Guru Spiritual di Balik Sukses Penaklukan Konstantinopel
Kamis, 16 Juli 2020 - 08:08 WIB
SETELAH penaklukan Konstantinopel yang terjadi pada tanggal 29 Mei 1435 M, Sultan Muhammad Al-Fatih tampak duduk santai bersama Syaikh Aaq Syamsuddin, salah seorang gurunya.
Muhammad Al-Fatih memiliki kesan tersendiri tentang gurunya yang satu ini. Karena beliaulah yang menggembleng dirinya untuk menaklukkan Konstantinopel. Beliau pula yang memacu semangatnya ketika dirinya sudah nyaris patah arang..
Lebih dari itu, jauh sebelum itu, beliaulah guru yang berani membentak dan memukul dirinya. Pada suatu ketika Sang Guru memukul Al-Fatih sehingga membuatnya marah. “Berani-beraninya memukul aku! Akan aku sampaikan kepada Sultan, apa yang kau lakukan padaku.”
“Panggil ayahmu. Mana Sultan?” balas Syaikh Aaq Syamsuddin tanpa rasa takut.
Inilah yang sangat berkesan, sehingga ketika selesai penaklukan Konstantinopel itu, Muhammad Al Fatih bertanya, “Mengapa engkau memukul aku, pada satu kasus aku tidak layak dipukul keras?”
Syaikh Aaq Syamsuddin pun menjawab, “Aku ingin mengajarkan padamu, bagaimana sakitnya dizalimi orang dan aku juga ingin mengajarkan kepadamu, bagaimana kezaliman itu menyesatkan. Sesuatu yang tidak nyaman." Serelah memperbaiki duduknya, Syaikh balik bertanya, "Lalu sekarang aku bertanya kepadamu wahai Muhammad, tahukah kamu rasanya setelah menaklukkan Konstantinopel?”
SultanMuhammad Al Fatih mengapungkan senyum di bibirnya sembari menatap gurunya. “Syaikh, aku baru merasakan, apa yang setiap pagi engkau lakukan pada diriku, mengajakku ke tepian pantai,” jawabnya tanpa melepas senyumnya.
Ya, Syaikh Aaq Syamsuddin setiap pagi selalu mengajak Muhammad Al-Fatih ke tepian pantai di selat Bosporus. Sambil menatap Konstantinopel, sebuah benteng Bizantium yang berabad-abad menjadi kota besar bangsa Romawi, Sang Guru mengatakan kepada Muhammad. “ Rasulullah bersabda, sungguh! Konstantinopel akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin (yang menaklukkan)-nya dan sebaik-baik tentara adalah tentaranya,” ujar Syaikh Aaq mengutip hadis Rasulullah SAW. “Dan aku ingin, Engkaulah orangnya wahai Muhammad,” lanjutnya serius.
Kalimat itulah yang selalu diucapkan oleh Syeikh Aaq Syamsuddin kepada Muhammad Al Fatih. Terbukti, Syaikh Aaq Syamsuddin mampu meyakinkan pangeran kecil itu bahwa dialah yang dimaksud dengan hadis Nabi tersebut.
“Aku merasakan setiap pagi di tepian pantai yang kau katakan itu menjadi tummuhat, yaitu ambisi yang besar,” kenang Muhammad Al Fatih.
Sesungguhnya watak orang-orang beriman tidak pernah kehabisan tummuhat. Tidak pernah kehabisan Ambisi. Orang-orang yang beriman sangat yakin sekali bahwa apa yang terjadi di sekitarnya adalah karena kehendak Allah SWT.
Muhammad Al Fatih menyimpan apa yang didapatkan dari gurunya, terabadikan dalam dirinya untuk bisa menyelesaikan keinginan yang kuat itu dilestarikan pada dirinya itu.
Peran Guru
Prof. Dr. Ali Muhammad AshShalabi, dalam Muhammad Al-Fatih Sang Penakluk menyebutkan, Syaikh Aaq Syamsuddin mengajarkan ilmu-ilmu mendasar kepada Sultan Muhammad Al-Fatih. Ilmu-ilmu tersebut adalah Al-Qur’an, As-Sunnah An-Nabawiyah, fikih, ilmu-ilmu keislaman, dan beberapa bahasa (Arab, Persia, dan Turki).
