Kisah Prof Ali S Asani: Bukan Sekadar Jihad di Harvard

Senin, 14 November 2022 - 05:15 WIB
loading...
A A A
Namun, saya kira ada yang beranggapan bahwa ada masyarakat tertentu, penganut suatu kepercayaan yang anti-Barat, dan menghalalkan penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan. Padahal, kalaupun Anda tengok sejarah kekuasaan Arab di Spanyol, tak pernah terjadi pemaksaan untuk bertukar agama menjadi Islam.

Penganut Yahudi, Islam, dan Kristen tetap hidup berdampingan. Sebaliknya, ketika Katolik datang mengambil alih kekuasaan, Muslim dan Yahudi memperoleh tekanan.



Manusia Berbeda
Dalam sejarah konflik dan pertentangan inilah muncul stereotip-stereotip yang tak seharusnya terjadi. Stereotip menutupi segi-segi kemanusiaan yang utuh dari pihak lain. Kalau Anda pikir sekelompok orang sebagai orang-orang barbar, maka Anda tak akan lagi melihat mereka sebagai manusia biasa, yang mempunyai begitu banyak sisi. Dan kalau Anda pikir masyarakat Muslim berbeda dengan lainnya, karena satu-satunya yang membuat mereka hidup adalah agama, berarti mereka adalah jenis manusia yang berbeda. Mereka tak punya perasaan yang sama seperti manusia lainnya. Dengan begitu, maka Anda dapat memperlakukannya semau Anda.

Pada abad-abad kedelapan belas, kesembilan belas, dan awal abad kedua puluh, ketika Eropa memerintah negeri-negeri Muslim, maka struktur kekuasaan berubah total. Ketika itu orang-orang Inggris memandang rendah penduduk asli. Perancis yang menguasai penduduk Muslim di Afrika Barat berpikir bahwa tugasnya adalah membuat orang-orang Muslim itu lebih beradab.

Jadi, ada pemahaman bahwa Islam merupakan ajaran yang primitif karena dikaitkan dengan kondisi sosial budaya rakyat yang ditaklukkannya. Masalah serupa juga dihadapi oleh Muslim di negeri-negeri Eropa dewasa ini. Di Perancis misalnya, imigran Arab dari Afrika Utara, atau orang-orang keturunan Turki di Jerman, sering kali dianggap masih primitif.

Hal-hal yang dialami oleh Muslim di Amerika tak terjadi di tempat-tempat lainnya. Karena Amerika adalah negeri imigran, di sini Anda menyaksikan Muslim dari segala penjuru dunia, dengan latar belakang budaya yang berbeda. Pemahaman mereka tentang Islam juga sangat beragam, karenanya sering kali ada pertentangan, tetapi juga ada upaya untuk melakukan rekonsiliasi perbedaan itu.

Kini saatnya untuk bertanya: Apa sih artinya menjadi seorang Muslim? Kalau Anda pakai Islam sebagai ideologi politik, maka menjadi perlu untuk mendefinisikan siapa Muslim itu, bagaimana perilaku Muslim dan juga yang bukan Muslim. Dan kalau analisis dan pemahaman semacam ini Anda teruskan, maka Anda mendekati bahaya menafsirkan Islam secara bertentangan dengan ajaran Islam yang mendasar.



Al-Quran menyebut bahwa tak ada paksaan dalam agama. Bagaimana mungkin sebuah negara atau pemerintahan menggunakan Islam sebagai ideologi politik dengan memaksa rakyatnya sholat lima waktu.

Di Saudi Arabia, ada yang disebut "Polisi Agama". Anda harus menutup toko dan dagangan Anda untuk pergi sholat jika waktunya tiba. Itu bukan ajaran Islam yang sesuai dengan Al-Quran, melainkan Islam yang digunakan sebagai alat politik.

Di banyak tempat di dunia Muslim, Anda temukan negara-negara yang mencoba mendefinisikan siapa Muslim dan siapa yang bukan Muslim, dan juga bagaimana perilaku yang Islami. Tetapi, di negeri ini, Amerika, Anda dapat menjadi seorang Muslim dan membicarakannya dengan sesama Muslim, tanpa ada seorang pun yang memaksa Anda untuk bergabung dengan kelompok mana pun. Inilah salah satu kehebatan Muslim di sini.

Banyak Jalan
Dalam beragama, Anda membutuhkan dinamika, dan saya kira inilah yang sedang terjadi di Amerika. Bagi kelompok imigran, Islam masih merupakan tradisi dan istilah yang relatif baru. Dan masyarakat terus menerus melakukan pembenahan, belajar mengorganisasi kemajemukan dalam Islam. Ada usaha untuk lama-lama menyadari bahwa untuk menjadi seorang Muslim, kita dapat melalui banyak jalan, tanpa harus menghakimi satu lama lain.

Jihad saya sendiri meliputi dua hal: pertama, memahami standar ganda bagaimana Islam digambarkan di Barat; dan kedua, perjuangan untuk membuat kaum Muslimin memahami bahwa ada banyak jalan untuk menjadi Muslim.

Syahadat itu ibarat sebuah tali yang menyatukan biji-biji tasbih. Semuanya tergabung menjadi satu dengan tali itu. Meskipun warnanya berbeda satu sama lain, biji-biji itu tetap merupakan satu kesatuan.

Beberapa tahun lalu, ada seorang Imam dari Islamic Center di New England. Dia seorang Sunni keturunan Lebanon, dan menjadi mahasiswa di sini. Dia diterima di Fakultas Teologi Harvard University untuk program master. Suatu ketika dia mengambil mata kuliah saya, "Pengantar Islam". Dia juga alumni Universitas Al-Azhar, Kairo. Ketika pertama kali bertemu dia saya katakan, "Apa ini masuk akal, seorang Imam dan Alumni Al-Azhar mengambil mata kuliah Pengantar Islam?" Kenapa tidak, katanya.



Di Al-Azhar, dia belajar Islam dengan interpretasi tertentu, yang amat berorientasi pada syariat, sebuah pandangan Sunni yang sangat klasik. Sedang dalam mata kuliah saya, mahasiswa diajak memahami berbagai jalan untuk menjadi Muslim. Kami mendiskusikan Al-Quran, kehidupan Muhammad Rasulullah.

Kami mempelajari bagaimana Muslim menginterpretasikan banyak hal. Kami juga belajar bagaimana ahli sejarah agama yang tak memeluk Islam memandang Al-Quran dan figur Rasulullah. Di samping itu kami juga mempelajari berbagai aliran dalam Islam seperti Sunni, Syi'ah, dan berbagai etnik lain, terutama di negara-negara non-Arab.

Jadi itu merupakan pendekatan akademis Barat dalam memahami Islam dengan konteks yang amat luas. Kami juga mengkaji gerakan-gerakan Islam modern seperti Wahabbi di Saudi Arabia, reformasi di Afrika Barat, kasus Turki dan eksperimennya dengan Islam. Dan kami bicarakan juga hubungan Islam dan suku bangsa --di Amerika Serikat dan di Eropa.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1798 seconds (0.1#10.140)