Jejak Kekejaman Israel: Upaya Menggenjot Pertumbuhan Jumlah Kaum Yahudi
Rabu, 11 Oktober 2023 - 09:00 WIB
Mantan anggota Kongres AS, Paul Findley (1921 – 2019) mengatakan ketidakseimbangan antara penduduk Palestina dan Yahudi --masalah demografi-- telah lama mengganggu para pemimpin Zionisme .
"Kaum Zionis telah menyadari bahwa orang-orang Yahudi berselisih dengan penduduk Palestina bukan hanya karena penduduk Palestina adalah mayoritas melainkan juga karena angka kelahiran mereka lebih tinggi dibanding orang-orang Yahudi," tulis Paul Findley, dalam bukunya berjudul "Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the US - Israeli Relationship" yang diterjemahkan Rahmani Astuti menjadi "Diplomasi Munafik ala Yahudi - Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel" (Mizan, 1995).
Meskipun itu adalah masalah yang tidak begitu diperhatikan di Amerika Serikat , di Israel masalah kelompok etnis mana yang menjadi mayoritas merupakan persoalan serius dan diakui sebagai "bom waktu demografi."
Sudah sejak 1938, pemimpin Yahudi David Ben-Gurion mengatakan pada para koleganya bahwa "titik awal pemecahan masalah Arab" adalah dicapainya suatu persetujuan dengan negara-negara Arab tetangga untuk mengadakan transfer damai orang-orang Palestina dari negara Yahudi.
Pada 1943, mengingat angka kelahiran orang-orang Arab yang lebih tinggi dibanding orang-orang Yahudi, dia menandaskan bahwa 2,2 anak dalam tiap keluarga tidaklah cukup dan para orang tua Yahudi didorong agar melaksanakan "tugas demografi" mereka.
Tahun berikutnya, pemimpin revisionis Zeev Jabotinsky menulis: "Kita mesti memerintahkan kaum Yahudi Amerika untuk memobilisasi setengah miliar dollar agar Irak dan Saudi Arabia bersedia menyerap orang-orang Arab Palestina.
Tidak ada pilihan lain: orang-orang Arab harus memberi ruang bagi orang-orang Yahudi di Eretz Israel. Jika ada kemungkinan untuk memindahkan orang-orang Baltik, ada kemungkinan pula untuk memindahkan orang-orang Arab Palestina."
Pada waktu pembagian PBB tahun 1947 masalah demografi merupakan masalah terbesar bagi kaum Zionis sebab jumlah orang Palestina melebihi jumlah orang-orang Yahudi, dua dibanding satu, di Palestina.
Rencana pembagian menetapkan bahwa di negara Yahudi orang Yahudi harus menjadi mayoritas: 498.000 orang Yahudi dan 435.000 orang Palestina. Kala itu, Negara Palestina yang diusulkan akan mempunyai 725.000 penduduk Arab dan 10.000 penduduk Yahudi.
Dengan angka mayoritas yang begitu tipis, orang-orang Yahudi tidak bisa yakin bahwa mereka dapat terus menjadi mayoritas di negeri mereka sendiri. Karena itu memburu orang-orang Palestina agar lari dari tanah mereka dan menjadikan mereka pengungsi merupakan pemecahan praktis di mata banyak tokoh Zionis.
Sebagaimana dikemukakan dalam suatu memorandum resmi untuk Ben-Gurion pada pertengahan 1948: "Pengusiran orang-orang Arab itu hendaknya dianggap sebagai pemecahan bagi masalah orang Arab di negara Israel."
Ben-Gurion sadar benar akan kenyataan itu dan bertitah: "Kita tidak boleh membiarkan orang-orang Arab kembali ke tempat-tempat yang mereka tinggalkan."
Kebijaksanaan Israel dengan segera mengeras menjadi pendirian resmi bahwa para pengungsi Palestina harus dilarang untuk kembali --dan hampir tak seorang pun yang berhasil menempati kembali rumah-rumah mereka.
