Al-Fitnat Al-Kubra: Lahirnya Golongan Khawarij, Syiah dan Sunnah
Sabtu, 04 Februari 2023 - 14:57 WIB
Tragedi pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan adalah permulaan, dan hanyalah salah satu, dari deretan fitnah yang amat besar pengaruhnya kepada terjadinya skisme dalam Islam. Menurut sementara ahli sejarah Islam, setelah Utsman terbunuh, maka diangkatlah Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah, menggantikan Utsman.
Ali bin Abi Thalib adalah kemenakan dan menantu Nabi, serta pelopor mula pertama dalam Islam. Beliau telah tumbuh sejak zaman Nabi sendiri sebagai seorang pahlawan, ahli perang (warrior) yang tangkas, dengan sikap hidup yang penuh kesalehan dan hikmah (wisdom) yang luas dan mendalam.
Cendekiawan Muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (1939-2005) atau populer dipanggil Cak Nur , menuturkan bagi banyak pihak di Madinah, meskipun tidak disepakati oleh semua orang, ketokohan Ali membuatnya paling tepat sebagai pengganti (khalifah) Nabi , tidak hanya sekarang sesudah Utsman, tapi sejak wafat Nabi sendiri.
Ali sebenarnya adalah tokoh yang amat tepat menghadapi situasi kritis itu. Tetapi ketokohannya itu menjadi problem karena kenyataan bahwa sejak semula ia, dibawa oleh sikapnya yang saleh dan populis, menunjukkan simpati kepada para pemrotes kebijaksanaan Utsman, meskipun jelas mustahil mendukung pembunuhannya.
Dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" Cak Nur mengatakan suasana curiga kepada Ali dari banyak pihak menjadi tak terhindarkan.
Kecurigaan itu mewujudkan diri dalam reaksi-reaksi tidak setuju kepada pengangkatan Ali sebagai khalifah, tidak saja dari kalangan yang secara langsung mempunyai hubungan darah dengan Utsman, Khalifah terbunuh, yaitu kalangan kaum Umawi (Umawi, anak cucu Umayyah ibn 'Abd Syams, ayah dari pada kakek Mu'awiyah ) tetapi juga dari tokoh-tokoh seperti A'isyah, puteri Abu Bakar dan isteri Nabi yang sangat dicintainya, juga al-Zubair ibn al-Awwam , seorang anggota keluarga Abu Bakar .
Sedangkan dari kalangan kaum Umawi, seperti dapat diduga, tuntutan untuk pengusutan pembunuhan Utsman sangat keras, dipelopori oleh politikus dan gubernur yang cakap, Mu'awiyah (anak Abu Sufyan, musuh utama Nabi sampai penaklukan Mekkah), dan dibantu oleh 'Amr ibn al-'Ash , gubernur dan komandan militer yang menaklukkan Mesir.
Berbagai reaksi kurang menguntungkan terhadap Ali itu tidak saja membuat situasi masyarakat Islam yang masih muda dilanda suasana tak menentu dan sedikit chaotik. Reaksi-reaksi itu segera menyeret masyarakat Islam ke dalam kancah peperangan sesama mereka, dengan korban jiwa yang tidak sedikit.
Ali yang seorang ahli perang (warrior) yang cakap dan berani agaknya dengan mudah mengalahkan Aisyah dan al-Zubayr di pertempuran dekat Basrah yang kemudian dikenal sebagai "Peristiwa Onta" (karena A'isyah memimpin pasukan dengan menunggang onta, dan onta itu terbunuh dalam pertempuran).
"Tetapi peristiwa itu sendiri menimbulkan luka sosial-keagamaan pada ummat Islam yang sampai sekarang belum seluruhnya tersembuhkan," ujar Cak Nur.
Menurutnya, yang lebih parah, dengan akibat yang amat jauh dalam bidang sosial-keagamaan, ialah permusuhan antara Ali dan Mu'awiyah. Juga disebabkan oleh kecakapan militernya, Ali agaknya akan akhirnya memenangkan pertempurannya melawan Mu'awiyah.
