4 Tahap Kehidupan Manusia Menurut Imam Al-Ghazali
Senin, 13 Februari 2023 - 05:15 WIB
Imam al-Ghazali menyebut perjalanan manusia di dunia ini bisa dikelompokkan dalam empat tahap - yang inderawi, eksperimental, instingtif dan rasional.
Dalam bukunya berjudul "The Alchemy of Happiness" dan diterjemahkan Haidar Bagir menjadi " Kimia Kebahagiaan ", Imam al-Ghazali menjelaskan dalam tahap yang pertama ia seperti seekor rayap yang, meskipun memiliki penglihatan, tak punya kemampuan mengingat dan akan menghapuskan dirinya terus-menerus pada lilin yang sama.
Tahap kedua, ia seperti seekor anjing yang, setelah sekali digigit, akan lari ketika melihat sebatang rotan pemukul.
Pada tahap ketiga, ia seperti seekor kuda atau domba yang, secara instingtif, terbang seketika tatkala melihat seekor macan atau srigala - musuh-musuh alaminya - sementara mereka tak akan lari jika melihat seekor unta atau kerbau, meskipun kedua binatang ini lebih besar ukurannya.
Di dalam tahap yang keempat manusia sama sekali mengatasi batas-batas binatang itu sehingga mampu, sampai batas tertentu, meramalkan dan mempersiapkan diri bagi masa depan.
Gerakan-gerakannya pada mulanya bisa dibandingkan dengan berjalan biasa di atas tanah, kemudian menyeberangi laut dengan sebuah kapal, kemudian pada pendaratan keempat - ketika ia sudah akrab dengan hakikat-hakikat - berjalan di atas air.
Sementara itu, di balik dataran ini masih ada dataran kelima yang dikenal oleh para nabi dan wali yang bisa dibandingkan dengan terbang mengarungi udara.
Jadi, kata Imam al-Ghazali, manusia punya kemampuan untuk dada pada berbagai dataran yang berbeda, mulai dari dataran hewaniah sampai dataran malaikat. Dan persis dalam hal inilah terletak bahayanya, yaitu dari kemungkinan jatuh ke dataran yang paling rendah.
Di dalam al-Qur'an tertulis, "Telah Kami tawarkan (yaitu tanggung jawab atau kehendak bebas) kepada lelangit dan bumi serta gunung-gunung; mereka menolak untuk menanggungnya. Tetapi manusia mau mananggungnya. Sesungguhnya manusia itu bodoh."
"Tidak hewan tidak pula malaikat bisa mengubah tingkat dan tempat ia ditempatkan," ujar Imam al-Ghazali. "Tetapi seseorang bisa tenggelam ke dataran hewaniah atau terbang ke dataran malaikat, dan inilah arti dari 'penanggungan beban' sebagaimana disebutkan di atas oleh al-Qur'an," jelasnya.
Menurut Imam al-Ghazali, sebagian besar manusia memilih untuk berada di dua tahap terendah tersebut di atas, dan yang tetap tinggal biasanya selalu bersikap bermusuhan dengan orang yang bepergian atau musafir yang jumlahnya jauh lebih sedikit.
Temuan Ahli Ilmu Kalam
Banyak orang dari kelas yang disebut terdahulu, karena tidak memiliki keyakinan yang teguh tentang dunia yang akan datang, ketika dikuasai oleh nafsu-nafsu inderawi, menolaknya sama sekali.
Mereka berkata bahwa neraka adalah suatu temuan para ahli ilmu kalam belaka untuk menakut-nakuti orang. Mereka memandang para ahli ilmu kalam dengan penghinaan terbuka. "Berdebat dengan orang-orang seperti ini sedikit sekali manfaatnya. Meskipun demikian, ada yang bisa dikatakan pada orang yang seperti ini yang mungkin bisa membuatnya berhenti dan merenung," ujar Imam al-Ghazali.
"Benarkah anda sungguh-sungguh berpikir bahwa 124.000 nabi dan wali yang percaya pada kehidupan masa akan datang semuanya salah dan anda, yang menolaknya, benar?" Jika ia menjawab, "Ya," saya sedemikian yakin - sebagaimana saya yakin bahwa dua lebih besar daripada satu - bahwasanya jiwa dan kehidupan masa depan dalam bentuk kebahagiaan maupun hukuman itu tidak ada, maka manusia seperti itu sudah tidak mempunyai harapan lagi. Yang bisa diperbuat hanyalah meninggalkannya sendiri sembari mengingat kata-kata al-Qur'an, "Meskipun kau peringatkan mereka, mereka tak akan ingat."
Tetapi jika ia berkata bahwa kehidupan masa depan adalah suatu kebolehjadian, hanya bahwa doktrin itu penuh mengandung keraguan dan misteri, sehingga tidak mungkin untuk bisa memutuskan benarkah hal itu atau tidak, maka seseorang bisa berkata kepadanya, "Jika demikian, sebaiknya anda selesaikan baik-baik keraguan itu."