Dia juga mengajarkan ilmu matematika, astronomi, sejarah, dan seni berperang. Syaikh Aaq Syamsuddin termasuk salah satu ulama yang membimbing Sultan Muhammad Al-Fatih ketika berkuasa di Magnesia untuk belajar administrasi pemerintahan dan tata negara.
Syaikh Aaq Syamsudin adalah seorang ulama yang sangat termasyur pada zamannya, yang nasab keturunan ulama ini bersambung dengan khalifah Abu Bakar AshSiddiq. Beliau adalah ulama tasawuf berasal dari negeri Syam.
Nama lengkap beliau Muhammad bin Hamzah al Dimasyqi al Rumi, dilahirkan dikota Damaskus, Syria, pada 792H/1389 M dan meninggal pada tahun 863 H/1459 M.
Syaikh Aaq Syamsudin senantiasa mendampingi Muhammad dalam penaklukan ini. Muhammad Al-Fatih sempat nyaris putus asa ketika dengan berbagai cara Konstantinopel sulit ditaklukkan.
Pengepungan benteng konstantinopel memakan waktu 54 hari. Banyak korban dari tentara Utsmani yang meninggal dunia. Para pejabat militer juga hampir putus asa.
Pasukan Byzantum sempat meraih kemenangan sementara. Penduduk Byzantium pun bersuka cita dengan kedatangan empat kapal perang yang dikirimkan Paus kepada mereka. Semangat perang mereka meningkat. Ketika itu, para pemimpin pasukan dan menteri Utsmani mengadakan pertemuan.
Mereka lalu mendatangi Sultan Muhammad Al-Fatih dan mengatakan, “Sesungguhnya Anda telah menggerakkan sejumlah besar pasukan Utsmani untuk melakukan pengepungan ini karena menuruti perkataan salah seorang syaikh (maksud mereka adalah Syaikh Aaq Syamsuddin). Banyak tentara binasa dan peralatan perang pun rusak. Bahkan lebih dari itu, datanglah kemudian bantuan dari negara-negara Eropa untuk orang-orang kafir yang berada di dalam benteng. Keinginan untuk menaklukkan Konstantinopel belum bisa diperkirakan.”
Sultan Muhammad Al-Fatih kemudian mengutus seorang menterinya, Waliyuddin Ahmad Pasha kepada Syaikh Aaq Syamsuddin di kemahnya untuk menanyakan solusi masalah tadi. Syaikh menjawab, “Pasti Allah akan mengabulkan penaklukkan ini.”
Sultan tidak puas dengan jawaban ini. Dia mengutus menterinya sekali lagi untuk memohon Syaikh Aaq Syamsuddin menjelaskan lebih banyak. Syaikh kemudian menuliskan surat kepada muridnya, Muhammad Al-Fatih.
Surat itu berbunyi, “Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha memberi kemuliaan dan kemenangan bagi beberapa orang muslim, kedatangan bantuan kapal perang itu telah menimbulkan patah hati dan cercaan. Sebaliknya bagi orang-orang kafir, peristiwa tersebut menimbulkan perasaan senang dan gembira. Yang pasti, seorang hamba hanya bisa merencanakan, Allah-lah yang menentukan. Keputusan ada di tangan Allah, ketika telah berserah diri kepada Allah dan telah membaca Al-Qur’an. Semua itu tidak lain adalah seperti rasa kantuk. Kelembutan Allah Ta’ala telah terjadi sehingga muncullah berita-berita gembira yang belum pernah terjadi sebelumnya.”
Wejangan Aaq Syamsuddin dalam suratnya ini menimbulkan perasaan tenang dan tenteram di dalam hati para pemimpin pasukan dan tentara Utsmani. Dengan segera, dewan para Utsamani memutuskan agar peperangan untuk menaklukkan Konstantinopel dilanjutkan.
Sultan Muhammad akhirnya mendatangi kemah Aaq Syamsuddin. Dia mencium tangan gurunya. Lantas, dia berkata, ‘Wahai guruku! Ajari saya sebuah doa agar saya bisa berdoa kepada Allah dengannya supaya Dia memberikan taufik kepadaku.”
Syaikh Aaq Syamsuddin lalu mengajarinya sebuah doa. Kemudian, Sultan keluar dari kemah gurunya untuk memerintahkan pasukannya melakukan serangan umum.
