Berjuang Meluruskan Niat Itu Berat, Begini Penjelasannya
Kamis, 24 Agustus 2023 - 19:35 WIB
Hendaknya setiap orang meluruskan niat dalam setiap amal ibadah , terutama dalam hal menuntut ilmu . Ini merupakan pekerjaan yang berat karena niat dan ikhlas itu berat. Ia lebih berat dari ittiba‘ (mengikuti sunnah). Oleh karena itu, Sufyan ats-Tsauri berkata: “Tidak ada sesuatu yang berat bagi saya daripada berjuang meluruskan niat.”
Ibnul Mubarak berkata: “Betapa banyak amalan kecil bisa menjadi besar karena niat dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil karena niat.”
Sedangkan Ibnu Ajlan berkata: “Suatu amalan tidak baik kecuali dengan tiga hal: takwa kepada Allah, niat yang murni, dan sesuai dengan sunnah Nabi SAW .”
"Oleh karena itu, sewajibnya bagi setiap orang untuk selalu memperhatikan dan meluruskan serta menjernihkan niatnya se mata-mata untuk Allah," tulis Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi dalam bukunya berjudul "Syarah 10 Landasan Agama dari Kalimat Nubuwwah".
Menurutnya, niat itu dibagi oleh para ulama menjadi dua macam: 1. Niat amal: Yaitu niat seseorang dalam beramal, hal ini biasa dibahas oleh para ulama fikih. Niat ini memiliki dua fungsi:
Pertama, membedakan antara amal ibadah dengan amal yang semata-mata adat kebiasaan, seperti ada seseorang mandi, ada dua kemungkinan antara mandi dengan niat menghilangkan hadas besar (jinabat) atau mandi hanya untuk kesegaran saja.
Kedua, membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain, seperti orang masuk masjid lalu mengerjakan salat, bisa jadi niatnya salat Tahiyyatulmasjid atau bisa jadi salat sunah Qabliyyah.
Niat ma‘mul lahu, yaitu untuk siapa amalan tersebut, yang biasa dibicarakan oleh ulama ahli suluk dan tazkiyatunnu fus, yaitu seseorang dalam beribadah apakah niatnya untuk Allah (ikhlas) atau untuk lainnya (riya’).
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi menjelaskan niat adalah syarat sahnya ibadah dengan kesepakatan para ulama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu‘ Fatawa berkata: “Para ulama telah sepakat bahwa ibadah yang maksudnya adalah ibadah itu sendiri seperti salat, puasa, dan haji maka tidak sah melainkan dengan niat.”
Dan niat tempatnya adalah di dalam hati, tidak harus diucapkan tanpa ada perselisihan di antara ulama. Ibnu Abil Izzi berkata: “Tidak ada seorang pun dari imam mazhab empat baik Syai‘i ataupun imam lainnya yang mensyaratkan agar niat dilafalkan, karena niat itu dalam hati dengan kesepakatan ulama.”
Oleh karena itu, melafalkan niat justru beribadah tanpa dasar agama dan contoh Nabi SAW, bahkan memberikan dampak negatif.
Diceritakan, ada seorang awam dari penduduk Nejed pernah di Masjidil Haram hendak menunaikan shalat Zuhur, kebetulan di sampingnya adalah seorang yang suka mengeraskan/melafalkan niatnya. Tatkala sudah iqamat, orang tersebut berkata: “Ya Allah, saya niat untuk salat Zuhur empat rakaat karena Allah di belakang imam Masjidil Haram.”
Tatkala orang tersebut hendak melakukan takbiratul ihram, berkatalah si awam tadi: “Sebentar saudara! Masih kurang tanggal, hari, bulan, dan tahunnya!!” Akhirnya, orang itu pun bengong terheran heran! (lihat Syarh al-Arba‘in an-Nawawiyyah (hlm. 14–15) karya Ibnu Utsaimin)
Bolehnya membuat contoh-contoh untuk memudahkan pemahaman kepada pendengar. Lihatlah bagaimana Rasulullah SAW memberikan contoh dengan hijrah setelah menyebutkan sebuah kaidah bahwa setiap amal tergantung dengan niatnya.
Hal ini memberikan pelajaran bagi para dai, mubaligh, ustadz, dan sebagainya untuk berusaha semaksimal mungkin mentransfer ilmu kepada pendengar dengan bahasa yang mudah dicerna oleh otak mereka, jangan menggunakan bahasa-bahasa yang terbelit-belit.
Menarik sekali, apa yang dikatakan oleh Al-Ashma’i tatkala mengatakan: “Saya apabila mendengar Abu Amr bin al Ala’ berbicara, saya mengiranya orang biasa, karena dia berbicara dengan bahasa yang sederhana.”
