Sholat Tak Sekadar Dijalani, Begini Penjelasan Al-Shawwaf
loading...
A
A
A
Pada setiap agama terdapat berbagai bentuk ibadah. Hal ini diberlakukan untuk mengingatkan manusia akan keinsyafan tentang kekuasaan Ilahi yang Maha Agung, yang merupakan sukma ibadah itu dan menjadi hikmah rahasianya sehingga seorang manusia tidak mengangkangi manusia yang lain, tidak berlaku sewenang-wenang dan tidak yang satu menyerang yang lain. Sebab semuanya adalah hamba Allah.
Muhammad Mahmud al-Shawwaf dalam kitab "Uddat al-Muslimin" menguraikan betapapun hebat dan mulianya seseorang namun Allah lebih hebat, lebih mulia, lebih agung dan lebih tinggi.
"Jadi, karena manusia lalai terhadap makna-makna yang luhur ini maka diadakanlah ibadat untuk mengingatkan mereka. Oleh karena itulah setiap ibadat yang benar tentu mempunyai dampak dalam pembentukan akhlak pelakunya dan dalam pendidikan jiwanya," ujarnya.
Dampak itu terjadi hanyalah dari roh ibadat tersebut dan keinsyafan yang pangkalnya ialah pengagungan dan kesyahduan. Jika ibadat tidak mengandung hal ini maka tidaklah disebut ibadat, melainkan sekadar adat dan pamrih, sama dengan bentuk manusia dan patungnya yang tidak disebut manusia, melainkan sekedar khayal, bahan tanah atau perunggu semata.
Sholat adalah ibadat yang paling agung, dan suatu kewajiban yang ditetapkan atas setiap orang muslim. Dan Allah memerintahkan untuk menegakkannya, tidak sekadar menjalaninya saja. Dan menegakkan sesuatu berarti menjalaninya dengan tegak dan sempurna karena kesadaran akan tujuannya, dengan menghasilkan berbagai dampak nyata. Dampak shalat dan hasil tujuannya ialah sesuatu yang diberitakan Allah kepada kita dengan firman-Nya, "Sesungguhnya shalat mencegah dari yang kotor dan keji" ( QS al-Ankabut/29 :45).
Selain itu Allah juga berfirman: "Sesungguhnya manusia diciptakan gelisah: jika keburukan menimpanya, ia banyak keluh kesah; dan jika kebaikan menimpanya, ia banyak mencegah (dari sedekah). Kecuali mereka yang shalat..." ( QS al-Ma'arij/70 :19-22).
Allah memberi peringatan keras kepada mereka yang menjalani sholat hanya dalam bentuknya saja seperti gerakan dan bacaan tertentu namun melupakan makna ibadat itu dan hikmah rahasianya, yang semestinya menghantarkannya pada tujuan mulia berupa gladi kepribadian, pendidikan kejiwaan dan peningkatan budi.
Allah berfirman, "Maka celakalah untuk mereka yang sholat, yang lupa akan sholat mereka sendiri. Yaitu mereka yang suka pamrih, lagi enggan memberi pertolongan." ( QS al-Ma'un/107 )
Mereka itu dinamakan "orang yang sholat" karena mereka mengerjakan bentuk lahir shalat itu, dan digambarkan sebagai lupa akan shalat yang hakiki, karena jauh dari pemusatan jiwa yang jernih dan bersih kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung, yang seharusnya mengingatkannya untuk takut kepada-Nya, dan menginsyafkan hati akan kebesaran kekuasaan-Nya dan keluhuran kebaikan-Nya.
Para ulama membagi riya atau pamrih menjadi dua. Pertama, pamrih kemunafikan, yaitu jika perbuatan ditujukan untuk dapat dilihat orang lain guna mendapatkan pujian, penghargaan atau persetujuan mereka. Kedua pamrih adat kebiasaan, yaitu perbuatan dengan mengikuti ketentuan-ketentuannya namun tanpa memperhatikan makna perbuatan itu dan hikmah rahasianya serta faedahnya, dan tanpa perhatian kepada Siapa (Tuhan) yang sebenarnya ia berbuat untuk-Nya dan guna mendekat kepada-Nya.
