Kisah Sufi: Orang yang Hanya Melihat Hal yang Kelihatan
Kamis, 16 Juli 2020 - 06:52 WIB
SEORANG Pencari Kebenaran, setelah mengadakan berbagai perjalanan, akhirnya menemukan seorang manusia yang tercerahkan, yang diberkahi kemampuan untuk memahami segala sesuatu, yang tidak dimiliki oleh semua orang.
Pencari itu berkata kepadanya, "Biarkan saya mengikuti Tuan agar saya bisa mempelajari kebenaran dengan mengamati yang Tuan lakukan."
Sang Bijak menjawab, "Kau tidak akan bisa memikulnya, sebab kau tidak mempunyai kesabaran untuk tetap berhubungan, secara tekun, dengan pola peristiwa-peristiwa. Kau akan mencoba bertindak dalam cara-cara yang kelihatan, alih-alih mempelajari pola tersebut."
Si Pencari pun berjanji akan berusaha bersabar dan belajar dari yang terjadi, tanpa bertindak sesuai dengan prasangka yang ada.
"Kau harus mematuhi syaratku," kata Sang Bijak, "yaitu kau tak boleh bertanya apa pun tentang setiap peristiwa sampai waktunya tiba dan saya sendiri yang menjawabnya."
Si Pencari itu berjanji sepenuh hati, dan mereka pun mengadakan perjalanan.
Yang mengherankan, ketika keduanya telah naik ke perahu yang akan membawa mereka menyeberangi sebuah sungai besar, Orang Bijak itu secara diam-diam melubangi dasar perahu dan menyebabkan kebocoran; tampaknya Sang Guru membalas pertolongan Si Nelayan dengan tindakan merusak.
Pemuda itu tak bisa menahan diri, katanya, "Orang-orang bisa tewas, perahu ini akan kemasukan air lalu tenggelam inikah kelakuan seorang bijaksana?"
"Bukankah sudah kukatakan," kata Sang Bijak enteng, "bahwa kau tidak akan bisa menghindari membuat kesimpulan?"
"Saya telah melupakan syarat itu," kata Si Pencari.
Dan ia pun meminta maaf atas kekhilafannya. Namun, hal itu sangat membingungkan bagi pemuda tersebut.
Perjalanan mereka pun berlanjut hingga keduanya sampai di sebuah negeri di mana mereka diterima dengan ramah, dijamu oleh raja negeri itu, yang menawarkan pergi berburu binatang bersamanya.
Putra raja yang masih kecil menunggang kuda bersama Sang Bijak. Ketika Orang Bijak dan Si Pencari tersebut terpisah dari rombongan lain oleh serumpun semak belukar pada akhir perburuan itu, Sang Guru pun berkata, "Lekas, ikuti aku secepat mungkin."
Dipatahkannya pergelangan kaki Pangeran Muda, dan ditinggalkannya ia di semak-semak, lalu bersicepat memacu kudanya melintasi perbatasan kerajaan itu.
Si Pencari sangat terkejut dan merasa bersalah telah menjadi bagian dari kejahatan tersebut. Sambil mengepalkan tinju, ia berseru, "Raja itu menerima dan memperbolehkan kita berkuda bersama anak dan pewaris kerajaannya, tetapi betapa buruk balasan yang diterimanya! Perbuatan macam apa itu? Sungguh tak layak dilakukan bahkan oleh orang yang paling jahat sekalipun!"
Orang Bijak itu hanya berpaling kepadanya dan berkata, "Teman, saya melakukan apa yang harus saya lakukan. Kau ini seorang pengamat; hanya sedikit orang seperti kau. Tetapi setelah mencapai kedudukan pengamat itu, tampaknya kau tidak bisa mempergunakannya, sebab kau selalu menilai dari prasangkamu. Sekali lagi, saya mengingatkan kau tentang janjimu."
"Saya tahu bahwa janji itulah yang membuatku bisa mengikutimu, dan bahwa janji itu mengikat," kata Si Pencari. "Oleh karena itu, saya mohon, maafkan saya sekali ini, tak mudah bagi saya menghentikan kebiasaan menyimpulkan lewat praduga-praduga. Kalau saya nanti bertanya lagi, kau boleh menyuruhku pergi."
Mereka pun melanjutkan perjalanan.
Ketika sampai di sebuah kota besar yang makmur, kedua pengembara itu meminta sedikit makanan, tetapi tak ada orang yang mau memberi, bahkan sisa santapan orang. Kemurahan hati tidak dikenal di kota itu, dan kewajiban suci untuk melayani tamu telah terlupakan. Sebaliknya, anjing-anjing liar mengkuti keduanya.
Ketika mereka mencapai pinggiran kota, dan merasa lapar, pusing, dan haus, tetuan Si Pencari itu berkata, "Kita singgah sebentar di dekat tembok kota ini; kita harus memperbaiki reruntuhannya."
Beberapa jam lamanya bekerja, mengaduk lumpur, jerami, dan air, sampai tembok itu kokoh kembali.
