Perjalanan Spiritual Lex Hixon, Mimpi Bertemu Rasulullah SAW
loading...
A
A
A
Lex Hixon (1941–1995) dikenal sebagai Syaikh Nur al-Jerrahi dalam komunitas Sufi . Dia adalah seorang penulis, penyair, dan guru spiritual Sufi Amerika Serikat . Anehnya, dia tidak merasa berpindah agama. Lex Hixon mengaku bermimpi bertemu Rasulullah SAW . Berikut penuturannya:
Kontak pertama saya dengan Islam dimulai ketika saya berumur 17 tahun. Waktu itu saya sedang mengunjungi seorang teman di Washington, D.C. Pada sore hari saya biasa berjalan-jalan di dekat bangunan pada saat itu mungkin merupakan satu-satunya masjid besar di Amerika Serikat, yaitu Islamic Center yang berdiri gagah dengan kubah dan dengan arsitekturnya yang Islami. Waktu itu saya mendapat perasaan bahwa bangunan itu adalah bangunan yang penting.
Suatu kali, saya mengetuk pintu depan bangunan itu. Tak ada seorang pun di sana. Sesuatu mendorong saya untuk masuk. Saya berjalan berkeliling ke bagian belakang bangunan itu. Saya mengangkat salah satu jendela untuk memasuki sebuah kelas. Lalu saya naik ke tingkat atas, di sana ada sebuah rak sepatu dan di rak tersebut ada sepasang sandal yang sudah usang.
Saya melepas sepatu saya dan masuk ke dalam masjid. Saya berada di sana sendirian selama setengah jam. Saya duduk di atas permadani yang indah, merasakan suasana religius yang luar biasa. Kemudian saya mengambil sepatu saya dan menentengnya keluar melalui pintu depan.
Kesadaran saya terusik: Mungkin pintu depan itu tidak dikunci dengan benar. Mungkin orang yang bertanggung jawab atas tempat ini akan disalahkan karena sesuatu. Saya kembali dan mengetuk dengan keras. Saya berteriak-teriak. Akhirnya seseorang keluar dari ruang bawah tanah. Saya menunjukkan padanya apa yang telah saya lakukan. Saya menunjukkan kepadanya tempat di mana jendelanya terbuka. Dia tidak marah atau gusar.
Saya menceritakan kejadian itu kepada syaikh saya, Muzaffer (Syaikh Muzaffer Ozak dari Istambul, pimpinan kelompok Halveti-Jerrahi). Komentarnya hanyalah, "Dengan cara itulah engkau dibimbing."
Ketika kuliah di Universitas Columbia saya mempelajari agama-agama di dunia. Saya bergabung dengan stasiun radio di New York. Selama empat belas tahun saya melakukan wawancara mingguan dengan para pimpinan dan guru-guru agama dari berbagai kelompok aliran. Dan di stasiun radio itulah saya berjumpa dengan dua syaikh yang hebat. Yang satu adalah Bawa Muhaiyaddeen dari Sri Lanka, yang mempunyai masjid di Philadelphia dan wafat pada 1986. Selama itu saya telah mewawancarainya sebelas kali dan saya menjadi sangat dekat dengannya.
Syaikh yang satu lagi adalah Muzaffer Ozak. Saya juga mewawancaramya di radio. Saya belum pernah bertemu Syaikh Muzaffer sebelum mewawancarainya. Saya hanya melihatnya duduk di sana dengan tenang.
Kami mengatur semua mikrofon, dan saya minta agar program itu dimulai dengan suara azan. Lalu syaikh itu duduk di hadapan saya. Acara itu disiarkan dari puncak Empire State Building (azan yang kami udarakan membuat Empire State Building menjadi minaret tertinggi di dunia)-ketika panggilan sholat itu dikumandangkan, saya memandang wajah syaikh tersebut.
Terlihat tetesan air mata mengalir di wajahnya. Saya pikir: Sungguh sebuah ketulusan spiritual! Dia mendengar panggilan itu lima kali sehari, tetapi tetap saja air matanya berlinang setiap kali mendengarnya.
Belakangan saya mengetahui bahwa interpretasi saya tidak tepat. Sebenarnya dia mencucurkan air mata karena dia merasa mengenali saya sebagai penerusnya, wakilnya. Setiap syaikh mempunyai beberapa penerus. Ada demokrasi yang nyata dalam kolompok darwis. Tak seorang pun yang merasa lebih utama dari yang lain.
