Hukum Mengeluh bagi Orang yang Sedang Menderita Sakit

Minggu, 25 Desember 2022 - 09:35 WIB
loading...
Hukum Mengeluh bagi Orang yang Sedang Menderita Sakit
Tidak mengapa bagi si sakit untuk mengeluhkan rasa sakit, selama hal itu dilakukan tidak untuk menunjukkan kebencian kepada takdir.. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan tidak mengapa bagi si sakit untuk mengeluhkan rasa sakit dan penderitaannya kepada dokter atau perawatnya, kerabat atau temannya, selama hal itu dilakukan tidak untuk menunjukkan kebencian kepada takdir, atau untuk menunjukkan keluh kesah dan kekesalannya.

"Hal ini disebabkan orang yang dijadikan tempat mengaduh--lebih-lebih jika ia dokter atau perawat-- kadang-kadang punya obat yang dapat menghilangkan rasa sakitnya, atau minimal meringankannya," ujar al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Fatwa-Fatwa Kontemporer".



Di samping itu, menyampaikan keluhan kepada orang yang dipercayainya dapat meringankan beban psikologis, lebih-lebih jika orang itu mau menanggapinya, merasa iba padanya, dan ikut merasakan penderitaan yang dialaminya. Seorang penyair kuno mengatakan:

"Aku mengaduh dan mengeluh
Padahal mengeluh seperti ini tak biasa kulakukan
Tapi memang
Bila gelas sudah penuh isinya
Ia akan tumpah keluar."

Pujangga lain mengatakan:

"Tak apalah engkau mengaduh
Kepada orang yang berbudi luhur
Agar ia iba padamu
Atau menenangkan jiwamu
Atau turut merasakan penderitaanmu."

Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud ra bahwa Nabi
SAW pernah berkata:

"Aku demam yang panasnya setinggi yang dialami dua orang dari kalian."

Diriwayatkan dari al-Qasim bin Muhammad bahwa Aisyah ra pernah berkata, "Aduh, kepalaku sakit." Dan Nabi SAW menimpali, "Aduh, kepalaku juga sakit!"

Dan diriwayatkan dari Sa'ad, ia berkata, " Rasulullah SAW datang menjenguk saya ketika penyakit saya bertambah berat pada waktu haji wada', lalu saya berkata, 'Saya menderita sakit sebagaimana yang engkau lihat ..." (HR Bukhari)



Imam Bukhari meriwayatkan dalam al-Adabul-Mufrad dari Urwah bin Zuber, ia berkata, Saya dan Abdullah bin Zuber pernah menjenguk Asma' --binti Abu Bakar yang nota bene ibu mereka sendiri-- lalu Abdullah bertanya kepada Asma', 'Bagaimana keadaan Ibunda?' Asma' menjawab, 'Sakit.'" (Al-Adabul-Mufrad, karya Imam Bukhari, hadits no. 509).

Riwayat-riwayat ini menolak anggapan sebagian ulama yang mengatakan bahwa orang sakit dimakruhkan mengeluh/mengaduh. Imam Nawawi dalam Fathul-Bari mengomentari pendapat sebagian ulama tersebut dengan mengatakan, "Ini adalah pendapat yang lemah atau batil, karena sesuatu yang makruh ditetapkan dengan adanya larangan yang dimaksud, sedangkan yang demikian tidak didapati."

Kemudian beliau berhujjah dengan hadis Aisyah dalam bab ini, lalu berkata, "Barangkali yang mereka maksud dengan karahah (makruh) di sini adalah khilaful-aula (menyalahi sesuatu yang lebih utama), sebab tidak diragukan lagi bahwa melakukan dzikir lebih utama (daripada mengaduh/mengerang)."

Al-Qurthubi berkata, "Sebenarnya tidak seorang pun yang dapat menolak rasa sakit, dan memang jiwa manusia diciptakan untuk dapat merasakan yang demikian, maka apa yang telah diciptakan Allah pada manusia tidaklah dapat diubah. Hanya saja, manusia dibebani tugas untuk melepaskan diri dari sesuatu yang dapat ditinggalkan apabila ditimpa musibah, misalnya berlebihan dalam mengeluh dan mengaduh, karena orang yang berbuat begitu berarti telah keluar dari artian sebagai ahli sabar. Adapun semata-mata mengaduh tidaklah tercela, kecuali ia membenci apa yang ditakdirkan atas dirinya."



Bahkan Imam Muslim meriwayatkan dari Utsman bin Abil 'Ash bahwa dia mengeluhkan rasa sakit pada tubuhnya kepada Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda kepadanya:

"Letakkan tanganmu pada badan tubuhmu yang sakit, dan ucapkan 'bismillah' (dengan nama Allah) tiga kali, dan ucapkan doa ini sebanyak tujuh kali: 'Aku berlindung dengan kebesaran Allah dan kekuasaan-Nya dari apa yang aku derita dan aku khawatirkan.'" (Muslim dalam "as-Salam," hadis no. 2202; Abu Daud no. 3891, dan Tirmidzi no 2081).

