumen itu, mereka hanya mempunyai argumen rasional. Sebaliknya kaum Muhajirin mempunyai argumen perkataan dan perbuatan Nabi.
Hadis "para pemimpin harus dari suku Quraisy'" ternyata mendominasi pemikiran Islam semenjak Abu Bakar sebagai hhalifah, sampai berabad-abad lamanya, dan pemikiran ini dianut di kalangan Sunni.
Pendapat Kaum Syiah
Bagaimana sebenarnya penjelasan al-Qur'an tentang suksesi tersebut? Karena tidak ada penjelasan yang tegas, timbullah berbagai pendapat, sebagai lawan dari pendapat yang menyatakan bahwa para pemimpin dari suku Quraisy.
Kaum Syi'ah umpamanya, lebih spesifik dalam pandangan mereka tentang suksesi ini yakni haruslah dari keluarga sedarah yang terdekat dengan Nabi.
Maka para imam dari kaum Syi'ah, memang rentetan keturunan yang mempunyai hubungan darah dengan Nabi, yang dimulai dari Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi sendiri.
Berbeda dengan kedua pandangan Sunni dan Syi'ah tersebut, kaum Khawarij mengatakan bahwa pengganti Nabi tidaklah mesti dari suku Quraisy ataupun dari keturunan Nabi sendiri. Siapa saja dari kaum Muslim, bukan Arab sekalipun, kalau memenuhi persyaratan sebagai pemimpin ia boleh menggantikan nabi sebagai kepala negara tersebut.
"Pendapat Khawarij ini, dalam perkembangan berikutnya, terutama sesudah abad XVI M dianut oleh Sunni," ujar Yunan Nasution.
(mhy)