Itu terjadi pada hari Minggu. Kemudian hari Selasa malam, syaikh itu memberikan zikir pertamanya di Katedral St. John. Melalui salah seorang darwisnya dia mengirimi saya setangkai bunga mawar. Saya memutuskan untuk tidak masuk ke dalam lingkaran peserta acara zikir itu. Saya berdiri di sudut dengan memegang mawar itu, dan dia terus memandang saya dari tengah lingkaran tersebut.
Kemudian dia mengundang saya untuk datang pada hari Kamis malam ke tempat tinggalnya di Spring Valley, New York. Di sana dia akan melakukan zikir. Sebelum pergi, dia mencium kening saya. Itu merupakan suatu bentuk transmisi spiritual yang sangat hebat.
Malam itu saya melihat kitab tentang 99 nama Allah. Ada dua nama yang sangat menarik bagi saya melebihi yang lainnya. Pertama adalah al-Aziz, Yang Maha Kuasa. Kedua adalah Al-Nur, Cahaya. Saya mengingat-ingat kedua nama itu dalam pikiran dan hati saya sampai saya tertidur. Kemudian pada hari Kamis, saya pergi ke tempat kediamannya.
Sepanjang perjalanan ke sana, saya selalu mengulang-ulang La ilaha ill Allah keras-keras. Ketika tiba di sana hal pertama yang dikatakan Syaikh Muzaffer kepada saya adalah, "Kami telah mendengar kedatanganmu."
Seorang syaikh yang mulia memperlihatkan kekuatannya yang penuh keajaiban. Mereka tidak memamerkannya di segala tempat. Mereka hanya mengisyaratkan hal itu, dan jika Anda menerimanya, itu akan sangat berarti bagi Anda.
Malam itu kami melakukan zikir bersama-sama. Keesokan harinya dia berkata, "Saya ingin menjadikan Anda sebagai darwis saya. Saya ingin memberikan nama Arab untuk Anda." Dia melanjutkan, "Namamu adalah Nur."
Dan saya berkata, "Saya mempunyai sebuah nama untukmu: Aziz" --karena kedua nama itulah yang selalu saya pikirkan. Dan semua darwis yang ada di sana terkejut karena Aziz adalah nama rahasia kelompok itu.
Kontak pertama saya dengan Islam dimulai ketika saya berumur 17 tahun. Waktu itu saya sedang mengunjungi seorang teman di Washington, D.C. Pada sore hari saya biasa berjalan-jalan di dekat bangunan pada saat itu mungkin merupakan satu-satunya masjid besar di Amerika Serikat, yaitu Islamic Center yang berdiri gagah dengan kubah dan dengan arsitekturnya yang Islami. Waktu itu saya mendapat perasaan bahwa bangunan itu adalah bangunan yang penting.
Suatu kali, saya mengetuk pintu depan bangunan itu. Tak ada seorang pun di sana. Sesuatu mendorong saya untuk masuk. Saya berjalan berkeliling ke bagian belakang bangunan itu. Saya mengangkat salah satu jendela untuk memasuki sebuah kelas. Lalu saya naik ke tingkat atas, di sana ada sebuah rak sepatu dan di rak tersebut ada sepasang sandal yang sudah usang.
Saya melepas sepatu saya dan masuk ke dalam masjid. Saya berada di sana sendirian selama setengah jam. Saya duduk di atas permadani yang indah, merasakan suasana religius yang luar biasa. Kemudian saya mengambil sepatu saya dan menentengnya keluar melalui pintu depan.
Kesadaran saya terusik: Mungkin pintu depan itu tidak dikunci dengan benar. Mungkin orang yang bertanggung jawab atas tempat ini akan disalahkan karena sesuatu. Saya kembali dan mengetuk dengan keras. Saya berteriak-teriak. Akhirnya seseorang keluar dari ruang bawah tanah. Saya menunjukkan padanya apa yang telah saya lakukan. Saya menunjukkan kepadanya tempat di mana jendelanya terbuka. Dia tidak marah atau gusar.
