Roh dan Jiwa Menurut Para Filsuf dan Sufi
loading...
A
A
A
Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara roh dan jasad . Roh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi.
"Tetapi para ahli sufi membedakan roh dan jiwa. Roh berasal dari tabiat Ilahi dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci," tutur Jalaluddin Rakhmat (1949 –2021) dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" (Paramadina, 1994).
Menurut Jalaluddin Rakhmat, karena roh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Roh di dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik dan mulia.
Jika roh merupakan sumber akhlak yang mulia dan terpuji, maka lain halnya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali membagi jiwa terdiri atas jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani (binatang), dan jiwa insani.
Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa hewani, di samping memiliki daya makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai kelebihan dari segi daya berpikir (al-nafs-al-nathiqah).
Daya jiwa yang berpikir (al-nafs-al-nathiqah atau al-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi, yang merupakan hakikat atau pribadi manusia. Sehingga dengan hakikat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang khusus, Dzatnya dan Penciptaannya.
Jalaluddin Rakhmat menjelaskan, karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani (berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa (nafs) manusia menjadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.
Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan memperturutkan ajakan setan, yang memang pada jiwa itu sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat jahat. Firman Allah, "Sesungguhnya jiwa yang demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." ( QS 12 : 53)
Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, "Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." ( QS 75 :2).
Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan, "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi diridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku." ( QS 89 :27-30)
Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman, yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah dijamin Allah langsung masuk surga.
Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan roh. Roh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci.
Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah sampaikan, "Demi jiwa serta kesempurnaannya, Allah mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." ( QS.91 :7-8).
"Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk," ujar Jalaluddin Rahmat.
"Tetapi para ahli sufi membedakan roh dan jiwa. Roh berasal dari tabiat Ilahi dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci," tutur Jalaluddin Rakhmat (1949 –2021) dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" (Paramadina, 1994).
Menurut Jalaluddin Rakhmat, karena roh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Roh di dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik dan mulia.
Jika roh merupakan sumber akhlak yang mulia dan terpuji, maka lain halnya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali membagi jiwa terdiri atas jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani (binatang), dan jiwa insani.
Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa hewani, di samping memiliki daya makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai kelebihan dari segi daya berpikir (al-nafs-al-nathiqah).
Daya jiwa yang berpikir (al-nafs-al-nathiqah atau al-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi, yang merupakan hakikat atau pribadi manusia. Sehingga dengan hakikat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang khusus, Dzatnya dan Penciptaannya.
Jalaluddin Rakhmat menjelaskan, karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani (berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa (nafs) manusia menjadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.
Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan memperturutkan ajakan setan, yang memang pada jiwa itu sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat jahat. Firman Allah, "Sesungguhnya jiwa yang demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." ( QS 12 : 53)
Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, "Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." ( QS 75 :2).
Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan, "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi diridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku." ( QS 89 :27-30)
Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman, yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah dijamin Allah langsung masuk surga.
Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan roh. Roh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci.
Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah sampaikan, "Demi jiwa serta kesempurnaannya, Allah mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." ( QS.91 :7-8).
"Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk," ujar Jalaluddin Rahmat.
(mhy)