Imam al-Ghazali mengatakan misalkan anda sedang akan makan makanan, kemudian seseorang berkata kepada anda bahwa seekor ular telah meludahkan bisa ke dalamnya, maka mungkin sekali anda akan menahan diri dan lebih baik menahan kepedihan rasa lapar daripada memakannya, meskipun orang yang memberi informasi pada anda mungkin hanya bercanda atau berbohong belaka.
Atau misalkan anda sedang sakit dan seorang penulis syair berkata, "Beri saya satu dirham dan saya akan menulis sebuah puisi yang bisa kau ikatkan di lehermu, yang akan menyembuhkannya dari sakit."
Anda boleh jadi akan memberikan dirham yang dimintanya dengan harapan bisa mendapatkan manfaat jimat itu.
Atau jika seorang peramal berkata, "Pada saat bulan telah sampai ke suatu bentuk tertentu, minumlah obat ini dan itu dan engkau pun akan sembuh."
Meskipun mungkin anda sedikit sekali percaya pada astrologi, kemungkinan besar anda akan mencoba juga pengalaman itu dengan harapan bahwa orang itu benar.
Imam al-Ghazali mengingatkan tidakkah anda berpikir bahwa kebenaran yang bisa dipercaya juga terdapat dalam kata-kata nabi, para wali dan orang-orang suci, yang menyakinkan orang akan adanya kehidupan mendatang, sebagaimana janji seorang penulis jampi-jampi atau seorang peramal.
Orang berani melakukan perjalanan lewat laut yang penuh risiko demi mengharap suatu keuntungan, maka tidak maukah anda menanggung sedikir penderitaan di masa sekarang demi kebahagiaan abadi di akhirat?
Sayyidina Ali Zainal Abidin (Putra Hesain bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW) ketika berdebat dengan seorang kafir pernah berkata, "Jika anda benar, maka tidak seorang pun di antara kita yang akan menderita keadaan yang lebih buruk di masa depan. Tetapi jika kami yang benar, maka kami akan terhindar dan anda akan menderita."
Hal ini dikatakannya bukan karena ia sendiri berada dalam keraguan, tetapi hanya demi menciptakan suatu kesan bagi orang kafir itu.
Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa urusan utama manusia di dunia ini adalah untuk mempersiapkan diri bagi dunia yang akan datang. Sekalipun jika ia ragu-ragu tentang kemaujudan masa depan, nalar mengajarkan bahwa ia harus bertindak seakan-akan hal itu ada dengan mempertimbangkan akibat luar biasa yang mungkin terjadi. Keselamatan atas orang-orang yang mengikuti ajaran-ajaran Allah.
Dalam bukunya berjudul "The Alchemy of Happiness" dan diterjemahkan Haidar Bagir menjadi " Kimia Kebahagiaan ", Imam al-Ghazali menjelaskan dalam tahap yang pertama ia seperti seekor rayap yang, meskipun memiliki penglihatan, tak punya kemampuan mengingat dan akan menghapuskan dirinya terus-menerus pada lilin yang sama.
Tahap kedua, ia seperti seekor anjing yang, setelah sekali digigit, akan lari ketika melihat sebatang rotan pemukul.
Pada tahap ketiga, ia seperti seekor kuda atau domba yang, secara instingtif, terbang seketika tatkala melihat seekor macan atau srigala - musuh-musuh alaminya - sementara mereka tak akan lari jika melihat seekor unta atau kerbau, meskipun kedua binatang ini lebih besar ukurannya.
Di dalam tahap yang keempat manusia sama sekali mengatasi batas-batas binatang itu sehingga mampu, sampai batas tertentu, meramalkan dan mempersiapkan diri bagi masa depan.
Gerakan-gerakannya pada mulanya bisa dibandingkan dengan berjalan biasa di atas tanah, kemudian menyeberangi laut dengan sebuah kapal, kemudian pada pendaratan keempat - ketika ia sudah akrab dengan hakikat-hakikat - berjalan di atas air.
Sementara itu, di balik dataran ini masih ada dataran kelima yang dikenal oleh para nabi dan wali yang bisa dibandingkan dengan terbang mengarungi udara.
Jadi, kata Imam al-Ghazali, manusia punya kemampuan untuk dada pada berbagai dataran yang berbeda, mulai dari dataran hewaniah sampai dataran malaikat. Dan persis dalam hal inilah terletak bahayanya, yaitu dari kemungkinan jatuh ke dataran yang paling rendah.
Di dalam al-Qur'an tertulis, "Telah Kami tawarkan (yaitu tanggung jawab atau kehendak bebas) kepada lelangit dan bumi serta gunung-gunung; mereka menolak untuk menanggungnya. Tetapi manusia mau mananggungnya. Sesungguhnya manusia itu bodoh."