Sultan menginginkan agar gurunya itu berada di sampingnya ketika melakukan serangan. Oleh karena itu, dia mengutus seseorang untuk memanggilnya. Akan tetapi, Syaikh Aaq Syamsuddin telah memerintahkan para penjaga kemah untuk melarang seorang pun memasuki kemahnya. Para penjaga kemah itu juga melarang utusan Sultan memasuki kemah.
Sultan Muhammad Al-Fathi pun marah. Kemudian, dia pergi sendiri ke kemah Syaikh Aaq Syamsuddin untuk memanggilnya. Para penjaga kemah melarang Sultan untuk memasuki kemah berdasarkan perintah Syaikh Aaq Syamsuddin.
Sultan mengambil belatinya dan menyobek salah satu bagian dinding kemah. Dia lalu melihat ke dalam kemah. Ternyata gurunya sedang bersujud kepada Allah sangat lama. Sorbannya sampai terlepas dari kepalanya dan rambutnya memantul cahaya.
Sultan melihat gurunya bangkit dari sujudnya dengan berlinangan air mata di kedua pipinya. Dia bermunajat dan berdoa kepada Allah agar menurunkan pertolongan dan memberi kemenangan dalam waktu dekat.
Menyaksikan hal yang demikian itu, Sultan Muhammad Al-Fatih kembali ke markas komandonya. Dia melihat pagar-pagar Konstantinopel yang terkepung. Pasukan Utsmani telah mampu membuat celah di pagar-pagar itu.
Dari tempat ini, pasukan Utsmani ‘membanjir’ ke dalam kota Konstantinopel. Sultan merasa sangat gembira dengan peristiwa itu.
Dia berkata, “kegembiraanku bukan karena penaklukan kota Konstantinopel. Akan tetapi, kegembiraanku adalah karena adanya laki-laki ini pada zamanku.”
Dalam buku Al-Badr Ath-Thali’, Asy-Syaukani menyebutkan bahwa berkah dan keutamaan Syaikh Aaq Syamsuddin terlihat jelas. Dia menentukan kepada Sultan Muhammad Al-Fatih hari penaklukkan Konstantinopel oleh tangannya.
Tatkala pasukan Utsmani membanjiri kota Konstantinopel dengan penuh kekuatan dan semangat, Syaikh Aaq Syamsuddin menghadap Sultan Muhammad Al-Fatih untuk mengingatkannya mengenai peraturan Allah dalam peperangan dan hak-hak bangsa yang ditaklukkan seperti yang terdapat dalam syariat Islam.
Sultan Muhammad Al-Fatih memuliakan para tentara muslim yang telah menaklukkan Konstantinopel dengan memberi mereka hadiah. Dia mengadakan perjamuan dan pesta yang berlangsung selama tiga hari. Tempat-tempat umum dihias dengan indah. Sultan sendiri yang melayani para tentara itu sebagai pelaksanaan sabda Nabi Muhammad, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.”
Kemudian Syaikh yang alim dan wara’ tersebut, yaitu Syaikh Aaq Syamsuddin, bangkit menyampaikan pidato di hadapan mereka.
“Wahai tentara Islam! Ketahuilah dan ingatlah bahwa Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda mengenai kondisi kalian: ‘Sungguh, Konstantinopel akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin (yang menaklukkan)nya dan sebaik-baik tentara adalah tentaranya.’ Kita memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala semoga Dia memberi kita taufik dan mengampuni kita. Ingatlah, kalian tidak boleh berlebih-lebihan terhadap harta ghanimah yang kalian dapatkan. Kalian tidak boleh menghambur-hamburkannya. Gunakanlah harta tersebut untuk urusan kebaikan penduduk kota ini. Dengarkan, taati, dan cintailah Sultan kalian.”
Kemudian Syaikh Aaq Syamsuddin menoleh kepada Sultan Muhammad Al-Fatih. Dia berkata, “Wahai Sultanku! Anda telah menjadi penyejuk mata keluarga Utsman. Oleh karena itu, jadilah selalu mujahid fi sabilillah.” Kemudian dia meneriakkan takbir dengan suara sangat keras.
