Kenangan salat

Minggu, 29 Juli 2012 - 12:45 WIB
Kenangan salat
Kenangan salat
A A A
SUATU hari Cang Haji Muhidin, sesepuh di Kampung Ketapang, mampir ke majelis, memberi nasihat seputar menjaga wudu. Cang Haji juga berpesan bahwa perintah salat itu bukan saja untuk diri kita, melainkan juga untuk anak dan istri kita, dan siapa saja yang ada di dalam tanggungan kita.

Cang Haji menyitir satu potongan firman Allah, “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” Sepulangnya Cang Haji dari majelis, Luqman bercerita dengan Maemunah, istrinya, seputar kenangan salat waktu kecil. Dulu, cerita Luqman, ia paling sebel kalau disuruh salat, terutama salat subuh, zuhur, dan asar. Pada waktu subuh masih ngantuk, sedangkan pada zuhur dan asar biasanya masih sibuk main.

Dikecualikan salat magrib, karena salatnya ramai-ramai, di masjid. Anak kecil malah justru senang salat magrib, sebab sekalian main-main di masjid. “Tapi ya sekarang baru terasa faedahnya. Mungkin kalau dulu enggak dipaksa, mungkin tidak akan salat sampai besar,” cerita Luqman. Orang-orang tua sekarang mungkin punya cara yang lebih baik dalam membentuk karakter, dalam membentuk mental rajin salat.

Biasanya dimulai dengan memberikan contoh yang baik, mengirimkannya ke TKA/TPA, untuk belajar mengaji yang efektif dan membiasakan salat. Atau dengan cara yang lain, merangsangnya dengan pemberian hadiah. Terserah caranya masing-masing, yang penting jangan sampai tidak menyuruh anak salat, dan juga jangan sampai justru para orangtuanya sendiri tidak salat. “Terus kalau Kamu gimana,De?” tanya Luqman.

“Wah,saya mah waktu kecil jarang disuruh kaya Kakak.” “Maksudnya, disuruh sih jarang, tapi diomelin sering, gitu ya? Ha ha ha” “Bukan, bukan begitu maksudnya. Soalnya saya sedari kecil sudah rajin salat, tanpa perlu disuruh, gitu!” Jarang sekali ada anak kecil yang punya inisiatif mengambil air wudu begitu mendengar azan, kemudian berangkat salat, kecuali lingkungan membentuknya.

Misalnya sedang berada di lingkungan TKA/TPA,atau karena kawan-kawannya juga salat. Jarang juga ada anak kecil yang sadar akan wajibnya dan butuhnya seorang hamba akan salat. Karena pola berpikir demikian, toh baru ada pada saat ia beranjak dewasa atau remaja. Itu pun kalau diberi pelajaran dan pengertian yang demikian. Maka itu, peranan orangtua (baca: keluarga) sangat berperan.

Kitalah yang membimbing anak untuk salat. Atau lebih jauh lagi, membimbingnya untuk mengenal Allah, Tuhannya, membimbingnya untuk bisa membaca Alquran, memiliki perangai dan mentalitas yang baik, dan memiliki rasa empati terhadap sesama, sehingga semua kebaikan ini menjadi karakter sang anak yang akan dibawanya untuk mengarungi kehidupan pada saatnya nanti.

Hal ini sejalan dengan firman Allah di surah Luqmân [31] ayat ke-17, bahwa kita diperintahkan untuk menyuruh anak keturunan kita salat dan berbuat baik. “Hai anakku, dirikanlah salat, suruhlah manusia berbuat baik, laranglah mereka dari kemungkaran, dan bersabarlah atas apa-apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu adalah urusan yang harus diutamakan.”

Demikian, semoga bermanfaat. Kita juga berdoa, semoga keluarga kita semua, berikut anak keturunan kita kelak, dijadikan oleh Allah, keluarga dan anak keturunan yang ahli ibadah, bukan ahli maksiat. Jangan tunggu anak kita gagal berkenalan dengan Allah dan menjauh dari-Nya, lantaran usaha kita tidak maksimal untuk mengenalkannya dan membuatnya dekat dengan Allah.

Dan Allah berfirman, “Dan suruhlah keluargamu salat serta bersabarlah atasnya.” (Thâhâ: 132). Jangan tunggu anak kita gagal berkenalan dengan Allah dan menjauh dari-Nya, lantaran tidak maksimal usaha kita untuk mengenalkannya dan membuatnya dekat dengan Allah.

YUSUF MANSUR
Pemimpin Pesantren Tahfidz Daarul Qur'an Internasional
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2609 seconds (0.1#10.140)