Si Pencari itu pun sangat letih sehingga melupakan tekadnya, katanya, "Kita tidak akan mendapat upah untuk perbaikan ini. Sudah dua kali kita balas kebaikan dengan kejahatan. Kini, kita beri kebaikan ganti kejahatan. Kesabaran saya sudah habis, dan tak bisa melanjutkan mengikuti Tuan." ( )
'"Tak usah cemas lagi," kata Orang Bijak itu, "ingat kata-katamu bahwa kalau kau bertanya sekali saja, saya boleh menyuruhmu pergi. Jalan kita terpisah di sini, masih banyak yang mesti kulakukan."
"Sebelum saya pergi, saya akan menjelaskan makna beberapa perbuatanku agar suatu hari nanti kau mungkin bisa kembali mengadakan perjalanan semacam ini."
"Perahu yang kulubangi itu terhindar dari penyitaan seorang tiran yang hendak merampas semua kapal untuk keperluan perang. Anak yang kakinya kupelintir, kini tak bisa tumbuh menjadi seorang perebut kuasa, atau bahkan mewarisi kerajaan itu, sebab Hukum menyatakan bahwa hanya orang berbadan utuh yang bisa memimpin negeri itu. Di kota yang dilingkupi kebencian ini, ada dua orang anak yatim piatu. Ketika anak-anak itu dewasa kelak, tembok itu akan ambruk lagi hingga terbukalah tempat penyimpanan harta karun yang terdapat di dalamnya; harta itu warisan leluhur mereka. Keduanya akan cukup kuat untuk mengambil harta itu dan memperbaiki seluruh kota tersebut; sebab hal itu merupakan takdir mereka."
"Sekarang, pergilah dengan damai. Kau dipecat." (
)
===
Idries Shah dalam Tales of The Dervishes yang diterjemahkan Ahmad Bahar dengan judul Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi menjelaskan kisah ini dituturkan lagi dan lagi pada Abad Pertengahan sebagai sebuah cerita Kristiani oleh para biarawan yang mempergunakan Gesta Romanorum sebagai sumber inspirasi untuk meningkatkan 'ketekunan'. ( )
Kisah ini juga dikatakan merupakan sumber ilham bagi Hermit, karangan Parnell. Paus mengatakan bahwa versi aslinya dari Bahasa Spanyol; dan meskipun kisah ini ditengarai merupakan sebuah kisah dari Timur, selama waktu yang lama, tampaknya tak ada ahli di Barat yang mengaitkannya dengan para Sufi; atau memperhatikan bahwa kemunculan pertamanya ada di dalam Al-Qur'an, Surat ke-18 (Al-Kahfi).
Konon, versi ini berasal dari Jan-Fishan Khan. (Baca juga: Kisah Bijak Para Sufi: Saudagar dan Darwis Kristen )
Pencari itu berkata kepadanya, "Biarkan saya mengikuti Tuan agar saya bisa mempelajari kebenaran dengan mengamati yang Tuan lakukan."
Sang Bijak menjawab, "Kau tidak akan bisa memikulnya, sebab kau tidak mempunyai kesabaran untuk tetap berhubungan, secara tekun, dengan pola peristiwa-peristiwa. Kau akan mencoba bertindak dalam cara-cara yang kelihatan, alih-alih mempelajari pola tersebut."
Si Pencari pun berjanji akan berusaha bersabar dan belajar dari yang terjadi, tanpa bertindak sesuai dengan prasangka yang ada.
"Kau harus mematuhi syaratku," kata Sang Bijak, "yaitu kau tak boleh bertanya apa pun tentang setiap peristiwa sampai waktunya tiba dan saya sendiri yang menjawabnya."
Si Pencari itu berjanji sepenuh hati, dan mereka pun mengadakan perjalanan.
Yang mengherankan, ketika keduanya telah naik ke perahu yang akan membawa mereka menyeberangi sebuah sungai besar, Orang Bijak itu secara diam-diam melubangi dasar perahu dan menyebabkan kebocoran; tampaknya Sang Guru membalas pertolongan Si Nelayan dengan tindakan merusak.
Pemuda itu tak bisa menahan diri, katanya, "Orang-orang bisa tewas, perahu ini akan kemasukan air lalu tenggelam inikah kelakuan seorang bijaksana?"
"Bukankah sudah kukatakan," kata Sang Bijak enteng, "bahwa kau tidak akan bisa menghindari membuat kesimpulan?"
"Saya telah melupakan syarat itu," kata Si Pencari.
Dan ia pun meminta maaf atas kekhilafannya. Namun, hal itu sangat membingungkan bagi pemuda tersebut.
Perjalanan mereka pun berlanjut hingga keduanya sampai di sebuah negeri di mana mereka diterima dengan ramah, dijamu oleh raja negeri itu, yang menawarkan pergi berburu binatang bersamanya.
Putra raja yang masih kecil menunggang kuda bersama Sang Bijak. Ketika Orang Bijak dan Si Pencari tersebut terpisah dari rombongan lain oleh serumpun semak belukar pada akhir perburuan itu, Sang Guru pun berkata, "Lekas, ikuti aku secepat mungkin."
