Lebih Rinci Mengenai Lailatulqadar, dari Waktu sampai Doa yang Perlu Dibaca
Senin, 10 April 2023 - 17:53 WIB
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa yang shalat pada malam Lailatulqadar dengan iman dan mengharap pahala, diampuni dosanya yang telah lalu.” [HR Al-Bukhari di dalam sahihnya no. 1901]
Menghidupkan malamnya karena percaya dengan janji pahala dan mengharap balasan, bukan karena hal lain. Penentunya adalah kesungguhan dan ikhlas, sama saja mengetahuinya atau tidak mengetahuinya.
Waktu Lailatulqadar
Adapun waktu turunnya lailatulqqadar, terdapat berita dari Rasulullah SAW adalah malam ke 21, 23, 25, 27, 29 dan akhir malam Ramadhan.
Imam Syafi’i berkata: “Menurutku –wallahu a’lam– bahwa Nabi SAW menjawab sesuai dengan apa yang ditanyakan. Ketika ditanyakan kepadanya: ‘Apakah kita menantikannya pada malam demikian?’ Beliau menjawab: ‘Nantikanlah pada malam demikian’.”
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan malam Lailatulqadar hingga terdapat 40 pendapat. Hal itu disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitabnya Fathul Bâri. Pendapat tersebut sebagiannya lemah, sebagian lagi ganjil dan sebagian lagi batil.
Menurut Jamâz al-Jamâz, yang sahih dalam hal ini adalah hari-hari ganjil pada sepuluh malam terakhir Ramadhan, 21, 23, 25, 27 dan 29 sebagaimana hadis Aisyah ra, dia berkata:
“Dahulu Rasulullah SAW menantikan Lailatulqadar pada hari ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadan. Dan bersabda:
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Upayakan malam Lailatulqadar pada hari ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadan.” [HR Al-Bukhari no. 2017]
Bilamana seseorang lelah dan melemah kesungguhannya, hendaknya mengupayakannya pada tujuh hari ganjil terakhir, 25, 27, 29 sebagaimana hadis Abdullah Ibn Umar ra bahwa Nabi SAW bersabda:
الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى
“Nantikanlah Lailatulqadr pada sepuluh hari terakhir, jika lemah dan tidak sanggup, jangan terluput 7 hari yang tersisa.” [HR Muslim no.2822 dan Ahmad II/44,75]
Dengan perincian ini hadis-hadis tersebut menjadi saling mendukung dan tidak bertentangan. Yang lebih dekat kepada dalil bahwa malam Lailatulqadar berpindah-pindah, tidak tetap pada satu malam tertentu setiap tahunnya.
Sekali waktu terjadi pada malam 21, pada waktu lain 23, 25, 27, 29, dan tidak dapat dipastikan.
Pembuat syariat yang Maha Bijaksana telah merahasiakan waktunya agar kita tidak hanya bergantung pada malam tertentu saja dan meninggalkan amal serta ibadah pada sisa malam-malam Ramadan yang lain. Dengan demikian dihasilkan kesungguhan pada seluruh malam hingga dia mendapatkan malam itu.
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa yang shalat pada malam Lailatulqadar dengan iman dan mengharap pahala, diampuni dosanya yang telah lalu.” [HR Al-Bukhari di dalam sahihnya no. 1901]
Menghidupkan malamnya karena percaya dengan janji pahala dan mengharap balasan, bukan karena hal lain. Penentunya adalah kesungguhan dan ikhlas, sama saja mengetahuinya atau tidak mengetahuinya.
Waktu Lailatulqadar
Adapun waktu turunnya lailatulqqadar, terdapat berita dari Rasulullah SAW adalah malam ke 21, 23, 25, 27, 29 dan akhir malam Ramadhan.
Imam Syafi’i berkata: “Menurutku –wallahu a’lam– bahwa Nabi SAW menjawab sesuai dengan apa yang ditanyakan. Ketika ditanyakan kepadanya: ‘Apakah kita menantikannya pada malam demikian?’ Beliau menjawab: ‘Nantikanlah pada malam demikian’.”
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan malam Lailatulqadar hingga terdapat 40 pendapat. Hal itu disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitabnya Fathul Bâri. Pendapat tersebut sebagiannya lemah, sebagian lagi ganjil dan sebagian lagi batil.
Menurut Jamâz al-Jamâz, yang sahih dalam hal ini adalah hari-hari ganjil pada sepuluh malam terakhir Ramadhan, 21, 23, 25, 27 dan 29 sebagaimana hadis Aisyah ra, dia berkata:
“Dahulu Rasulullah SAW menantikan Lailatulqadar pada hari ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadan. Dan bersabda:
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Upayakan malam Lailatulqadar pada hari ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadan.” [HR Al-Bukhari no. 2017]
Bilamana seseorang lelah dan melemah kesungguhannya, hendaknya mengupayakannya pada tujuh hari ganjil terakhir, 25, 27, 29 sebagaimana hadis Abdullah Ibn Umar ra bahwa Nabi SAW bersabda:
الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى
“Nantikanlah Lailatulqadr pada sepuluh hari terakhir, jika lemah dan tidak sanggup, jangan terluput 7 hari yang tersisa.” [HR Muslim no.2822 dan Ahmad II/44,75]
Dengan perincian ini hadis-hadis tersebut menjadi saling mendukung dan tidak bertentangan. Yang lebih dekat kepada dalil bahwa malam Lailatulqadar berpindah-pindah, tidak tetap pada satu malam tertentu setiap tahunnya.
Sekali waktu terjadi pada malam 21, pada waktu lain 23, 25, 27, 29, dan tidak dapat dipastikan.
Pembuat syariat yang Maha Bijaksana telah merahasiakan waktunya agar kita tidak hanya bergantung pada malam tertentu saja dan meninggalkan amal serta ibadah pada sisa malam-malam Ramadan yang lain. Dengan demikian dihasilkan kesungguhan pada seluruh malam hingga dia mendapatkan malam itu.