Saya menceritakan kejadian itu kepada syaikh saya, Muzaffer (Syaikh Muzaffer Ozak dari Istambul, pimpinan kelompok Halveti-Jerrahi). Komentarnya hanyalah, "Dengan cara itulah engkau dibimbing."
Ketika kuliah di Universitas Columbia saya mempelajari agama-agama di dunia. Saya bergabung dengan stasiun radio di New York. Selama empat belas tahun saya melakukan wawancara mingguan dengan para pimpinan dan guru-guru agama dari berbagai kelompok aliran. Dan di stasiun radio itulah saya berjumpa dengan dua syaikh yang hebat. Yang satu adalah Bawa Muhaiyaddeen dari Sri Lanka, yang mempunyai masjid di Philadelphia dan wafat pada 1986. Selama itu saya telah mewawancarainya sebelas kali dan saya menjadi sangat dekat dengannya.
Syaikh yang satu lagi adalah Muzaffer Ozak. Saya juga mewawancaramya di radio. Saya belum pernah bertemu Syaikh Muzaffer sebelum mewawancarainya. Saya hanya melihatnya duduk di sana dengan tenang.
Kami mengatur semua mikrofon, dan saya minta agar program itu dimulai dengan suara azan. Lalu syaikh itu duduk di hadapan saya. Acara itu disiarkan dari puncak Empire State Building (azan yang kami udarakan membuat Empire State Building menjadi minaret tertinggi di dunia)-ketika panggilan sholat itu dikumandangkan, saya memandang wajah syaikh tersebut.
Terlihat tetesan air mata mengalir di wajahnya. Saya pikir: Sungguh sebuah ketulusan spiritual! Dia mendengar panggilan itu lima kali sehari, tetapi tetap saja air matanya berlinang setiap kali mendengarnya.
Belakangan saya mengetahui bahwa interpretasi saya tidak tepat. Sebenarnya dia mencucurkan air mata karena dia merasa mengenali saya sebagai penerusnya, wakilnya. Setiap syaikh mempunyai beberapa penerus. Ada demokrasi yang nyata dalam kolompok darwis. Tak seorang pun yang merasa lebih utama dari yang lain.
Itu terjadi pada hari Minggu. Kemudian hari Selasa malam, syaikh itu memberikan zikir pertamanya di Katedral St. John. Melalui salah seorang darwisnya dia mengirimi saya setangkai bunga mawar. Saya memutuskan untuk tidak masuk ke dalam lingkaran peserta acara zikir itu. Saya berdiri di sudut dengan memegang mawar itu, dan dia terus memandang saya dari tengah lingkaran tersebut.
Kemudian dia mengundang saya untuk datang pada hari Kamis malam ke tempat tinggalnya di Spring Valley, New York. Di sana dia akan melakukan zikir. Sebelum pergi, dia mencium kening saya. Itu merupakan suatu bentuk transmisi spiritual yang sangat hebat.
Malam itu saya melihat kitab tentang 99 nama Allah. Ada dua nama yang sangat menarik bagi saya melebihi yang lainnya. Pertama adalah al-Aziz, Yang Maha Kuasa. Kedua adalah Al-Nur, Cahaya. Saya mengingat-ingat kedua nama itu dalam pikiran dan hati saya sampai saya tertidur. Kemudian pada hari Kamis, saya pergi ke tempat kediamannya.
Sepanjang perjalanan ke sana, saya selalu mengulang-ulang La ilaha ill Allah keras-keras. Ketika tiba di sana hal pertama yang dikatakan Syaikh Muzaffer kepada saya adalah, "Kami telah mendengar kedatanganmu."
Seorang syaikh yang mulia memperlihatkan kekuatannya yang penuh keajaiban. Mereka tidak memamerkannya di segala tempat. Mereka hanya mengisyaratkan hal itu, dan jika Anda menerimanya, itu akan sangat berarti bagi Anda.
Malam itu kami melakukan zikir bersama-sama. Keesokan harinya dia berkata, "Saya ingin menjadikan Anda sebagai darwis saya. Saya ingin memberikan nama Arab untuk Anda." Dia melanjutkan, "Namamu adalah Nur."
Dan saya berkata, "Saya mempunyai sebuah nama untukmu: Aziz" --karena kedua nama itulah yang selalu saya pikirkan. Dan semua darwis yang ada di sana terkejut karena Aziz adalah nama rahasia kelompok itu.