Setelah penaklukkan Konstantinopel, Syaikh Aaq Syamsuddin menemukan kuburan seorang sahabat yang mulia, Abu Ayyub Al-Anshari r.a. di sebuah tempat dekat pagar-pagar kota itu.
Penakluk Spiritual
Syaikh Syamsuddin begitu terhormat di mata sang Sultan. Muhammad al-Fatih, meski menjadi sultan yang kekuasannya meluas hingga separoh negeri Eropa, tidak pernah meremehkan nasihat Syaikh.
Sang Syaikh pun tidak pernah menjadi penjilat, tidak pernah memberi penghormatan berlebihan. Ia tidak takut kecuali kepada Allah. Karena itu, setiap kali sultan datang menziarahi, Syaikh Syamsuddin tidak pernah berdiri dari tempat duduknya untuk menyambutnya.
Justru sebaliknya, ketika yang menziarahi Sultan, maka Sultan-lah yang berdiri untuk menyambut gurunya tersebut lalu mencium tangannya. Jasa Syaikh Syamsuddin sangatlah besar untuk kesultanan Utsmani dan sultan al-Fatih. Beliau mendidik Sultan dengan dua hal besar: Pertama, melipatgandakan semangat gerakan jihad di dalam Dinasti Utsmani. Kedua, terus-menerus menanamkan dalam diri sultan Muhammad sejak kecil bahwa dialah yang dimaksudkan dalam hadis Nabi SAW itu.
Para ahli sejarah mengatakan bahwa Syaikh Syamsuddin itulah Sang Penakluk bagi konstantinopel. Dr. Al Shalabi bahkan menobatkan tokoh ini sebagai figur penting dibalik penaklukan konstantinopel. ( )
Bila Muhammad II adalah penakluk konstantinopel secara fisik dan geografis , maka Syaikh Aaq Syamsuddin -mewakili ulama Islam- adalah penakluk spritualnya. Dialah yang telah mengajarkan kepada Al-Fatih berbagai ilmu, baik ilmu setrategi perang maupun ilmu falak, sejarah dan matematika.
Selain Syaikh Aaq Syamsuddin, guru yang turut membentuk kepribadian dan karakter Muhammad Al-Fatih adalah Syaikh Ahmad Kurani. Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Ismail Al-Kurani, seorang ulama Kurdi. ( )
Beliau adalah salah satu tokoh yang memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter awal Muhammad Al Fatih. Beliau adalah pengajarnya di masa pemerintahan Sultan Murad II, ayah Muhammad Al Fatih.
Pada masa kanak-kanak, Muhammad bukanlah anak yang mudah untuk menerima pelajaran. Bukan karena bodoh tetapi disebabkan dia tidak pernah mau menaati guru-gurunya.
Banyak guru yang didatangkan oleh sang ayah untuk mendidiknya, namun banyak yang mengalami kegagalan, hingga akhirnya Sultan Murad II mendatangkan Syaikh Ahmad al Kurani. Beliau adalah seorang guru yang memiliki kharisma yang tinggi serta memiliki sikap yang tegas. ( )
Sultan Murad membekali Syaikh Ahmad al Kurani dengan sebilah kayu untuk digunakan jika diperlukan. Pada pertemuan pertama, Al Kurani mengajar Muhammad al Fatih dengan membawa sebilah kayu tersebut. “Ini pemberian Sultan untuk memukulmu jika kamu tidak disiplin saat belajar,” ujar Syaikh al-Kurani.
Mendengar itu, Muhammad al Fatih malah tertawa. Seketika itu juga Syaikh Kurani memukul Muhammad dengan keras. Muhammad al-Fatih pun terkejut bukan kepalang. Dia tidak menyangka guru barunya benar-benar memukulnya. ( )
Sejak saat itu Muhammad Al Fatih mengalami perubahan yang sangat signifikan. Dia menjadi anak yang patuh dan hormat terhadap gurunya dan mulai belajar dengan serius.
Di tangan Kurani inilah awal perubahan sikap Muhammad Al Fatih terjadi. Muhammad tumbuh menjadi pemuda yang keras kemauannya dan serius dalam mewujudkan keinginannya.
