Hukum Tahlilan Menurut 4 Mazhab
Jum'at, 19 Januari 2024 - 16:42 WIB
Hukum tahlilan menurut 4 mazhab , tidaklah seragam. Namun, sebelum membahas lebih detail masalah ini perlu diketahui terlebih dahulu apa itu tahlilan.
Abdul Aziz dalam bukunya berjudul "Tahlilan Bukan Pesta Kematian dan Tranfer Pahala Bukan Menambah Duka" menyebutkan bahwa tahlil adalah membaca kalimat Laa Ilaaha Illallah, sedangkan tahlilan adalah ritual atau perkumpulan yang berisi membaca ayat-ayat al-Quran , tahli, zikir, selawat dan sebagainya.
Ini merupakan kegiatan membaca serangkaian ayat Al-Qur’an dan kalimat thayyibah (tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir), di mana pahala bacaan tersebut dihadiahkan untuk para arwah (mayit) yang disebutkan oleh pembaca atau oleh pemilik hajat.
Tahlilan biasanya dilaksanakan pada hari-hari tertentu, seperti tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, atau ke-1000-nya.
Tahlilan juga sering dilaksanakan secara rutin pada malam Jumat atau malam-malam tertentu lainnya. Setelah tahlilan, biasanya pemilik hajat akan memberikan hidangan makanan untuk dimakan di tempat atau dibawa pulang.
Dengan demikian, inti tahlilan adalah: Pertama, menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit. Kedua, mengkhususkan bacaan itu pada waktu-waktu tertentu, yaitu tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, dan sebagainya. Ketiga, bersedekah untuk mayit, berupa pemberian makanan untuk peserta tahlilan.
Lalu, bagaimanakah pendapat para ulama terkait ketiga masalah tersebut?
Berbeda Pendapat
Pertama, para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit.
Ulama mazhab Hanafi , sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menegaskan, menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an serta kalimat thayyibah kepada mayit hukumnya boleh, dan pahalanya sampai kepada sang mayit. Syekh Usman bin Ali Az-Zaila’i dari mazhab Hanafi dalam "Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzud Daqaiq" menyebutkan:
"Bahwa seseorang diperbolehkan menjadikan pahala amalnya untuk orang lain, menurut pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah, baik berupa salat, puasa, haji, sedekah, bacaan Qur’an, zikir, atau sebagainya, berupa semua jenis amal baik. Pahala itu sampai kepada mayit dan bermanfaat baginya."
Sedangkan, Syekh Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki dalam "Hasyiyatud Dasuqi Alas Syarhil Kabir Ad-Dasuqi" menyebutkan:
"Jika seseorang membaca Al-Qur’an, dan menghadiahkan pahala bacaannya kepada mayit, maka hal itu diperbolehkan, dan pahala bacaannya sampai kepada mayit."
Selanjutnya, Imam Nawawi dari Mazhab Syafi’i dalam Al-Majmu’ menuturkan:
"Dan disunahkan bagi peziarah kubur untuk mengucapkan salam kepada (penghuni) kubur, serta mendoakan mayit yang diziarahi dan semua penghuni kubur. Salam serta doa lebih diutamakan menggunakan apa yang sudah ditetapkan dalam hadis Nabi. Begitu pula, disunahkan membaca apa yang mudah dari Al-Qur’an, dan berdoa untuk mereka setelahnya."
Syekh Ibnu Qudamah dari mazhab Hanbali dalam Al-Mughni juga menuturkan:
"Dan apapun ibadah yang dia kerjakan, serta dia hadiahkan pahalanya kepada mayit muslim, akan memberi manfaat untuknya. Insya Allah. Adapun doa, istighfar, sedekah, dan pelaksanaan kewajiban maka saya tidak melihat adanya perbedaan pendapat (akan kebolehannya)."
Di antara ulama yang membolehkan menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit adalah Syekh Ibnu Taimiyyah. Dalam kitab Majmu’ul Fatawa disebutkan:
"Dan adapun bacaan, sedekah, dan sebagainya, berupa amal-amal kebaikan, maka tidak ada perselisihan di antara para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah akan sampainya pahala ibadah harta, seperti sedekah dan pembebasan (memerdekakan budak).
Sebagaimana sampai kepada mayit juga, pahala doa, istighfar, shalat jenazah, dan doa di samping kuburannya. Para ulama berbeda pendapat soal sampainya pahala amal jasmani, seperti puasa, shalat, dan bacaan. Menurut pendapat yang benar, semua amal itu sampai kepada mayit."
Kedua, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menyatakan, pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah tidak sampai kepada mayit, karenanya hal itu tidak diperbolehkan.
Syekh Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki menulis:
"Penulis kitab At-Taudhih berkata dalam kitab At-Taudhih, bab Haji: Pendapat yang diikuti dalam mazhab Maliki adalah bahwa pahala bacaan tidak sampai kepada mayit. Pendapat ini diceritakan oleh Syekh Qarafi dalam kitab Qawaidnya, dan Syekh Ibnu Abi Jamrah."