Akan tetapi mungkin sebagai gabungan antara kesalehan yang lebih mementingkan perdamaian dan sikap meremehkan kepintaran, jika tidak bisa disebut kelicikan, diplomatik Mu'awiyah dan para pendukungnya, Ali secara iktikad baik dan "polos" menerima usul arbitrasi di Shiffin. Akibatnya ialah bahwa ia justru kehilangan dukungan dari para sponsornya yang gigih dan militan, yang sejak semula menginginkan penyelesaian militer terhadap Mu'awiyah.
Mereka ini kemudian membentuk kelompok ketiga, dan menamakan diri mereka kaum al-Syurat, yakni, "orang-orang yang menjual diri (kepada Allah)", dengan secara total menyerahkan dan mengorbankan diri untuk agama yang benar.
Sebutan ini merujuk kepada firman Allah, "Dan di antara manusia ada yang 'menjual' dirinya demi memperoleh ridla Allah. Dan Allah itu Maha Penyantun kepada para hamba-Nya." [ QS al-Baqarah 2 :207]
Menurut Cak Nur, sebutan al-Syurat itu sekaligus memberi gambaran tentang hakikat dan sifat gerakan mereka, yaitu gerakan dengan semangat sendirinya mereka berkembang menjadi kelompok dengan tingkat ekstremisme yang amat tinggi, yang kemudian secara tak terhindarkan membawa mereka kepada situasi mudah sekali terpecah-belah dan saling bermusuhan, untuk akhirnya melenyapkan diri mereka sendiri.
Egalitarianisme radikal kelompok ini membawa mereka kepada konsep-konsep sosial politik yang sesungguhnya lebih dekat kepada cita-cita Islam seperti diletakkan oleh Nabi dan merupakan kelanjutan cita-cita universal dalam tradisi bangsa-bangsa Irano-Semitik sejak ratusan tahun, dan yang dengan kuat sekali mewarnai pandangan-pandangan hidup di daerah Bulan Sabit Subur.
Cak Nur mengatakan tetapi karena dibawakan dengan militansi yang hampir tak terkendalikan, maka konsep-konsep itu yang antara lain melahirkan doktrin hijrah, yaitu semua orang harus menyingkir dari tatanan mapan dan bergabung dengan mereka demi iman yang benar telah menjerumuskan masyarakat Islam kepada suasana "semua lawan semua," tanpa ada pihak yang benar-benar diuntungkan.
Ali bin Abi Thalib adalah kemenakan dan menantu Nabi, serta pelopor mula pertama dalam Islam. Beliau telah tumbuh sejak zaman Nabi sendiri sebagai seorang pahlawan, ahli perang (warrior) yang tangkas, dengan sikap hidup yang penuh kesalehan dan hikmah (wisdom) yang luas dan mendalam.
Cendekiawan Muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (1939-2005) atau populer dipanggil Cak Nur , menuturkan bagi banyak pihak di Madinah, meskipun tidak disepakati oleh semua orang, ketokohan Ali membuatnya paling tepat sebagai pengganti (khalifah) Nabi , tidak hanya sekarang sesudah Utsman, tapi sejak wafat Nabi sendiri.
Ali sebenarnya adalah tokoh yang amat tepat menghadapi situasi kritis itu. Tetapi ketokohannya itu menjadi problem karena kenyataan bahwa sejak semula ia, dibawa oleh sikapnya yang saleh dan populis, menunjukkan simpati kepada para pemrotes kebijaksanaan Utsman, meskipun jelas mustahil mendukung pembunuhannya.
Dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" Cak Nur mengatakan suasana curiga kepada Ali dari banyak pihak menjadi tak terhindarkan.
Kecurigaan itu mewujudkan diri dalam reaksi-reaksi tidak setuju kepada pengangkatan Ali sebagai khalifah, tidak saja dari kalangan yang secara langsung mempunyai hubungan darah dengan Utsman, Khalifah terbunuh, yaitu kalangan kaum Umawi (Umawi, anak cucu Umayyah ibn 'Abd Syams, ayah dari pada kakek Mu'awiyah ) tetapi juga dari tokoh-tokoh seperti A'isyah, puteri Abu Bakar dan isteri Nabi yang sangat dicintainya, juga al-Zubair ibn al-Awwam , seorang anggota keluarga Abu Bakar .