Syaikh al Kurani dikenal tegas terhadap penguasa ketika melanggar syari’at. Beliau memanggil penguasa dengan namanya langsung bukan gelarnya, berjabat tangan dan tidak mencium tangannya akan tetapi sang penguasalah yang mencium tangannya. Oleh karena itu, tidaklah aneh jika dari tangan-tangan mereka lahir orang-orang besar seperti Muhammad al Fatih. ( )
Muhammad Al-Fatih memiliki kesan tersendiri tentang gurunya yang satu ini. Karena beliaulah yang menggembleng dirinya untuk menaklukkan Konstantinopel. Beliau pula yang memacu semangatnya ketika dirinya sudah nyaris patah arang..
Lebih dari itu, jauh sebelum itu, beliaulah guru yang berani membentak dan memukul dirinya. Pada suatu ketika Sang Guru memukul Al-Fatih sehingga membuatnya marah. “Berani-beraninya memukul aku! Akan aku sampaikan kepada Sultan, apa yang kau lakukan padaku.”
“Panggil ayahmu. Mana Sultan?” balas Syaikh Aaq Syamsuddin tanpa rasa takut.
Inilah yang sangat berkesan, sehingga ketika selesai penaklukan Konstantinopel itu, Muhammad Al Fatih bertanya, “Mengapa engkau memukul aku, pada satu kasus aku tidak layak dipukul keras?”
Syaikh Aaq Syamsuddin pun menjawab, “Aku ingin mengajarkan padamu, bagaimana sakitnya dizalimi orang dan aku juga ingin mengajarkan kepadamu, bagaimana kezaliman itu menyesatkan. Sesuatu yang tidak nyaman." Serelah memperbaiki duduknya, Syaikh balik bertanya, "Lalu sekarang aku bertanya kepadamu wahai Muhammad, tahukah kamu rasanya setelah menaklukkan Konstantinopel?”
SultanMuhammad Al Fatih mengapungkan senyum di bibirnya sembari menatap gurunya. “Syaikh, aku baru merasakan, apa yang setiap pagi engkau lakukan pada diriku, mengajakku ke tepian pantai,” jawabnya tanpa melepas senyumnya.
Ya, Syaikh Aaq Syamsuddin setiap pagi selalu mengajak Muhammad Al-Fatih ke tepian pantai di selat Bosporus. Sambil menatap Konstantinopel, sebuah benteng Bizantium yang berabad-abad menjadi kota besar bangsa Romawi, Sang Guru mengatakan kepada Muhammad. “ Rasulullah bersabda, sungguh! Konstantinopel akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin (yang menaklukkan)-nya dan sebaik-baik tentara adalah tentaranya,” ujar Syaikh Aaq mengutip hadis Rasulullah SAW. “Dan aku ingin, Engkaulah orangnya wahai Muhammad,” lanjutnya serius.
Kalimat itulah yang selalu diucapkan oleh Syeikh Aaq Syamsuddin kepada Muhammad Al Fatih. Terbukti, Syaikh Aaq Syamsuddin mampu meyakinkan pangeran kecil itu bahwa dialah yang dimaksud dengan hadis Nabi tersebut.
“Aku merasakan setiap pagi di tepian pantai yang kau katakan itu menjadi tummuhat, yaitu ambisi yang besar,” kenang Muhammad Al Fatih.
Sesungguhnya watak orang-orang beriman tidak pernah kehabisan tummuhat. Tidak pernah kehabisan Ambisi. Orang-orang yang beriman sangat yakin sekali bahwa apa yang terjadi di sekitarnya adalah karena kehendak Allah SWT.
Muhammad Al Fatih menyimpan apa yang didapatkan dari gurunya, terabadikan dalam dirinya untuk bisa menyelesaikan keinginan yang kuat itu dilestarikan pada dirinya itu.
Peran Guru
Prof. Dr. Ali Muhammad AshShalabi, dalam Muhammad Al-Fatih Sang Penakluk menyebutkan, Syaikh Aaq Syamsuddin mengajarkan ilmu-ilmu mendasar kepada Sultan Muhammad Al-Fatih. Ilmu-ilmu tersebut adalah Al-Qur’an, As-Sunnah An-Nabawiyah, fikih, ilmu-ilmu keislaman, dan beberapa bahasa (Arab, Persia, dan Turki).
Dia juga mengajarkan ilmu matematika, astronomi, sejarah, dan seni berperang. Syaikh Aaq Syamsuddin termasuk salah satu ulama yang membimbing Sultan Muhammad Al-Fatih ketika berkuasa di Magnesia untuk belajar administrasi pemerintahan dan tata negara.