Menjelang akhir Mei 1948 suatu "komite pemindahan" tak resmi lahir dengan tujuan khusus mencegah kembalinya para pengungsi Arab dengan jalan menempatkan orang-orang Yahudi di rumah-rumah yang ditinggalkan dan menghancurkan desa-desa Palestina.
Pada 1 Juni perintah-perintah langsung dikeluarkan pada unit-unit militer Israel untuk secara paksa mencegah kembalinya para pengungsi.
Akibat pengusiran orang-orang Palestina, hanya tinggal 170.000 orang di antara mereka yang berada di tanah yang dikuasai oleh Israel pada akhir pertempuran pada 1949.
Para pria, wanita, dan anak-anak ini rnenjadi warga negara Israel dan merupakan 15 persen dari jumlah penduduk, suatu minoritas yang jauh lebih bisa diterima dibanding 40 persen atau lebih yang akan mereka wakili seandainya tidak terjadi pengungsian besar-besaran.
Ben-Gurion masih tetap prihatin mengenai masalah demografi sehingga pada 1949 dia memprakarsai pemberian hadiah bagi para ibu yang melahirkan anak yang kesepuluh.
Program itu dihentikan satu dasawarsa kemudian dikarenakan banyaknya jumlah ibu-ibu Palestina warga negara Israel yang berhasil meraih hadiah tersebut.
Pada 1967, sebuah pusat demografi Israel didirikan sebab "penambahan angka kelahiran di Israel sangat penting bagi masa depan seluruh bangsa Yahudi."
Kini masalah demografi tetap merupakan pemikiran utama di Israel. Dari masa perang 1967 hingga dimulainya intifadhah pada 1987, jumlah penduduk Palestina berlipat ganda, hampir seluruhnya akibat peningkatan alamiah.
Proporsi orang Palestina di negara Israel meningkat 18 persen. Dalam periode yang sama, jumlah penduduk Yahudi naik 50 persen, terutama karena terjadinya imigrasi. Tanpa adanya para pendatang baru, peningkatan jumlah penduduk Yahudi hanya akan mencapai 29 persen.
"Kaum Zionis telah menyadari bahwa orang-orang Yahudi berselisih dengan penduduk Palestina bukan hanya karena penduduk Palestina adalah mayoritas melainkan juga karena angka kelahiran mereka lebih tinggi dibanding orang-orang Yahudi," tulis Paul Findley, dalam bukunya berjudul "Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the US - Israeli Relationship" yang diterjemahkan Rahmani Astuti menjadi "Diplomasi Munafik ala Yahudi - Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel" (Mizan, 1995).
Meskipun itu adalah masalah yang tidak begitu diperhatikan di Amerika Serikat , di Israel masalah kelompok etnis mana yang menjadi mayoritas merupakan persoalan serius dan diakui sebagai "bom waktu demografi."
Sudah sejak 1938, pemimpin Yahudi David Ben-Gurion mengatakan pada para koleganya bahwa "titik awal pemecahan masalah Arab" adalah dicapainya suatu persetujuan dengan negara-negara Arab tetangga untuk mengadakan transfer damai orang-orang Palestina dari negara Yahudi.
Pada 1943, mengingat angka kelahiran orang-orang Arab yang lebih tinggi dibanding orang-orang Yahudi, dia menandaskan bahwa 2,2 anak dalam tiap keluarga tidaklah cukup dan para orang tua Yahudi didorong agar melaksanakan "tugas demografi" mereka.
Tahun berikutnya, pemimpin revisionis Zeev Jabotinsky menulis: "Kita mesti memerintahkan kaum Yahudi Amerika untuk memobilisasi setengah miliar dollar agar Irak dan Saudi Arabia bersedia menyerap orang-orang Arab Palestina.