Mengkhususkan
Kedua, hukum mengkhususkan waktu tertentu untuk membaca Al-Qur’an dan kalimat thayyibah.
Mayoritas ulama membolehkan pengkhususan waktu tertentu untuk beribadah atau membaca Al-Qur’an dan kalimat thayyibah, seperti malam Jumat atau setelah melaksanakan salat lima waktu. Mereka berpegangan kepada hadis riwayat Ibnu Umar:
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata: Nabi SAW selalu mendatangi masjid Quba’ setiap hari Sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendara. Abdullah ibnu Umar ra juga selalu melakukannya.
Mengomentari hadis tersebut, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari berkata, hadis ini menunjukkan kebolehan mengkhususkan sebagian hari atau sebagian waktu untuk melaksanakan amal saleh, dan melanggengkannya.
Artinya, mengkhususkan hari tertentu seperti tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, ke-1000, malam Jumat, atau malam lainnya untuk membaca Al-Qur’an dan kalimat thayyibah, hukumnya boleh.
Bersedekan
Ketiga, hukum bersedekah untuk mayit.
Para ulama sepakat bahwa bersedekah untuk mayit hukumnya boleh, dan pahala sedekah sampai kepadanya. Mereka berpedoman pada hadis riwayat Aisyah radhiyallahu anha:
Seseorang mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu berkata: “Hai Rasulullah. Sesungguhnya ibuku meninggal dalam keadaan tiba-tiba, dan belum berwasiat. Saya rasa seandainya sebelum meninggal dia sempat berbicara, dia akan bersedekah. Apakah dia mendapatkan pahala jika saya bersedekah untuknya?” Rasul bersabda: “Ya.”
Mengomentari hadis di atas, Imam Nawawi dalam Shahih Muslim bi Syarhi An-Nawawi berkata, hadis ini menjelaskan bahwa bersedekah untuk mayit bermanfaat, dan pahala sedekah sampai kepadanya. Para ulama bersepakat tentang sampainya pahala sedekah kepada mayit.
Ustadz Husnul Haq, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Mamba’ul Ma’arif Tulungagung, dan Dosen IAIN Tulungagung sebagaimana dilansir laman Nahdlatul Ulama berpendapat bahwa Tahlilan diperbolehkan dalam Islam, sebab mayoritas ulama menegaskan kebolehan menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit, sebagaimana mereka menyatakan kebolehan mengkhususkan waktu tertentu untuk membaca Al-Qur’an dan kalimat thayyibah.
Abdul Aziz dalam bukunya berjudul "Tahlilan Bukan Pesta Kematian dan Tranfer Pahala Bukan Menambah Duka" menyebutkan bahwa tahlil adalah membaca kalimat Laa Ilaaha Illallah, sedangkan tahlilan adalah ritual atau perkumpulan yang berisi membaca ayat-ayat al-Quran , tahli, zikir, selawat dan sebagainya.
Ini merupakan kegiatan membaca serangkaian ayat Al-Qur’an dan kalimat thayyibah (tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir), di mana pahala bacaan tersebut dihadiahkan untuk para arwah (mayit) yang disebutkan oleh pembaca atau oleh pemilik hajat.
Tahlilan biasanya dilaksanakan pada hari-hari tertentu, seperti tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, atau ke-1000-nya.
Tahlilan juga sering dilaksanakan secara rutin pada malam Jumat atau malam-malam tertentu lainnya. Setelah tahlilan, biasanya pemilik hajat akan memberikan hidangan makanan untuk dimakan di tempat atau dibawa pulang.
Dengan demikian, inti tahlilan adalah: Pertama, menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit. Kedua, mengkhususkan bacaan itu pada waktu-waktu tertentu, yaitu tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, dan sebagainya. Ketiga, bersedekah untuk mayit, berupa pemberian makanan untuk peserta tahlilan.
Lalu, bagaimanakah pendapat para ulama terkait ketiga masalah tersebut?
Berbeda Pendapat
Pertama, para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit.
Ulama mazhab Hanafi , sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menegaskan, menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an serta kalimat thayyibah kepada mayit hukumnya boleh, dan pahalanya sampai kepada sang mayit. Syekh Usman bin Ali Az-Zaila’i dari mazhab Hanafi dalam "Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzud Daqaiq" menyebutkan:
"Bahwa seseorang diperbolehkan menjadikan pahala amalnya untuk orang lain, menurut pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah, baik berupa salat, puasa, haji, sedekah, bacaan Qur’an, zikir, atau sebagainya, berupa semua jenis amal baik. Pahala itu sampai kepada mayit dan bermanfaat baginya."
Sedangkan, Syekh Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki dalam "Hasyiyatud Dasuqi Alas Syarhil Kabir Ad-Dasuqi" menyebutkan:
"Jika seseorang membaca Al-Qur’an, dan menghadiahkan pahala bacaannya kepada mayit, maka hal itu diperbolehkan, dan pahala bacaannya sampai kepada mayit."