Sedangkan dari kalangan kaum Umawi, seperti dapat diduga, tuntutan untuk pengusutan pembunuhan Utsman sangat keras, dipelopori oleh politikus dan gubernur yang cakap, Mu'awiyah (anak Abu Sufyan, musuh utama Nabi sampai penaklukan Mekkah), dan dibantu oleh 'Amr ibn al-'Ash , gubernur dan komandan militer yang menaklukkan Mesir.
Berbagai reaksi kurang menguntungkan terhadap Ali itu tidak saja membuat situasi masyarakat Islam yang masih muda dilanda suasana tak menentu dan sedikit chaotik. Reaksi-reaksi itu segera menyeret masyarakat Islam ke dalam kancah peperangan sesama mereka, dengan korban jiwa yang tidak sedikit.
Ali yang seorang ahli perang (warrior) yang cakap dan berani agaknya dengan mudah mengalahkan Aisyah dan al-Zubayr di pertempuran dekat Basrah yang kemudian dikenal sebagai "Peristiwa Onta" (karena A'isyah memimpin pasukan dengan menunggang onta, dan onta itu terbunuh dalam pertempuran).
"Tetapi peristiwa itu sendiri menimbulkan luka sosial-keagamaan pada ummat Islam yang sampai sekarang belum seluruhnya tersembuhkan," ujar Cak Nur.
Menurutnya, yang lebih parah, dengan akibat yang amat jauh dalam bidang sosial-keagamaan, ialah permusuhan antara Ali dan Mu'awiyah. Juga disebabkan oleh kecakapan militernya, Ali agaknya akan akhirnya memenangkan pertempurannya melawan Mu'awiyah.
Akan tetapi mungkin sebagai gabungan antara kesalehan yang lebih mementingkan perdamaian dan sikap meremehkan kepintaran, jika tidak bisa disebut kelicikan, diplomatik Mu'awiyah dan para pendukungnya, Ali secara iktikad baik dan "polos" menerima usul arbitrasi di Shiffin. Akibatnya ialah bahwa ia justru kehilangan dukungan dari para sponsornya yang gigih dan militan, yang sejak semula menginginkan penyelesaian militer terhadap Mu'awiyah.
Mereka ini kemudian membentuk kelompok ketiga, dan menamakan diri mereka kaum al-Syurat, yakni, "orang-orang yang menjual diri (kepada Allah)", dengan secara total menyerahkan dan mengorbankan diri untuk agama yang benar.
Sebutan ini merujuk kepada firman Allah, "Dan di antara manusia ada yang 'menjual' dirinya demi memperoleh ridla Allah. Dan Allah itu Maha Penyantun kepada para hamba-Nya." [ QS al-Baqarah 2 :207]
Menurut Cak Nur, sebutan al-Syurat itu sekaligus memberi gambaran tentang hakikat dan sifat gerakan mereka, yaitu gerakan dengan semangat sendirinya mereka berkembang menjadi kelompok dengan tingkat ekstremisme yang amat tinggi, yang kemudian secara tak terhindarkan membawa mereka kepada situasi mudah sekali terpecah-belah dan saling bermusuhan, untuk akhirnya melenyapkan diri mereka sendiri.
Egalitarianisme radikal kelompok ini membawa mereka kepada konsep-konsep sosial politik yang sesungguhnya lebih dekat kepada cita-cita Islam seperti diletakkan oleh Nabi dan merupakan kelanjutan cita-cita universal dalam tradisi bangsa-bangsa Irano-Semitik sejak ratusan tahun, dan yang dengan kuat sekali mewarnai pandangan-pandangan hidup di daerah Bulan Sabit Subur.
Cak Nur mengatakan tetapi karena dibawakan dengan militansi yang hampir tak terkendalikan, maka konsep-konsep itu yang antara lain melahirkan doktrin hijrah, yaitu semua orang harus menyingkir dari tatanan mapan dan bergabung dengan mereka demi iman yang benar telah menjerumuskan masyarakat Islam kepada suasana "semua lawan semua," tanpa ada pihak yang benar-benar diuntungkan.