Tidak ada pilihan lain: orang-orang Arab harus memberi ruang bagi orang-orang Yahudi di Eretz Israel. Jika ada kemungkinan untuk memindahkan orang-orang Baltik, ada kemungkinan pula untuk memindahkan orang-orang Arab Palestina."
Pada waktu pembagian PBB tahun 1947 masalah demografi merupakan masalah terbesar bagi kaum Zionis sebab jumlah orang Palestina melebihi jumlah orang-orang Yahudi, dua dibanding satu, di Palestina.
Rencana pembagian menetapkan bahwa di negara Yahudi orang Yahudi harus menjadi mayoritas: 498.000 orang Yahudi dan 435.000 orang Palestina. Kala itu, Negara Palestina yang diusulkan akan mempunyai 725.000 penduduk Arab dan 10.000 penduduk Yahudi.
Dengan angka mayoritas yang begitu tipis, orang-orang Yahudi tidak bisa yakin bahwa mereka dapat terus menjadi mayoritas di negeri mereka sendiri. Karena itu memburu orang-orang Palestina agar lari dari tanah mereka dan menjadikan mereka pengungsi merupakan pemecahan praktis di mata banyak tokoh Zionis.
Sebagaimana dikemukakan dalam suatu memorandum resmi untuk Ben-Gurion pada pertengahan 1948: "Pengusiran orang-orang Arab itu hendaknya dianggap sebagai pemecahan bagi masalah orang Arab di negara Israel."
Ben-Gurion sadar benar akan kenyataan itu dan bertitah: "Kita tidak boleh membiarkan orang-orang Arab kembali ke tempat-tempat yang mereka tinggalkan."
Kebijaksanaan Israel dengan segera mengeras menjadi pendirian resmi bahwa para pengungsi Palestina harus dilarang untuk kembali --dan hampir tak seorang pun yang berhasil menempati kembali rumah-rumah mereka.
Menjelang akhir Mei 1948 suatu "komite pemindahan" tak resmi lahir dengan tujuan khusus mencegah kembalinya para pengungsi Arab dengan jalan menempatkan orang-orang Yahudi di rumah-rumah yang ditinggalkan dan menghancurkan desa-desa Palestina.
Pada 1 Juni perintah-perintah langsung dikeluarkan pada unit-unit militer Israel untuk secara paksa mencegah kembalinya para pengungsi.
Akibat pengusiran orang-orang Palestina, hanya tinggal 170.000 orang di antara mereka yang berada di tanah yang dikuasai oleh Israel pada akhir pertempuran pada 1949.
Para pria, wanita, dan anak-anak ini rnenjadi warga negara Israel dan merupakan 15 persen dari jumlah penduduk, suatu minoritas yang jauh lebih bisa diterima dibanding 40 persen atau lebih yang akan mereka wakili seandainya tidak terjadi pengungsian besar-besaran.
Ben-Gurion masih tetap prihatin mengenai masalah demografi sehingga pada 1949 dia memprakarsai pemberian hadiah bagi para ibu yang melahirkan anak yang kesepuluh.
Baca Juga
Program itu dihentikan satu dasawarsa kemudian dikarenakan banyaknya jumlah ibu-ibu Palestina warga negara Israel yang berhasil meraih hadiah tersebut.
Pada 1967, sebuah pusat demografi Israel didirikan sebab "penambahan angka kelahiran di Israel sangat penting bagi masa depan seluruh bangsa Yahudi."
Kini masalah demografi tetap merupakan pemikiran utama di Israel. Dari masa perang 1967 hingga dimulainya intifadhah pada 1987, jumlah penduduk Palestina berlipat ganda, hampir seluruhnya akibat peningkatan alamiah.
Proporsi orang Palestina di negara Israel meningkat 18 persen. Dalam periode yang sama, jumlah penduduk Yahudi naik 50 persen, terutama karena terjadinya imigrasi. Tanpa adanya para pendatang baru, peningkatan jumlah penduduk Yahudi hanya akan mencapai 29 persen.
(mhy)