5 Tanda Haji Mabrur, Salah Satunya Harta yang Dipakai Berhaji Halal
Rabu, 08 Mei 2024 - 08:39 WIB
Ketiga, hajinya dipenuhi dengan banyak amalan baik. Seperti dzikir, salat di Masjidil Haram, salat pada waktunya, dan membantu teman seperjalanan.
Ibnu Rajab berkata: “Maka haji mabrûr adalah yang terkumpul di dalamnya amalan-amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan dosa.
Di antara amalan khusus yang disyariatkan untuk meraih haji mabrûr adalah bersedekah dan berkata-kata baik selama haji. Nabi SAW pernah ditanya tentang maksud haji mabrûr, maka beliau menjawab:
Memberi makan dan berkata-kata baik. [HR. al-Baihaqi 2/413 (no. 10693), dihukumi shahîh oleh al-Hâkim dan al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah 3/262 (no. 1264)]
Keempat, tidak berbuat maksiat selama ihram. Maksiat dilarang dalam agama kita dalam semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas, dan jika dilanggar, maka haji mabrûr yang diimpikan akan lepas.
Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusûq dan jidâl. Allah Azza wa Jalla berfirman:
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui. Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusûq dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji. [ QS al-Baqarah : 197]
Nabi SAW bersabda:
Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusûq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya.” [HR Muslim]
Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama ihrâm.
Fusûq adalah keluar dari ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusûq yang dimaksudkan dalam hadits di atas.
Jidâl adalah berbantah-bantahan secara berlebihan.
Ketiga hal ini dilarang selama ihrâm. Adapun di luar waktu ihrâm, bersenggama dengan pasangan kembali diperbolehkan, sedangkan larangan yang lain tetap tidak boleh.
Demikian juga, haji yang mabrûr juga harus meninggalkan semua bentuk dosa selama perjalanan ibadah haji, baik berupa syirik, bid’ah maupun maksiyat.
Kelima, pulang dari haji dengan keadaan lebih baik. Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi Allah Azza wa Jalla adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal saleh melakukan perbuatan buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah Azza wa Jalla tidak menerima amalannya.
Ibnu Rajab berkata: “Maka haji mabrûr adalah yang terkumpul di dalamnya amalan-amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan dosa.
Di antara amalan khusus yang disyariatkan untuk meraih haji mabrûr adalah bersedekah dan berkata-kata baik selama haji. Nabi SAW pernah ditanya tentang maksud haji mabrûr, maka beliau menjawab:
إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيْبُ الْكَلاَمِ
Memberi makan dan berkata-kata baik. [HR. al-Baihaqi 2/413 (no. 10693), dihukumi shahîh oleh al-Hâkim dan al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah 3/262 (no. 1264)]
Keempat, tidak berbuat maksiat selama ihram. Maksiat dilarang dalam agama kita dalam semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas, dan jika dilanggar, maka haji mabrûr yang diimpikan akan lepas.
Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusûq dan jidâl. Allah Azza wa Jalla berfirman:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui. Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusûq dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji. [ QS al-Baqarah : 197]
Nabi SAW bersabda:
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusûq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya.” [HR Muslim]
Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama ihrâm.
Fusûq adalah keluar dari ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusûq yang dimaksudkan dalam hadits di atas.
Jidâl adalah berbantah-bantahan secara berlebihan.
Ketiga hal ini dilarang selama ihrâm. Adapun di luar waktu ihrâm, bersenggama dengan pasangan kembali diperbolehkan, sedangkan larangan yang lain tetap tidak boleh.
Demikian juga, haji yang mabrûr juga harus meninggalkan semua bentuk dosa selama perjalanan ibadah haji, baik berupa syirik, bid’ah maupun maksiyat.
Kelima, pulang dari haji dengan keadaan lebih baik. Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi Allah Azza wa Jalla adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal saleh melakukan perbuatan buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah Azza wa Jalla tidak menerima amalannya.