Syaikh Aaq Syamsudin adalah seorang ulama yang sangat termasyur pada zamannya, yang nasab keturunan ulama ini bersambung dengan khalifah Abu Bakar AshSiddiq. Beliau adalah ulama tasawuf berasal dari negeri Syam.
Nama lengkap beliau Muhammad bin Hamzah al Dimasyqi al Rumi, dilahirkan dikota Damaskus, Syria, pada 792H/1389 M dan meninggal pada tahun 863 H/1459 M.
Syaikh Aaq Syamsudin senantiasa mendampingi Muhammad dalam penaklukan ini. Muhammad Al-Fatih sempat nyaris putus asa ketika dengan berbagai cara Konstantinopel sulit ditaklukkan.
Pengepungan benteng konstantinopel memakan waktu 54 hari. Banyak korban dari tentara Utsmani yang meninggal dunia. Para pejabat militer juga hampir putus asa.
Pasukan Byzantum sempat meraih kemenangan sementara. Penduduk Byzantium pun bersuka cita dengan kedatangan empat kapal perang yang dikirimkan Paus kepada mereka. Semangat perang mereka meningkat. Ketika itu, para pemimpin pasukan dan menteri Utsmani mengadakan pertemuan.
Mereka lalu mendatangi Sultan Muhammad Al-Fatih dan mengatakan, “Sesungguhnya Anda telah menggerakkan sejumlah besar pasukan Utsmani untuk melakukan pengepungan ini karena menuruti perkataan salah seorang syaikh (maksud mereka adalah Syaikh Aaq Syamsuddin). Banyak tentara binasa dan peralatan perang pun rusak. Bahkan lebih dari itu, datanglah kemudian bantuan dari negara-negara Eropa untuk orang-orang kafir yang berada di dalam benteng. Keinginan untuk menaklukkan Konstantinopel belum bisa diperkirakan.”
Sultan Muhammad Al-Fatih kemudian mengutus seorang menterinya, Waliyuddin Ahmad Pasha kepada Syaikh Aaq Syamsuddin di kemahnya untuk menanyakan solusi masalah tadi. Syaikh menjawab, “Pasti Allah akan mengabulkan penaklukkan ini.”
Sultan tidak puas dengan jawaban ini. Dia mengutus menterinya sekali lagi untuk memohon Syaikh Aaq Syamsuddin menjelaskan lebih banyak. Syaikh kemudian menuliskan surat kepada muridnya, Muhammad Al-Fatih.
Surat itu berbunyi, “Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha memberi kemuliaan dan kemenangan bagi beberapa orang muslim, kedatangan bantuan kapal perang itu telah menimbulkan patah hati dan cercaan. Sebaliknya bagi orang-orang kafir, peristiwa tersebut menimbulkan perasaan senang dan gembira. Yang pasti, seorang hamba hanya bisa merencanakan, Allah-lah yang menentukan. Keputusan ada di tangan Allah, ketika telah berserah diri kepada Allah dan telah membaca Al-Qur’an. Semua itu tidak lain adalah seperti rasa kantuk. Kelembutan Allah Ta’ala telah terjadi sehingga muncullah berita-berita gembira yang belum pernah terjadi sebelumnya.”
Wejangan Aaq Syamsuddin dalam suratnya ini menimbulkan perasaan tenang dan tenteram di dalam hati para pemimpin pasukan dan tentara Utsmani. Dengan segera, dewan para Utsamani memutuskan agar peperangan untuk menaklukkan Konstantinopel dilanjutkan.
Sultan Muhammad akhirnya mendatangi kemah Aaq Syamsuddin. Dia mencium tangan gurunya. Lantas, dia berkata, ‘Wahai guruku! Ajari saya sebuah doa agar saya bisa berdoa kepada Allah dengannya supaya Dia memberikan taufik kepadaku.”
Syaikh Aaq Syamsuddin lalu mengajarinya sebuah doa. Kemudian, Sultan keluar dari kemah gurunya untuk memerintahkan pasukannya melakukan serangan umum.