Dipatahkannya pergelangan kaki Pangeran Muda, dan ditinggalkannya ia di semak-semak, lalu bersicepat memacu kudanya melintasi perbatasan kerajaan itu.
Si Pencari sangat terkejut dan merasa bersalah telah menjadi bagian dari kejahatan tersebut. Sambil mengepalkan tinju, ia berseru, "Raja itu menerima dan memperbolehkan kita berkuda bersama anak dan pewaris kerajaannya, tetapi betapa buruk balasan yang diterimanya! Perbuatan macam apa itu? Sungguh tak layak dilakukan bahkan oleh orang yang paling jahat sekalipun!"
Orang Bijak itu hanya berpaling kepadanya dan berkata, "Teman, saya melakukan apa yang harus saya lakukan. Kau ini seorang pengamat; hanya sedikit orang seperti kau. Tetapi setelah mencapai kedudukan pengamat itu, tampaknya kau tidak bisa mempergunakannya, sebab kau selalu menilai dari prasangkamu. Sekali lagi, saya mengingatkan kau tentang janjimu."
"Saya tahu bahwa janji itulah yang membuatku bisa mengikutimu, dan bahwa janji itu mengikat," kata Si Pencari. "Oleh karena itu, saya mohon, maafkan saya sekali ini, tak mudah bagi saya menghentikan kebiasaan menyimpulkan lewat praduga-praduga. Kalau saya nanti bertanya lagi, kau boleh menyuruhku pergi."
Mereka pun melanjutkan perjalanan.
Ketika sampai di sebuah kota besar yang makmur, kedua pengembara itu meminta sedikit makanan, tetapi tak ada orang yang mau memberi, bahkan sisa santapan orang. Kemurahan hati tidak dikenal di kota itu, dan kewajiban suci untuk melayani tamu telah terlupakan. Sebaliknya, anjing-anjing liar mengkuti keduanya.
Ketika mereka mencapai pinggiran kota, dan merasa lapar, pusing, dan haus, tetuan Si Pencari itu berkata, "Kita singgah sebentar di dekat tembok kota ini; kita harus memperbaiki reruntuhannya."
Beberapa jam lamanya bekerja, mengaduk lumpur, jerami, dan air, sampai tembok itu kokoh kembali.
Si Pencari itu pun sangat letih sehingga melupakan tekadnya, katanya, "Kita tidak akan mendapat upah untuk perbaikan ini. Sudah dua kali kita balas kebaikan dengan kejahatan. Kini, kita beri kebaikan ganti kejahatan. Kesabaran saya sudah habis, dan tak bisa melanjutkan mengikuti Tuan." ( )
'"Tak usah cemas lagi," kata Orang Bijak itu, "ingat kata-katamu bahwa kalau kau bertanya sekali saja, saya boleh menyuruhmu pergi. Jalan kita terpisah di sini, masih banyak yang mesti kulakukan."
"Sebelum saya pergi, saya akan menjelaskan makna beberapa perbuatanku agar suatu hari nanti kau mungkin bisa kembali mengadakan perjalanan semacam ini."
"Perahu yang kulubangi itu terhindar dari penyitaan seorang tiran yang hendak merampas semua kapal untuk keperluan perang. Anak yang kakinya kupelintir, kini tak bisa tumbuh menjadi seorang perebut kuasa, atau bahkan mewarisi kerajaan itu, sebab Hukum menyatakan bahwa hanya orang berbadan utuh yang bisa memimpin negeri itu. Di kota yang dilingkupi kebencian ini, ada dua orang anak yatim piatu. Ketika anak-anak itu dewasa kelak, tembok itu akan ambruk lagi hingga terbukalah tempat penyimpanan harta karun yang terdapat di dalamnya; harta itu warisan leluhur mereka. Keduanya akan cukup kuat untuk mengambil harta itu dan memperbaiki seluruh kota tersebut; sebab hal itu merupakan takdir mereka."
"Sekarang, pergilah dengan damai. Kau dipecat." (
Baca Juga
===
Idries Shah dalam Tales of The Dervishes yang diterjemahkan Ahmad Bahar dengan judul Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi menjelaskan kisah ini dituturkan lagi dan lagi pada Abad Pertengahan sebagai sebuah cerita Kristiani oleh para biarawan yang mempergunakan Gesta Romanorum sebagai sumber inspirasi untuk meningkatkan 'ketekunan'. ( )
Kisah ini juga dikatakan merupakan sumber ilham bagi Hermit, karangan Parnell. Paus mengatakan bahwa versi aslinya dari Bahasa Spanyol; dan meskipun kisah ini ditengarai merupakan sebuah kisah dari Timur, selama waktu yang lama, tampaknya tak ada ahli di Barat yang mengaitkannya dengan para Sufi; atau memperhatikan bahwa kemunculan pertamanya ada di dalam Al-Qur'an, Surat ke-18 (Al-Kahfi).
Konon, versi ini berasal dari Jan-Fishan Khan. (Baca juga: Kisah Bijak Para Sufi: Saudagar dan Darwis Kristen )
(mhy)