Padahal tahukah Anda siapa Abu Amr bin al-Ala’? Dia adalah pakar bahasa Arab dan bacaan bacaan Al-Qur’an.
Ibnul Mubarak berkata: “Betapa banyak amalan kecil bisa menjadi besar karena niat dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil karena niat.”
Sedangkan Ibnu Ajlan berkata: “Suatu amalan tidak baik kecuali dengan tiga hal: takwa kepada Allah, niat yang murni, dan sesuai dengan sunnah Nabi SAW .”
"Oleh karena itu, sewajibnya bagi setiap orang untuk selalu memperhatikan dan meluruskan serta menjernihkan niatnya se mata-mata untuk Allah," tulis Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi dalam bukunya berjudul "Syarah 10 Landasan Agama dari Kalimat Nubuwwah".
Baca Juga
Menurutnya, niat itu dibagi oleh para ulama menjadi dua macam: 1. Niat amal: Yaitu niat seseorang dalam beramal, hal ini biasa dibahas oleh para ulama fikih. Niat ini memiliki dua fungsi:
Pertama, membedakan antara amal ibadah dengan amal yang semata-mata adat kebiasaan, seperti ada seseorang mandi, ada dua kemungkinan antara mandi dengan niat menghilangkan hadas besar (jinabat) atau mandi hanya untuk kesegaran saja.
Kedua, membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain, seperti orang masuk masjid lalu mengerjakan salat, bisa jadi niatnya salat Tahiyyatulmasjid atau bisa jadi salat sunah Qabliyyah.
Niat ma‘mul lahu, yaitu untuk siapa amalan tersebut, yang biasa dibicarakan oleh ulama ahli suluk dan tazkiyatunnu fus, yaitu seseorang dalam beribadah apakah niatnya untuk Allah (ikhlas) atau untuk lainnya (riya’).
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi menjelaskan niat adalah syarat sahnya ibadah dengan kesepakatan para ulama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu‘ Fatawa berkata: “Para ulama telah sepakat bahwa ibadah yang maksudnya adalah ibadah itu sendiri seperti salat, puasa, dan haji maka tidak sah melainkan dengan niat.”
Dan niat tempatnya adalah di dalam hati, tidak harus diucapkan tanpa ada perselisihan di antara ulama. Ibnu Abil Izzi berkata: “Tidak ada seorang pun dari imam mazhab empat baik Syai‘i ataupun imam lainnya yang mensyaratkan agar niat dilafalkan, karena niat itu dalam hati dengan kesepakatan ulama.”
Oleh karena itu, melafalkan niat justru beribadah tanpa dasar agama dan contoh Nabi SAW, bahkan memberikan dampak negatif.
Diceritakan, ada seorang awam dari penduduk Nejed pernah di Masjidil Haram hendak menunaikan shalat Zuhur, kebetulan di sampingnya adalah seorang yang suka mengeraskan/melafalkan niatnya. Tatkala sudah iqamat, orang tersebut berkata: “Ya Allah, saya niat untuk salat Zuhur empat rakaat karena Allah di belakang imam Masjidil Haram.”
Tatkala orang tersebut hendak melakukan takbiratul ihram, berkatalah si awam tadi: “Sebentar saudara! Masih kurang tanggal, hari, bulan, dan tahunnya!!” Akhirnya, orang itu pun bengong terheran heran! (lihat Syarh al-Arba‘in an-Nawawiyyah (hlm. 14–15) karya Ibnu Utsaimin)
Bolehnya membuat contoh-contoh untuk memudahkan pemahaman kepada pendengar. Lihatlah bagaimana Rasulullah SAW memberikan contoh dengan hijrah setelah menyebutkan sebuah kaidah bahwa setiap amal tergantung dengan niatnya.
Hal ini memberikan pelajaran bagi para dai, mubaligh, ustadz, dan sebagainya untuk berusaha semaksimal mungkin mentransfer ilmu kepada pendengar dengan bahasa yang mudah dicerna oleh otak mereka, jangan menggunakan bahasa-bahasa yang terbelit-belit.
Menarik sekali, apa yang dikatakan oleh Al-Ashma’i tatkala mengatakan: “Saya apabila mendengar Abu Amr bin al Ala’ berbicara, saya mengiranya orang biasa, karena dia berbicara dengan bahasa yang sederhana.”
Padahal tahukah Anda siapa Abu Amr bin al-Ala’? Dia adalah pakar bahasa Arab dan bacaan bacaan Al-Qur’an.
(mhy)