Perjalanan Spiritual Lex Hixon, Mimpi Bertemu Rasulullah SAW

Sabtu, 05 November 2022 - 09:27 WIB
loading...
A A A
Pada musim panas itu, Ramadhan jatuh pada bulan Agustus. Dia meminta saya untuk datang ke Istambul dan melewatkan bulan Ramadhan bersamanya. Dia berkata untuk mempersiapkan diri menghadapi bulan Ramadhan itu saya harus membaca La ilaha illa Allah 70.000 kali: sehari 700 kali selama seratus hari, dan saya mengerjakannya. (Saya mengalami banyak pengalaman penting dalam proses tersebut). Dan ketika sampai di Istambul, saya mendapat masa percobaan saya yang pertama dalam kelompok itu.



Peristiwa itu terjadi dengan cara yang lucu. Malam itu tak ada penerjemah bahasa Inggris. Di sana ada seratus pasangan laki-laki dan perempuan Turki yang berada di tekke (pondok, tempat kumpul kaum sufi) yang terpisah. Mereka tidak saling tampak karena bentuknya yang khusus. Di tekke kami, wanita dan laki-laki duduk bersama-sama dan melakukan zikir bersama --di dua lingkaran terpisah tetapi bersama-lama.

Sebuah permadani tua yang indah dibawa ke dalam. Dia berlutut di atasnya, dan dua khalifah seniornya menggandeng tangan saya dan membimbing saya melewati empat langkah ini: syari'ah, tariqah, haqiqah, dan ma'rifah, yang mewakili seluruh aliran spiritual itu.

Saya berlutut dengan saling menyentuhkan lutut dengan syaikh dan kami saling berpegangan tangan kanan. Saat itu, saya tidak mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tak ada penerjemah di sana. Saya menangkap kesan bahwa itu merupakan inisiasi.

Dia membimbing saya membaca syahadat. Dan membawa saya bersalaman dengan seluruh anggota kelompok. Lalu dia membaca doa yang panjang (dia sangat berbakat dalam membaca doa, dia dapat membaca doa yang bagus itu selama sepuluh sampai lima belas menit terus menerus). Semua orang menangis, dan semua orang ingin mencium saya.

Keesokan harinya, seseorang yang dapat berbahasa Inggris sedikit mengunjungi saya. Dia berkata, "Bagaimana rasanya berpindah agama?" Karena saya dibesarkan sebagai pemikir yang bebas, tanpa keterikatan pada satu tradisi agama pun, saya tidak merasa bahwa saya telah mengganti agama saya.

Saya merasa itu sebagai pengukuhan agama yang dimiliki oleh seseorang, yang datang dalam bentuk yang berbeda, dalam kebudayaan yang berbeda, dalam waktu yang berbeda, tapi berdasarkan pada kebenaran yang satu.

Jadi agama itu merupakan satu kesatuan yang saya yakin tidak dapat diubah-ubah oleh siapa pun. Saya pikir kebenaran itu dimiliki oleh setiap orang secara alami.

Di Istambul, syaikh itu mendapat ilham untuk menjadikan saya seorang syaikh. Tetapi itu merupakan tanggung jawab yang terlalu berat bagi saya saat itu. Saya takut akan prospeknya. Saya tidak menginginkan tanggung jawab itu. Saya tidak ingin menanggung beban yang berat dengan menjadi seorang pembimbing agama, seorang pemuka agama.

Jadi saya melarikan diri dari Istambul pada malam Lailatul Qadr di bulan Ramadhan tahun 1978. Saya ingat ketika meninggalkan tekke saya tidak dapat menemukan sepatu saya; di sana ada setumpuk sepatu milik ratusan darwis yang datang untuk memuliakan malam itu. Jadi saya harus berjalan tanpa alas kaki.

Telapak kaki saya dapat merasakan halusnya batu jalanan yang telah dipergunakan selama bertahun-tahun oleh kendaraan yang lalu-lalang di sana. Saya berlari dan menangis di sepanjang jalanan Istambul dengan hanya memakai kaus kaki. Saya merasa seperti pengantin laki-laki yang melarikan diri dari altar.



Saya kembali ke hotel, mengemasi barang-barang saya dan pergi ke bandar udara. Esok paginya saya mendapat pesawat dan kembali ke Amerika Serikat. Effendi (syaikh) itu sangat terkejut. Dia sangat sedih.

Alasan saya melarikan diri sebenarnya hanyalah karena saya tidak menginginkan tanggung jawab tersebut. Tapi mereka bilang tindakan saya itu justru sebuah pertanda yang sangat baik. Beberapa anggota aliran itu membuat analogi antara Jalaluddin Rumi dan Syamsi Tabriz, yang bertentu di Konya. Syamsi menghilang dan Rumi sangat sedih.

Ketika Syaikh datang ke Amerika pada musim gugur berikutnya, saya menemuinya dan memeluknya. Dia tak bicara apa pun tentang kepergian saya yang ganjil itu. Tak seorang pun mencela saya.

Ada ikatan cinta antara Allah dan jiwa, antara jiwa dan Tuhannya, antara syaikh dan darwisnya. Ada rasa pedih karena berpisah, dan ada kebahagiaan dalam persatuan. Keadaan itu berselang-seling. Pergantian itu mempunyai semacam efek alkemis, untuk menyucikan dan mengangkat manusia ke derajat yang lebih mulia. Semua itu terjadi atas izin Tuhan. Kami tidak menisbahkannya pada manusia mana pun.

Saya mencintai setiap orang yang telah dilantik dalam aliran itu dengan cinta yang amat mendalam. Tidak dalam bentuk ucapan yang abstrak. Bukan dalam arti biologis. Seolah-olah ada api di dalam dada ini.

Suatu ketika saya mendengar Syaikh Muzaffer berkata kepada seorang rabbi yang telah bergabung dengan kelompok kami dan pergi beberapa bulan, "Darahku bergolak ingin berjumpa denganmu." Bayangkan itu ucapan seorang syaikh Sufi kepada seorang rabbi.

Dunia Islam konvensional tidak menganjurkan seorang syaikh dan seorang rabbi untuk saling mencintai. Dalam dunia Sufi semua perbedaan konvensional itu diabaikan.
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2772 seconds (0.1#10.140)