Cara Menyucikan Najis-Najis Sesuai Petunjuk Dalil
Senin, 18 Desember 2023 - 11:05 WIB
“Kalau seperti itu maka dia kucek dengan ujung jarinya, kemudian dibasuh dengan air, kemudian dia boleh menggunakannya untuk shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mungkin darahnya sudah kering sehingga harus dikucek dulu dengan ujung jari sehingga darah yang menempel di baju sampai kering tersebut bisa hilang, meskipun hilangnya tidak sempurna dan masih ada warnanya. Kemudian setelah itu dibasuh dengan air sampai hilang. Jika tidak bisa hilang secara sempurna, yang jelas kita berusaha semaksimal mungkin untuk menghilangkan.
Kalau kita sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menghilangkan tapi masih ada sisa warnanya sedikit, maka dianggap sudah hilang dianggap. Karena kadang-kadang ada warna yang memang sulit untuk dihilangkan. Maka dianggap hal itu sudah sangat sedikit sekali. Misalnya dibilas sampai 10 kali bilasan ternyata masih ada warna itu, maka kita anggap itu sesuatu yang sangat sedikit sekali dan dianggap tidak ada dan pakaian sudah suci.
Apabila anak tersebut anak yang yang masih kecil dan belum makan selain ASI ibunya, maka ketika keadaannya demikian dibedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Kalau anaknya laki-laki, maka cukup diciprati dengan air tanpa harus dibasuh (Bukan berarti tidak boleh dibasuh, tapi kalau ingin mencipratinya dengan air saja, itu sudah cukup. Kalau dibasuh, maka lebih baik karena dengan itu najisnya bisa hilang dengan lebih sempurna). Adapun kalau anaknya perempuan, walaupun masih kecil dan belum mengkonsumsi sesuatu kecuali ASI ibunya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengharuskan untuk dibasuh dengan air.
Apa bedanya anak laki-laki dengan anak perempuan? Kita jawab wallahu ta’ala a’lam. Mungkin apabila dibuktikan secara ilmiah akan ada bedanya, dan saya tidak tahu. Tapi yang jelas syariat membedakan antara kencingnya anak laki-laki dan kencingnya anak perempuan. Dan ketika syariat membedakan, itu berarti pasti ada bedanya. Hanya saja kadang-kadang kita tidak tahu perbedaannya dimana. Dan saya yakin kemajuan ilmu pengetahuan di zaman ini bisa membedakan kandungan air seni dari anak kecil laki-laki dan anak kecil perempuan dan pasti berbeda.
Makanya ulama yang mengatakan bahwa madzi itu najis, maka najisnya adalah mukhaffafah (najis yang ringan), makanya cukup diciprati dengan air. Sebagian ulama yang mengatakan bahwa madzi adalah suci, mereka ber itu suci berdalil dengan hadits ini bahwa madzi itu suci, maka cukup dengan diciprati air. Karena kalau diciprati dengan air, dzat madzinya masih ada tapi sudha boleh digunakan untuk salat. Itu berarti bahwa madzi adalah suci.
Bagi ulama yang mengatakan madzi adalah najis, mereka berdalil dengan hadits yang sama dan mengatakan bahwa kalau madzi itu suci, untuk apa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kita untuk mencipratinya dengan air?
Jadi para ulama khilaf dan ini sesuatu yang wajar. Karena memang pemahaman antara ulama yang satu dengan ulama yang lainnya dalam memahami hadits dan mengkompromikan dalil-dalil yang ada bisa berbeda. Yang jelas kita memilih diantara pendapat yang ditunjukkan oleh dalil yang menurut kita lebih kuat, maka itulah yang kita ambil dan kita harus menghormati pendapat yang lainnya.