"Inilah yang paling banyak dikerjakan orang sekarang. Sungguh amat disayangkan!" demikian Muhammad Mahmud al-Shawwaf.
Muhammad Mahmud al-Shawwaf dalam kitab "Uddat al-Muslimin" menguraikan betapapun hebat dan mulianya seseorang namun Allah lebih hebat, lebih mulia, lebih agung dan lebih tinggi.
"Jadi, karena manusia lalai terhadap makna-makna yang luhur ini maka diadakanlah ibadat untuk mengingatkan mereka. Oleh karena itulah setiap ibadat yang benar tentu mempunyai dampak dalam pembentukan akhlak pelakunya dan dalam pendidikan jiwanya," ujarnya.
Dampak itu terjadi hanyalah dari roh ibadat tersebut dan keinsyafan yang pangkalnya ialah pengagungan dan kesyahduan. Jika ibadat tidak mengandung hal ini maka tidaklah disebut ibadat, melainkan sekadar adat dan pamrih, sama dengan bentuk manusia dan patungnya yang tidak disebut manusia, melainkan sekedar khayal, bahan tanah atau perunggu semata.
Sholat adalah ibadat yang paling agung, dan suatu kewajiban yang ditetapkan atas setiap orang muslim. Dan Allah memerintahkan untuk menegakkannya, tidak sekadar menjalaninya saja. Dan menegakkan sesuatu berarti menjalaninya dengan tegak dan sempurna karena kesadaran akan tujuannya, dengan menghasilkan berbagai dampak nyata. Dampak shalat dan hasil tujuannya ialah sesuatu yang diberitakan Allah kepada kita dengan firman-Nya, "Sesungguhnya shalat mencegah dari yang kotor dan keji" ( QS al-Ankabut/29 :45).
Selain itu Allah juga berfirman: "Sesungguhnya manusia diciptakan gelisah: jika keburukan menimpanya, ia banyak keluh kesah; dan jika kebaikan menimpanya, ia banyak mencegah (dari sedekah). Kecuali mereka yang shalat..." ( QS al-Ma'arij/70 :19-22).
Allah memberi peringatan keras kepada mereka yang menjalani sholat hanya dalam bentuknya saja seperti gerakan dan bacaan tertentu namun melupakan makna ibadat itu dan hikmah rahasianya, yang semestinya menghantarkannya pada tujuan mulia berupa gladi kepribadian, pendidikan kejiwaan dan peningkatan budi.
Allah berfirman, "Maka celakalah untuk mereka yang sholat, yang lupa akan sholat mereka sendiri. Yaitu mereka yang suka pamrih, lagi enggan memberi pertolongan." ( QS al-Ma'un/107 )
Mereka itu dinamakan "orang yang sholat" karena mereka mengerjakan bentuk lahir shalat itu, dan digambarkan sebagai lupa akan shalat yang hakiki, karena jauh dari pemusatan jiwa yang jernih dan bersih kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung, yang seharusnya mengingatkannya untuk takut kepada-Nya, dan menginsyafkan hati akan kebesaran kekuasaan-Nya dan keluhuran kebaikan-Nya.
Para ulama membagi riya atau pamrih menjadi dua. Pertama, pamrih kemunafikan, yaitu jika perbuatan ditujukan untuk dapat dilihat orang lain guna mendapatkan pujian, penghargaan atau persetujuan mereka. Kedua pamrih adat kebiasaan, yaitu perbuatan dengan mengikuti ketentuan-ketentuannya namun tanpa memperhatikan makna perbuatan itu dan hikmah rahasianya serta faedahnya, dan tanpa perhatian kepada Siapa (Tuhan) yang sebenarnya ia berbuat untuk-Nya dan guna mendekat kepada-Nya.
"Inilah yang paling banyak dikerjakan orang sekarang. Sungguh amat disayangkan!" demikian Muhammad Mahmud al-Shawwaf.
(mhy)