Hubungan Muslim-Kristen dan Perang Salib Menurut John L Esposito

Selasa, 29 November 2022 - 11:03 WIB
loading...
A A A


Perang Salib diilhami oleh dua institusi Kristen, yaitu ziarah ke tempat suci dan perang suci: pembebasan tempat-tempat suci dari tangan kaum Muslim berkarakterkan keduanya. Ziarah memainkan peran penting bagi kesalehan Kristen. Mendatangi tempat-tempat suci, menghormati peninggalan keramat dan melakukan penebusan dosa memberikan (orang-orang yang mengecam akan mengatakan "membeli") janji pengampunan dosa.

Yerusalem, pusat lahirnya Kristen, merupakan lambang kota Tuhan, yang karenanya merupakan tempat suci. Pada waktu yang sama, gagasan perang suci mengubah dan menyucikan peperangan di abad-abad pertengahan beserta gagasan kehormatan dan keksatriaannya.

Para pejuang itu menang, baik mereka memenangkan peperangan di dunia maupun tidak. Memerangi musuh artinya terhormat dan mulia, ganjaran yang diterima oleh semua yang berperan dalam Perang Salib berupa jaminan diampuni dosanya dan masuk surga. Mati dalam peperangan adalah meninggal sebagai pahlawan agama dan langsung masuk surga walaupun mempunyai dosa-dosa di masa yang lalu.

Dalam keadaan terpecah-pecah, reaksi kaum Muslim yang pertama tidak efektif; tentara Salib yang pertama mencapai Yerusalem dan merebutnya pada tahun 1099. Namun keberhasilan kaum Kristen tidak berlangsung lama: "Para pejuang Salib... lebih merupakan gangguan daripada ancaman serius bagi dunia Islam."

Pada pertengahan abad ke-12, pasukan Islam menanggapi secara efektif. Di bawah kepemimpinan Saladin --Shalahuddin Al-Ayyubi --yang mumpuni (Shalah Al-Din, wafat 1193), salah seorang jenderal dan pemerintah Muslim paling terkenal, Yerusalem direbut kembali pada tahun 1187. Keadaan berubah dan momentumnya tetap berada di tangan pasukan kaum Muslim.



Pada abad ke-13, Perang Salib telah berubah menjadi perang saudara Kristen, perang melawan musuh-musuh yang oleh Paus dikatakan sebagai sesat. Akhirnya, sesuatu yang ditakutkan yang telah menimbulkan perang suci Kristen itu, dengan seruannya agar kaum Kristen bersatu untuk merebut kekuasaan kaum Muslim, terjadi pada tahun 1453 ketika ibukota Byzantium, Konstantinopel, jatuh dan diberi nama baru, Istanbul, yang kemudian menjadi kedudukan Kerajaan Utsmaniyah.

Impian penguasa dan tentara Muslim yang muncul sejak abad ketujuh menjadi kenyataan. Sebaliknya, ketakutan kaum Kristen dan ancaman Islam yang kuat, ekspansif dan terus-menerus makin meluas sampai ke Eropa Timur, yang sebagian besarnya dikuasai Kerajaan Utsmaniyah.

Warisan Perang Salib ini tergantung pada tempat seseorang berpijak dalam sejarah. Kaum Kristen dan Muslim bersaing dalam visi dan kepentingan serta masing-masing senantiasa ingat pada komitmennya terhadap agama, dan kisah-kisah kepahlawanan melawan kaum "kafir."

Menurut John L. Esposito, bagi banyak orang di Barat, dugaan mengenai kemenangan Kristen didasarkan pada sejarah yang diromantiskan untuk merayakan kepahlawanan pejuang Salib dan juga kecenderungan untuk menginterpretasikan sejarah melalui pengalaman kolonialisme Eropa dari kekuasaan Amerika selama dua abad yang baru lalu ini.

"Masing-masing agama melihat satu sama lain sebagai militan, agak barbaris dan fanatik, cenderung menjajah, mengubah atau memusnahkan yang lainnya, dan itulah suatu halangan dan ancaman bagi terealisasikannya kehendak Allah," katanya.

Pertentangan mereka berlanjut terus selama masa Utsmaniyah, melalui arus kolonialisme Eropa, dan akhirnya ke dalam persaingan negara-negara adidaya pada abad ke-20.

(mhy)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2221 seconds (0.1#10.140)