Sultan menginginkan agar gurunya itu berada di sampingnya ketika melakukan serangan. Oleh karena itu, dia mengutus seseorang untuk memanggilnya. Akan tetapi, Syaikh Aaq Syamsuddin telah memerintahkan para penjaga kemah untuk melarang seorang pun memasuki kemahnya. Para penjaga kemah itu juga melarang utusan Sultan memasuki kemah.
Sultan Muhammad Al-Fathi pun marah. Kemudian, dia pergi sendiri ke kemah Syaikh Aaq Syamsuddin untuk memanggilnya. Para penjaga kemah melarang Sultan untuk memasuki kemah berdasarkan perintah Syaikh Aaq Syamsuddin.
Sultan mengambil belatinya dan menyobek salah satu bagian dinding kemah. Dia lalu melihat ke dalam kemah. Ternyata gurunya sedang bersujud kepada Allah sangat lama. Sorbannya sampai terlepas dari kepalanya dan rambutnya memantul cahaya.
Sultan melihat gurunya bangkit dari sujudnya dengan berlinangan air mata di kedua pipinya. Dia bermunajat dan berdoa kepada Allah agar menurunkan pertolongan dan memberi kemenangan dalam waktu dekat.
Menyaksikan hal yang demikian itu, Sultan Muhammad Al-Fatih kembali ke markas komandonya. Dia melihat pagar-pagar Konstantinopel yang terkepung. Pasukan Utsmani telah mampu membuat celah di pagar-pagar itu.
Dari tempat ini, pasukan Utsmani ‘membanjir’ ke dalam kota Konstantinopel. Sultan merasa sangat gembira dengan peristiwa itu.
Dia berkata, “kegembiraanku bukan karena penaklukan kota Konstantinopel. Akan tetapi, kegembiraanku adalah karena adanya laki-laki ini pada zamanku.”
Dalam buku Al-Badr Ath-Thali’, Asy-Syaukani menyebutkan bahwa berkah dan keutamaan Syaikh Aaq Syamsuddin terlihat jelas. Dia menentukan kepada Sultan Muhammad Al-Fatih hari penaklukkan Konstantinopel oleh tangannya.
Tatkala pasukan Utsmani membanjiri kota Konstantinopel dengan penuh kekuatan dan semangat, Syaikh Aaq Syamsuddin menghadap Sultan Muhammad Al-Fatih untuk mengingatkannya mengenai peraturan Allah dalam peperangan dan hak-hak bangsa yang ditaklukkan seperti yang terdapat dalam syariat Islam.
Sultan Muhammad Al-Fatih memuliakan para tentara muslim yang telah menaklukkan Konstantinopel dengan memberi mereka hadiah. Dia mengadakan perjamuan dan pesta yang berlangsung selama tiga hari. Tempat-tempat umum dihias dengan indah. Sultan sendiri yang melayani para tentara itu sebagai pelaksanaan sabda Nabi Muhammad, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.”
Kemudian Syaikh yang alim dan wara’ tersebut, yaitu Syaikh Aaq Syamsuddin, bangkit menyampaikan pidato di hadapan mereka.
“Wahai tentara Islam! Ketahuilah dan ingatlah bahwa Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda mengenai kondisi kalian: ‘Sungguh, Konstantinopel akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin (yang menaklukkan)nya dan sebaik-baik tentara adalah tentaranya.’ Kita memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala semoga Dia memberi kita taufik dan mengampuni kita. Ingatlah, kalian tidak boleh berlebih-lebihan terhadap harta ghanimah yang kalian dapatkan. Kalian tidak boleh menghambur-hamburkannya. Gunakanlah harta tersebut untuk urusan kebaikan penduduk kota ini. Dengarkan, taati, dan cintailah Sultan kalian.”
Kemudian Syaikh Aaq Syamsuddin menoleh kepada Sultan Muhammad Al-Fatih. Dia berkata, “Wahai Sultanku! Anda telah menjadi penyejuk mata keluarga Utsman. Oleh karena itu, jadilah selalu mujahid fi sabilillah.” Kemudian dia meneriakkan takbir dengan suara sangat keras.
Setelah penaklukkan Konstantinopel, Syaikh Aaq Syamsuddin menemukan kuburan seorang sahabat yang mulia, Abu Ayyub Al-Anshari r.a. di sebuah tempat dekat pagar-pagar kota itu.
