Kisah Prof Ali S Asani: Bukan Sekadar Jihad di Harvard

Senin, 14 November 2022 - 05:15 WIB
loading...
A A A
Jadi, saya pikir tak ada salahnya kalau seorang Imam seperti dia mempelajari banyak sisi tentang Islam. Semula saya sempat khawatir, apakah dia mau bersikap terbuka. Ternyata dia sungguh-sungguh serius, dan menulis beberapa makalah bagus.

Kehilangan Identitas
Banyak Muslim yang memandang kemajemukan sebagai suatu ancaman, karena mereka pikir kalau setiap orang bisa mengaku Muslim, bisa-bisa kita kehilangan identitas yang paling mendasar sebagai seorang Muslim. Padahal, sesungguhnya kemajemukan merupakan sebuah kekuatan.

Terdapat beberapa hadis yang menjelaskan hak setiap Muslim untuk menafsirkan keimanannya dan perlunya menggunakan argumen yang logis untuk itu. Saya kira salah satu kekuatan dari masyarakat Islam generasi pertama, pada masa Rasul, adalah adanya kemajemukan pendapat, pandangan, dan banyaknya diskusi tentang berbagai pandangan itu.

Ada lagi sebuah hadis yang menyatakan bahwa setiap orang berhak melakukan ijtihad. Suatu saat, ada seorang sahabat bertanya kepada Rasul: "Bagaimana kalau seseorang menafsirkan sesuatu dan ternyata benar?" Rasul berkata bahwa dia akan memperoleh dua pahala. Tetapi jika ijtihad itu salah, dia masih memperoleh satu pahala. Karena telah berusaha untuk itu.



Pada akhir semester, saya meminta mahasiswa yang Imam itu menjelaskan apa yang telah diperolehnya dari mata kuliah ini. Dia katakan, salah satu hal yang paling bermanfaat adalah bahwa dia belajar bagaimana berbicara tentang Islam dengan masyarakat Barat.

Sering kali kita menyaksikan seorang Imam asal Timur Tengah diwawancarai media setiap ada kejadian yang berhubungan dengan Islam. Sayang, banyak di antara mereka yang tak dapat membahasakan perspektif Islam dengan idiom-idiom Amerika.

Mereka selalu memberikan kesan atau pesan yang kurang pas. Tentu saja media masa senang dengan hal-hal semacam itu, karena makin mendukung stereotip. Beberapa waktu kemudian saya membaca sebuah media yang mengutip wawancara dengan Imam yang pernah jadi mahasiswa saya itu. Dia melakukannya dengan baik.

Untuk dapat berkomunikasi dengan jamaah yang amat beragam latar belakangnya --banyak di antaranya yang berpendidikan tinggi-- Anda harus dapat berbicara dengan bahasa mereka, dan jika Anda tak memiliki latar belakang pengetahuan seperti mereka, pembicaraan Anda tak akan menarik minat mereka.

Di Amerika, kantor-kantor Imam juga dirancang sedemikian rupa agar mirip dengan ruang kerja pendeta ataupun pastur. Dia bertutur pada saya: "Kegiatan yang saya lakukan disini tak bisa dibandingkan dengan tugas-tugas saya di Timur Tengah. Rasanya seperti jadi pendeta."

Masjid dan Eksekusi
Pengalaman lain yang amat memalukan ada hubungannya dengan pekerjaan saya sebagai profesor agama Islam di Universitas ini. Baru-baru ini saya mengadakan kunjungan tiga minggu bersama alumni Harvard dan Yale ke Asia Selatan dan Timur Tengah.

Kami menumpang sebuah kapal pesiar. Kapal itu bernama "The Great Trade Routes of the Indian Ocean and the Arabian Sea." Kami singgah di beberapa negara, mengunjungi banyak pelabuhan.

Di atas kapal, tugas saya adalah mengajar sejarah, kebudayaan, bahasa, dan literatur wilayah-wilayah yang kami singgahi. Selama dua pekan lamanya saya menikmati berada di tengah-tengah mereka. Mereka juga tampak menikmati perjalanan itu, dan rasa ingin tahu mereka begitu tinggi. Pada salah satu sesi, saya memberi kuliah tentang Islam, mencoba menghapus stereotipnya.



Dalam perjalanan ke Jeddah dengan bus, kami melintasi sebuah bangunan masjid megah bercat putih. Masjid itu memiliki halaman depan yang cukup luas, dan ketika bus melintas di depan halaman itu si pemandu wisata bertutur: "Di halaman itulah setiap Jumat terjadi eksekusi."

Para peserta pun lantas bertanya, "Eksekusi macam apa?"

Dia jelaskan bahwa di situ dilakukan eksekusi dengan memenggal kepala, menggunakan pedang. "Itu dilakukan di depan umum," tambahnya. Hanya pada bulan Ramadhan eksekusi itu tak dilangsungkan. Kebetulan kami datang pada bulan Ramadhan. Dan salah seorang yang duduk di sebelah saya berujar, "Wah sayang sekali kita datang ke sini bukan pada 'Jumat berdarah'."

Inilah Arab Saudi. Negeri itu berusaha keras untuk memperbaiki citra Islam. Tetapi yang ditampilkan oleh masyarakat Arab malahan sebaliknya. Buklet tentang Islam memang mereka terbitkan dengan penampilan yang luar biasa indah. Sayang, dengan prihatin harus saya katakan bahwa Arab adalah bangsa yang paling banyak merugikan Islam, sekurang-kurangnya di mata publik. Saya merasa seluruh perjalanan saya dan apa pun yang saya lakukan, menjadi sia-sia. Kita dapat mengatakan apa pun kepada mereka, tetapi hal yang paling melekat di hati mereka adalah cerita tentang apa yang terjadi di halaman masjid megah bercat putih itu.

Ketika kami melintasi masjid itu, semua kamera pun lantas dimainkan. Dan Anda dapat bayangkan ketika mereka menunjukkan gambar hasil jepretannya kepada teman-teman di Amerika, sambil bercerita tentang eksekusi itu.

Citra adalah sesuatu yang sulit lepas dari ingatan manusia. Yang akan paling diingat tentang Timur Tengah adalah cerita tentang masjid dan eksekusi. Juga citra suatu masyarakat yang begitu represif. Tentang peran wanita. Mereka terheran-heran.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.6060 seconds (0.1#10.140)