Saya lebih menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa madzi itu suci. Karena secara kenyataan bahwa madzi adalah bagian dari mani, sedangkan mani menurut kita adalah suci. Maka konsekuensinya bahwa madzi yang merupakan bagian dari mani adalah suci. Adapun perintah untuk mencipratinya dengan air, maka ini tidak menunjukkan bahwa madzi itu najis. Karena bisa kita pahami bahwa perintah tersebut adalah perintah anjuran, tidak sampai pada derajat wajib. Dan kita juga bisa mengambil alasan yang disebutkan oleh sebagian ulama yang mengatakan bahwa madzi ini dzatnya masih ada walaupun diciprati dengan air. Tapi dengan diciprati dengan air tersebut kita sudah boleh menggunakan pakaian yang terkena madzi itu. Sehingga dzat madzi sebenarnya tidak najis. Wallahu ta’ala a’lam..
Bagaimana kalau di jalan ada najis yang mengenai pakaian itu, bagaimana cara membersihkannya? Apakah harus dicuci ataukah cukup diciprati ataukah cukup dibiarkan? Kita dengar bagaimana hadis Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam masalah ini.
Ummu Salamah, ibunda kaum mukminin, salah satu dari istri Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ummu Salamah mengatakan: “Sungguh aku adalah seorang perempuan dan aku memanjangkan juluran kainku dan aku biasa berjalan di tempat yang kotor.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawabnya dengan mengatakan:
“Tanah yang berikutnya bisa membersihkan kotoran itu.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud)
Jika demikian, maka tidak perlu dicuci, tidak perlu diciprati, sudah biarkan tanah yang berikutnya membersihkan kotoran itu.
Baca Juga: 3 Macam Najis dan Cara Membersihkannya
Wallahu A'lam
Mungkin darahnya sudah kering sehingga harus dikucek dulu dengan ujung jari sehingga darah yang menempel di baju sampai kering tersebut bisa hilang, meskipun hilangnya tidak sempurna dan masih ada warnanya. Kemudian setelah itu dibasuh dengan air sampai hilang. Jika tidak bisa hilang secara sempurna, yang jelas kita berusaha semaksimal mungkin untuk menghilangkan.
Kalau kita sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menghilangkan tapi masih ada sisa warnanya sedikit, maka dianggap sudah hilang dianggap. Karena kadang-kadang ada warna yang memang sulit untuk dihilangkan. Maka dianggap hal itu sudah sangat sedikit sekali. Misalnya dibilas sampai 10 kali bilasan ternyata masih ada warna itu, maka kita anggap itu sesuatu yang sangat sedikit sekali dan dianggap tidak ada dan pakaian sudah suci.
2. Cara membersihkan pakaian apabila terkena kecing anak kecil
Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan kita cara untuk membersihkannya. Beliau mengatakan:يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلَامِ
Apabila anak tersebut anak yang yang masih kecil dan belum makan selain ASI ibunya, maka ketika keadaannya demikian dibedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Kalau anaknya laki-laki, maka cukup diciprati dengan air tanpa harus dibasuh (Bukan berarti tidak boleh dibasuh, tapi kalau ingin mencipratinya dengan air saja, itu sudah cukup. Kalau dibasuh, maka lebih baik karena dengan itu najisnya bisa hilang dengan lebih sempurna). Adapun kalau anaknya perempuan, walaupun masih kecil dan belum mengkonsumsi sesuatu kecuali ASI ibunya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengharuskan untuk dibasuh dengan air.
Apa bedanya anak laki-laki dengan anak perempuan? Kita jawab wallahu ta’ala a’lam. Mungkin apabila dibuktikan secara ilmiah akan ada bedanya, dan saya tidak tahu. Tapi yang jelas syariat membedakan antara kencingnya anak laki-laki dan kencingnya anak perempuan. Dan ketika syariat membedakan, itu berarti pasti ada bedanya. Hanya saja kadang-kadang kita tidak tahu perbedaannya dimana. Dan saya yakin kemajuan ilmu pengetahuan di zaman ini bisa membedakan kandungan air seni dari anak kecil laki-laki dan anak kecil perempuan dan pasti berbeda.
