Perjalanan Spiritual Lex Hixon, Mimpi Bertemu Rasulullah SAW

Sabtu, 05 November 2022 - 09:27 WIB
loading...
A A A
Dalam Islam, mimpi tentang Rasulullah, merupakan sebuah pengalaman puncak yang bahkan lebih berarti dari melihat cahaya ilahi dan lenyap dalam cahaya tersebut. Cahaya ilahi sebenarnya muncul dalam bentuk manusia yang paling indah ini, Muhammad dari tanah Arab. Pada dirinya semua aspirasi spiritual manusia terwujudkan.

Ketika sedang melakukan tawaf di Kakbah yang suci di Mekkah, saya benar-benar meragukan apakah saya telah menjadi seorang Muslim yang benar. Apa yang sedang saya lakukan di sini?

Pada saat itu, saya merasa bahwa haji merupakan sebuah pengalaman yang menakutkan. Tetapi kemudian saya menyadari bahwa itu merupakan suatu rahmat yang besar. Dalam melakukan ibadah haji segala sesuatu ditanggalkan. Segala keinginan ditanggalkan, bahkan keinginan untuk menjadi Muslim yang baik, yang mempunyai hak untuk berada di sini. Haji merupakan pengalaman yang diberikan Tuhan, yang merupakan suatu karunia yang besar.

Ketika berada di Madinah --bisa dibilang sebuah lembah-lembah suci piece de resistance-- saya bermimpi menanyakan sebuah pertanyaan kepada Nabi Muhammad.

Saya belum cukup matang untuk dapat melihat beliau dalam mimpi itu. Saya bertanya kepada beliau, "Apakah yang dimaksudkan dalam Kitab Suci Al-Quran ketika Allah yang Mahatinggi berfirman bahwa semua makhluk di seluruh planet bersujud kepada Allah secara spontan melalui segala tindakan dan pikiran mereka?"

Beliau menjawabnya dengan surat Al-Ikhlas, sebuah surat di Al-Quran yang menunjukkan bahwa seluruh alam benar-benar merupakan atribut Allah, yang memuja esensi Allah --bahwa tidak ada dunia, tidak ada makhluk hidup, tak ada sesuatu pun yang terpisah dari sifat ketuhanan, tenaga ketuhanan. Dan watak dasar segalanya adalah memuja pencipta mereka.



Penuturan Lex Hixon di atas dinukil dari buku berjudul "American Jihad, Islam After Malcolm X" karya Steven Barbosa yang diterjemahkan menjadi "Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X" oleh Sudirman Teba dan Fettiyah Basri (Mizan, 1995)

Lex Hixon (1941–1995) berlatih dan memegang keanggotaan dalam beberapa tradisi agama. Dia percaya bahwa semua agama adalah benar, yang dipicu oleh studinya tentang kehidupan dan ajaran Ramakrishna.

Hixon lahir pada 25 Desember 1941, di Pasadena, California, salah satu dari tiga putra Alexander dan Adelaide Hixon. Ia lulus dari Universitas Yale pada tahun 1963, di mana ia mengambil jurusan filsafat, dan ia menerima gelar PhD dalam perbandingan agama dari Universitas Columbia pada tahun 1976.

Di salah satu acara, ia bertemu dengan Syekh Muzaffer zak Âșkî al-Jerrahi, yang menjadi guru dan pembimbingnya di jalan sufi. Dia memeluk Lex sebagai putra spiritualnya, dan memberinya nama Nur. Sheikh Muzaffer mengangkatnya sebagai ketua komunitas darwis Amerika yang berkumpul di Masjid al-Farah di New York City.

Kelompok Sufi
Tentang Lex Hixon, Steven Barbosa menulis sebagai berikut:

Di ruangan belakang Masjid al-Farah di West Broadway Manhattan, syaikh itu, pimpinan sebuah kelompok Sufi, duduk di kursi malas di dekat foto gurunya yang tak berjenggot, tenggelam dalam sinar yang terang benderang. Di atas meja ada sebuah serban.

Syaikh Nur yang berambut pirang, tanpa alas kaki, mengenakan jubah berwarna hijau dan rompi dari wol. Dia lebih suka menyumbangkan tenaga daripada memberikan jawaban "yang bersifat informatif" pada pertanyaan-pertanyaan, begitu katanya kemudian.

Hanya kehendak Tuhan yang berlaku dalam hidup ini. Setiap masalah telah diketahui oleh kehendak yang tak terbatas ini sejak zaman azali.

Menurut agama Islam, jiwa tidak muncul begitu saja bersamaan dengan waktu kelahiran, jiwa itu abadi. Di dalam jiwa tersimpan segala sesuatu yang akan terjadi dalam hidup. Dan hanya sebagian kecil dari pengetahuan itu yang diizinkan Allah untuk diketahui oleh manusia itu sendiri dalam hidupnya.

Begitulah jiwa manusia itu dibentuk, terlepas dari apakah dia dengan penuh kesadaran memeluk Islam atau tidak. Beberapa jiwa mendapat izin dari Tuhan untuk memeluk Islam secara historis. Yang lain mendapat izin untuk memeluk tradisi mulia lainnya. Sebagian yang lain mungkin memperoleh izin untuk mewujudkan kebenaran tanpa menjadi bagian dari salah satu tradisi besar kemanusiaan. Tak ada satu jiwa pun yang tidak berasal dari Allah dan yang tidak membawa semua kekayaan dan pengetahuan yang sebelumnya telah diberikan pada jiwa itu.

Ketika seseorang ingin menjadi syaikh, dia tidak boleh berpikir dalam kerangka kepribadian yang terbatas. Dia harus melihat seluruh kehidupannya, seluruh masa kecilnya, dan pendidikannya semata-mata sebagai sebuah jembatan --jembatan yang sangat sempit-- yang membawanya ke suatu tempat di mana dia akan bertemu dengan gurunya dan memulai latihan spiritual.

Pada akhirnya dia larut ke dalam pengukuhan La ilaha ill Allah. Jembatan sempit itu merupakan jembatan menuju Surga persatuan. Di bawah jembatan itu terdapat godaan kehidupan duniawi. Dia tidak boleh terperosok ke dalam godaan itu, baik itu godaan finansial maupun godaan religius. Jembatan itu dapat dilewati hanya jika Anda menginginkan kebenaran. Akhirnya Anda akan mencapai Surga, yang merupakan tingkat kesadaran, tingkat tauhid, tingkat persatuan.

Lex Hixon adalah orang yang berada di atas jembatan itu.
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2102 seconds (0.1#10.140)