Baca Juga
Selanjutnya, Imam Nawawi dari Mazhab Syafi’i dalam Al-Majmu’ menuturkan:
"Dan disunahkan bagi peziarah kubur untuk mengucapkan salam kepada (penghuni) kubur, serta mendoakan mayit yang diziarahi dan semua penghuni kubur. Salam serta doa lebih diutamakan menggunakan apa yang sudah ditetapkan dalam hadis Nabi. Begitu pula, disunahkan membaca apa yang mudah dari Al-Qur’an, dan berdoa untuk mereka setelahnya."
Syekh Ibnu Qudamah dari mazhab Hanbali dalam Al-Mughni juga menuturkan:
"Dan apapun ibadah yang dia kerjakan, serta dia hadiahkan pahalanya kepada mayit muslim, akan memberi manfaat untuknya. Insya Allah. Adapun doa, istighfar, sedekah, dan pelaksanaan kewajiban maka saya tidak melihat adanya perbedaan pendapat (akan kebolehannya)."
Di antara ulama yang membolehkan menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit adalah Syekh Ibnu Taimiyyah. Dalam kitab Majmu’ul Fatawa disebutkan:
"Dan adapun bacaan, sedekah, dan sebagainya, berupa amal-amal kebaikan, maka tidak ada perselisihan di antara para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah akan sampainya pahala ibadah harta, seperti sedekah dan pembebasan (memerdekakan budak).
Sebagaimana sampai kepada mayit juga, pahala doa, istighfar, shalat jenazah, dan doa di samping kuburannya. Para ulama berbeda pendapat soal sampainya pahala amal jasmani, seperti puasa, shalat, dan bacaan. Menurut pendapat yang benar, semua amal itu sampai kepada mayit."
Kedua, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menyatakan, pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah tidak sampai kepada mayit, karenanya hal itu tidak diperbolehkan.
Syekh Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki menulis:
"Penulis kitab At-Taudhih berkata dalam kitab At-Taudhih, bab Haji: Pendapat yang diikuti dalam mazhab Maliki adalah bahwa pahala bacaan tidak sampai kepada mayit. Pendapat ini diceritakan oleh Syekh Qarafi dalam kitab Qawaidnya, dan Syekh Ibnu Abi Jamrah."
Mengkhususkan
Kedua, hukum mengkhususkan waktu tertentu untuk membaca Al-Qur’an dan kalimat thayyibah.
Mayoritas ulama membolehkan pengkhususan waktu tertentu untuk beribadah atau membaca Al-Qur’an dan kalimat thayyibah, seperti malam Jumat atau setelah melaksanakan salat lima waktu. Mereka berpegangan kepada hadis riwayat Ibnu Umar:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِيْ مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا. وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَفْعَلُهُ
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata: Nabi SAW selalu mendatangi masjid Quba’ setiap hari Sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendara. Abdullah ibnu Umar ra juga selalu melakukannya.
Mengomentari hadis tersebut, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari berkata, hadis ini menunjukkan kebolehan mengkhususkan sebagian hari atau sebagian waktu untuk melaksanakan amal saleh, dan melanggengkannya.
Artinya, mengkhususkan hari tertentu seperti tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, ke-1000, malam Jumat, atau malam lainnya untuk membaca Al-Qur’an dan kalimat thayyibah, hukumnya boleh.
Bersedekan
Ketiga, hukum bersedekah untuk mayit.
Para ulama sepakat bahwa bersedekah untuk mayit hukumnya boleh, dan pahala sedekah sampai kepadanya. Mereka berpedoman pada hadis riwayat Aisyah radhiyallahu anha:
أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا، وَلَمْ تُوصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ. أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا. قَالَ نَعَمْ
Seseorang mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu berkata: “Hai Rasulullah. Sesungguhnya ibuku meninggal dalam keadaan tiba-tiba, dan belum berwasiat. Saya rasa seandainya sebelum meninggal dia sempat berbicara, dia akan bersedekah. Apakah dia mendapatkan pahala jika saya bersedekah untuknya?” Rasul bersabda: “Ya.”
Mengomentari hadis di atas, Imam Nawawi dalam Shahih Muslim bi Syarhi An-Nawawi berkata, hadis ini menjelaskan bahwa bersedekah untuk mayit bermanfaat, dan pahala sedekah sampai kepadanya. Para ulama bersepakat tentang sampainya pahala sedekah kepada mayit.
Ustadz Husnul Haq, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Mamba’ul Ma’arif Tulungagung, dan Dosen IAIN Tulungagung sebagaimana dilansir laman Nahdlatul Ulama berpendapat bahwa Tahlilan diperbolehkan dalam Islam, sebab mayoritas ulama menegaskan kebolehan menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit, sebagaimana mereka menyatakan kebolehan mengkhususkan waktu tertentu untuk membaca Al-Qur’an dan kalimat thayyibah.
(mhy)