Para ulama sebagaimana dinukil dalam kitab Al-Allamah al-Qari dalam Mirqatul-Mafatih Syarah Misykatil-Mashabih mengatakan, "Dari riwayat ini dirumuskan hukum sunnahnya menyampaikan keluhan kepada orang yang bisa memohonkan berkah, karena mengharapkan keberkahan doanya"

Dalam Al-Mubdi' fi Syarh al-Muqni disebutkan Imam Ahmad biasanya memuji Allah terlebih dahulu, baru setelah itu beliau memberitahukan apa yang dideritanya, mengingat riwayat dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan, "Apabila menyampaikan syukur terlebih dahulu sebelum menyampaikan keluhan, maka tidaklah dia dinilai berkeluh kesah."

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari mengomentari perkataan Nabi SAW dalam hadis Aisyah ("kepala saya juga sakit") dengan mengatakan:

"Riwayat ini menunjukkan bahwa mengatakan sakit tidak termasuk berkeluh kesah. Sebab betapa banyak orang yang hanya berdiam tetapi hati mereka merasa jengkel (marah), dan betapa banyak orang yang mengadukan sakitnya tetapi hatinya merasa ridha. Maka yang perlu diperhatikan di sini adalah amalan hati, bukan amalan lisan.



Menerima Keluhan
Di sisi lain, bagi orang yang menerima keluhan hendaklah ia berusaha meringankan penderitaan si sakit dengan membelainya atau menyentuhnya dengan penuh kasih sayang, dengan perkataan yang menyejukkan hati, dan dengan doa yang baik, sebaggaimana yang dilakukan Rasulullah SAW terhadap Sa'ad.

Aisyah binti Sa'ad meriwayatkan bahwa ayahnya bercerita, "Ketika saya di Mekkah, saya mengadukan sakit yang berat, kemudian Nabi SAW menjenguk saya. Kemudian beliau menaruh tangan beliau dan mengusapkannya pada muka dan perut saya, seraya berdoa:

"Ya Allah, sembuhkanlah Sa'ad, dan sempurnakanlah hijrahnya."

Sa'ad berkata, "Maka saya senantiasa merasakan dinginnya tangan beliau di hati saya --menurut perasaan saya-- hingga hari kiamat." (Al-Adabul-Mufrad, karya al-Bukhari, hadis nomor 509).

Ibnu Mas'ud juga berkata, "Saya pernah masuk ke tempat Rasulullah SAW ketika beliau sedang sakit parah, lalu saya belai beliau dengan tangan saya sembari berkata, 'Wahai Rasulullah, sakitmu sangat berat.' Beliau menjawab, 'Benar, sebagaimana yang diderita oleh dua orang di antara kamu.' Saya berkata, 'Hal itu karena engkau mendapat dua pahala?' Beliau menjawab, 'Benar.' Kemudian beliau bersabda:

"Tidak seorang muslim yang ditimpa suatu gangguan berupa penyakit atau lainnya, melainkan Allah menggugurkan dosa-dosanya sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya." (Al-Bukhari, hadits nomor 5660).



Selain itu, hendaklah ia berusaha meringankan penderitaan si sakit dengan mengingatkannya akan keutamaan sabar terhadap cobaan Allah dan ridha menerima qadha-Nya, mengingatkannya akan pahala orang yang mendapatkan ujian lantas ia bersabar dan rela menerimanya. Hendaklah ia mengingatkan bahwa penyakit yang menimpanya adalah untuk menyucikan dan menebus dosa-dosanya, untuk menambah kebaikannya, atau untuk meninggikan derajatnya.

Di samping itu, ia juga sebaiknya diberi pengertian bahwa orang yang paling berat cobaannya ialah para nabi, kemudian orang-orang yang memiliki derajat di bawahnya, dan seterusnya. Perlu juga diingatkan kepadanya tentang ayat-ayat dan hadits-hadits Nabi, serta biografi para shalihin yang sekiranya dapat menenangkan dan memantapkan hatinya, tidak menjadikannya jenuh dan berat.

Kemudian sebaiknya ia diajari dengan sesuatu yang dapat meninggikan jiwanya, sebagaimana yang dilakukan Nabi SAW terhadap Utsman bin Abil 'Ash.

Adapun mengenai pengaduan kepada Sang Pencipta Yang Maha Luhur, maka Al-Qur'an telah mengisahkan beberapa orang Nabi as yang mulia. Di antaranya Al-Qur'an mengisahkan Nabi Ya'qub as yang mengatakan:

"Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku ..." (QS Yusuf: 86)

Demikian pula ketika mengisahkan Nabi Ayub as:

"Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: '(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang." (QS al-Anbiya': 83)

Ayat-ayat ini sekaligus menyangkal anggapan golongan sufi yang mengatakan bahwa berdoa merusak keridhaan dan penyerahan. Dalam hal ini sebagian mereka berkata, "Pengetahuan-Nya tentang keadaanku tidak memerlukan aku meminta kepada-Nya."

Tetapi yang perlu ditegaskan di sini bahwa berdoa dan memohon kepada Allah adalah ibadah, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW.

Sebenarnya, menurut kesepakatan para ulama, yang tergolong makruh dalam hal ini ialah berkeluh kesah terhadap Tuhannya, yaitu menyebut-nyebut penderitaannya kepada manusia dengan jalan memaki-maki. "Inilah yang dilakukan oleh sebagian orang yang melupakan nikmat Allah, yang mereka ingat hanyalah bala dan bencana semata," demikian Syaikh Yusuf al-Qardhawi.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2910 seconds (0.1#10.140)