3. Cara membersihkan pakaian dari Madzi
Pendapat mayoritas ulama mengatakan bahwa madzi adalah najis. Bagaimana cara membersihkan madzi apabila kita memilih pendapat yang mengatakan bahwa madzi adalah najis? Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan cara agar madzi bisa hilang najisnya. Yaitu dengan mencipratinya dengan air saja.Makanya ulama yang mengatakan bahwa madzi itu najis, maka najisnya adalah mukhaffafah (najis yang ringan), makanya cukup diciprati dengan air. Sebagian ulama yang mengatakan bahwa madzi adalah suci, mereka ber itu suci berdalil dengan hadits ini bahwa madzi itu suci, maka cukup dengan diciprati air. Karena kalau diciprati dengan air, dzat madzinya masih ada tapi sudha boleh digunakan untuk salat. Itu berarti bahwa madzi adalah suci.
Bagi ulama yang mengatakan madzi adalah najis, mereka berdalil dengan hadits yang sama dan mengatakan bahwa kalau madzi itu suci, untuk apa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kita untuk mencipratinya dengan air?
Jadi para ulama khilaf dan ini sesuatu yang wajar. Karena memang pemahaman antara ulama yang satu dengan ulama yang lainnya dalam memahami hadits dan mengkompromikan dalil-dalil yang ada bisa berbeda. Yang jelas kita memilih diantara pendapat yang ditunjukkan oleh dalil yang menurut kita lebih kuat, maka itulah yang kita ambil dan kita harus menghormati pendapat yang lainnya.
Saya lebih menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa madzi itu suci. Karena secara kenyataan bahwa madzi adalah bagian dari mani, sedangkan mani menurut kita adalah suci. Maka konsekuensinya bahwa madzi yang merupakan bagian dari mani adalah suci. Adapun perintah untuk mencipratinya dengan air, maka ini tidak menunjukkan bahwa madzi itu najis. Karena bisa kita pahami bahwa perintah tersebut adalah perintah anjuran, tidak sampai pada derajat wajib. Dan kita juga bisa mengambil alasan yang disebutkan oleh sebagian ulama yang mengatakan bahwa madzi ini dzatnya masih ada walaupun diciprati dengan air. Tapi dengan diciprati dengan air tersebut kita sudah boleh menggunakan pakaian yang terkena madzi itu. Sehingga dzat madzi sebenarnya tidak najis. Wallahu ta’ala a’lam..
4. Cara menyucikan pakaian wanita yang menjulur ke tanah dan tanahnya ada najis
Di dalam Islam, pakaian perempuan disunahkan untuk terjulur melebihi kaki. Ini kalau pada laki-laki masuknya sebagai isbal. Tapi kalau pada perempuan isbal ini dianjurkan untuk menutup kakinya. Inilah Islam yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Kalau perempuan karena memang diperintahkan untuk menutup diri dan jangan sampai menjadi fitnah bagi laki-laki, maka yang yang seperti ini dibolehkan bahkan dianjurkan bagi perempuan untuk menjulurkan pakaian untuk menutupi kakinya. Tentunya dengan tidak berlebihan. Jangan sampai setelah ada orang yang mendengarkan kajian ini, pakaiannya dijulurkan sampai 1 meter, tidak demikian, ini berlebihan. Yang penting sudah terjulur dan menutupi kakinya, itulah yang dianjurkan di dalam Islam.Bagaimana kalau di jalan ada najis yang mengenai pakaian itu, bagaimana cara membersihkannya? Apakah harus dicuci ataukah cukup diciprati ataukah cukup dibiarkan? Kita dengar bagaimana hadis Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam masalah ini.
Ummu Salamah, ibunda kaum mukminin, salah satu dari istri Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ummu Salamah mengatakan: “Sungguh aku adalah seorang perempuan dan aku memanjangkan juluran kainku dan aku biasa berjalan di tempat yang kotor.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawabnya dengan mengatakan:
يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ
“Tanah yang berikutnya bisa membersihkan kotoran itu.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud)
Jika demikian, maka tidak perlu dicuci, tidak perlu diciprati, sudah biarkan tanah yang berikutnya membersihkan kotoran itu.
Baca Juga: 3 Macam Najis dan Cara Membersihkannya
Wallahu A'lam