Penakluk Spiritual
Syaikh Syamsuddin begitu terhormat di mata sang Sultan. Muhammad al-Fatih, meski menjadi sultan yang kekuasannya meluas hingga separoh negeri Eropa, tidak pernah meremehkan nasihat Syaikh.
Sang Syaikh pun tidak pernah menjadi penjilat, tidak pernah memberi penghormatan berlebihan. Ia tidak takut kecuali kepada Allah. Karena itu, setiap kali sultan datang menziarahi, Syaikh Syamsuddin tidak pernah berdiri dari tempat duduknya untuk menyambutnya.
Justru sebaliknya, ketika yang menziarahi Sultan, maka Sultan-lah yang berdiri untuk menyambut gurunya tersebut lalu mencium tangannya. Jasa Syaikh Syamsuddin sangatlah besar untuk kesultanan Utsmani dan sultan al-Fatih. Beliau mendidik Sultan dengan dua hal besar: Pertama, melipatgandakan semangat gerakan jihad di dalam Dinasti Utsmani. Kedua, terus-menerus menanamkan dalam diri sultan Muhammad sejak kecil bahwa dialah yang dimaksudkan dalam hadis Nabi SAW itu.
Para ahli sejarah mengatakan bahwa Syaikh Syamsuddin itulah Sang Penakluk bagi konstantinopel. Dr. Al Shalabi bahkan menobatkan tokoh ini sebagai figur penting dibalik penaklukan konstantinopel. ( )
Bila Muhammad II adalah penakluk konstantinopel secara fisik dan geografis , maka Syaikh Aaq Syamsuddin -mewakili ulama Islam- adalah penakluk spritualnya. Dialah yang telah mengajarkan kepada Al-Fatih berbagai ilmu, baik ilmu setrategi perang maupun ilmu falak, sejarah dan matematika.
Selain Syaikh Aaq Syamsuddin, guru yang turut membentuk kepribadian dan karakter Muhammad Al-Fatih adalah Syaikh Ahmad Kurani. Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Ismail Al-Kurani, seorang ulama Kurdi. ( )
Beliau adalah salah satu tokoh yang memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter awal Muhammad Al Fatih. Beliau adalah pengajarnya di masa pemerintahan Sultan Murad II, ayah Muhammad Al Fatih.
Pada masa kanak-kanak, Muhammad bukanlah anak yang mudah untuk menerima pelajaran. Bukan karena bodoh tetapi disebabkan dia tidak pernah mau menaati guru-gurunya.
Banyak guru yang didatangkan oleh sang ayah untuk mendidiknya, namun banyak yang mengalami kegagalan, hingga akhirnya Sultan Murad II mendatangkan Syaikh Ahmad al Kurani. Beliau adalah seorang guru yang memiliki kharisma yang tinggi serta memiliki sikap yang tegas. ( )
Sultan Murad membekali Syaikh Ahmad al Kurani dengan sebilah kayu untuk digunakan jika diperlukan. Pada pertemuan pertama, Al Kurani mengajar Muhammad al Fatih dengan membawa sebilah kayu tersebut. “Ini pemberian Sultan untuk memukulmu jika kamu tidak disiplin saat belajar,” ujar Syaikh al-Kurani.
Mendengar itu, Muhammad al Fatih malah tertawa. Seketika itu juga Syaikh Kurani memukul Muhammad dengan keras. Muhammad al-Fatih pun terkejut bukan kepalang. Dia tidak menyangka guru barunya benar-benar memukulnya. ( )
Sejak saat itu Muhammad Al Fatih mengalami perubahan yang sangat signifikan. Dia menjadi anak yang patuh dan hormat terhadap gurunya dan mulai belajar dengan serius.
Di tangan Kurani inilah awal perubahan sikap Muhammad Al Fatih terjadi. Muhammad tumbuh menjadi pemuda yang keras kemauannya dan serius dalam mewujudkan keinginannya.
Syaikh al Kurani dikenal tegas terhadap penguasa ketika melanggar syari’at. Beliau memanggil penguasa dengan namanya langsung bukan gelarnya, berjabat tangan dan tidak mencium tangannya akan tetapi sang penguasalah yang mencium tangannya. Oleh karena itu, tidaklah aneh jika dari tangan-tangan mereka lahir orang-orang besar seperti Muhammad al Fatih. ( )
(mhy)