"Tidak hewan tidak pula malaikat bisa mengubah tingkat dan tempat ia ditempatkan," ujar Imam al-Ghazali. "Tetapi seseorang bisa tenggelam ke dataran hewaniah atau terbang ke dataran malaikat, dan inilah arti dari 'penanggungan beban' sebagaimana disebutkan di atas oleh al-Qur'an," jelasnya.
Menurut Imam al-Ghazali, sebagian besar manusia memilih untuk berada di dua tahap terendah tersebut di atas, dan yang tetap tinggal biasanya selalu bersikap bermusuhan dengan orang yang bepergian atau musafir yang jumlahnya jauh lebih sedikit.
Temuan Ahli Ilmu Kalam
Banyak orang dari kelas yang disebut terdahulu, karena tidak memiliki keyakinan yang teguh tentang dunia yang akan datang, ketika dikuasai oleh nafsu-nafsu inderawi, menolaknya sama sekali.
Mereka berkata bahwa neraka adalah suatu temuan para ahli ilmu kalam belaka untuk menakut-nakuti orang. Mereka memandang para ahli ilmu kalam dengan penghinaan terbuka. "Berdebat dengan orang-orang seperti ini sedikit sekali manfaatnya. Meskipun demikian, ada yang bisa dikatakan pada orang yang seperti ini yang mungkin bisa membuatnya berhenti dan merenung," ujar Imam al-Ghazali.
"Benarkah anda sungguh-sungguh berpikir bahwa 124.000 nabi dan wali yang percaya pada kehidupan masa akan datang semuanya salah dan anda, yang menolaknya, benar?" Jika ia menjawab, "Ya," saya sedemikian yakin - sebagaimana saya yakin bahwa dua lebih besar daripada satu - bahwasanya jiwa dan kehidupan masa depan dalam bentuk kebahagiaan maupun hukuman itu tidak ada, maka manusia seperti itu sudah tidak mempunyai harapan lagi. Yang bisa diperbuat hanyalah meninggalkannya sendiri sembari mengingat kata-kata al-Qur'an, "Meskipun kau peringatkan mereka, mereka tak akan ingat."
Tetapi jika ia berkata bahwa kehidupan masa depan adalah suatu kebolehjadian, hanya bahwa doktrin itu penuh mengandung keraguan dan misteri, sehingga tidak mungkin untuk bisa memutuskan benarkah hal itu atau tidak, maka seseorang bisa berkata kepadanya, "Jika demikian, sebaiknya anda selesaikan baik-baik keraguan itu."
Imam al-Ghazali mengatakan misalkan anda sedang akan makan makanan, kemudian seseorang berkata kepada anda bahwa seekor ular telah meludahkan bisa ke dalamnya, maka mungkin sekali anda akan menahan diri dan lebih baik menahan kepedihan rasa lapar daripada memakannya, meskipun orang yang memberi informasi pada anda mungkin hanya bercanda atau berbohong belaka.
Atau misalkan anda sedang sakit dan seorang penulis syair berkata, "Beri saya satu dirham dan saya akan menulis sebuah puisi yang bisa kau ikatkan di lehermu, yang akan menyembuhkannya dari sakit."
Anda boleh jadi akan memberikan dirham yang dimintanya dengan harapan bisa mendapatkan manfaat jimat itu.
Atau jika seorang peramal berkata, "Pada saat bulan telah sampai ke suatu bentuk tertentu, minumlah obat ini dan itu dan engkau pun akan sembuh."
Meskipun mungkin anda sedikit sekali percaya pada astrologi, kemungkinan besar anda akan mencoba juga pengalaman itu dengan harapan bahwa orang itu benar.
Imam al-Ghazali mengingatkan tidakkah anda berpikir bahwa kebenaran yang bisa dipercaya juga terdapat dalam kata-kata nabi, para wali dan orang-orang suci, yang menyakinkan orang akan adanya kehidupan mendatang, sebagaimana janji seorang penulis jampi-jampi atau seorang peramal.
Orang berani melakukan perjalanan lewat laut yang penuh risiko demi mengharap suatu keuntungan, maka tidak maukah anda menanggung sedikir penderitaan di masa sekarang demi kebahagiaan abadi di akhirat?
Sayyidina Ali Zainal Abidin (Putra Hesain bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW) ketika berdebat dengan seorang kafir pernah berkata, "Jika anda benar, maka tidak seorang pun di antara kita yang akan menderita keadaan yang lebih buruk di masa depan. Tetapi jika kami yang benar, maka kami akan terhindar dan anda akan menderita."
Hal ini dikatakannya bukan karena ia sendiri berada dalam keraguan, tetapi hanya demi menciptakan suatu kesan bagi orang kafir itu.
Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa urusan utama manusia di dunia ini adalah untuk mempersiapkan diri bagi dunia yang akan datang. Sekalipun jika ia ragu-ragu tentang kemaujudan masa depan, nalar mengajarkan bahwa ia harus bertindak seakan-akan hal itu ada dengan mempertimbangkan akibat luar biasa yang mungkin terjadi. Keselamatan atas orang-orang yang mengikuti ajaran-ajaran Allah.
(mhy)