Hukum Musik dan Nyanyian, Ibnu Hazm: Tergantung Pada Niat
Kamis, 23 Mei 2024 - 14:09 WIB
Syaikh Prof Dr Yusuf al-Qaradawi dalam bukunya berjudul "Fatwa-Fatwa Kontemporer" (Gema Insani Press, 1995) mencontohkan pendapat Ibnu Hazm yang tidak melarang musik dan nyanyian.
Allah SWT berfirman:
"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu hanya memperoleh azab yang menghinakan." ( QS Luqman : 6)
Ayat ini dijadikan dalil oleh sebagian sahabat dan tabi'in untuk mengharamkan nyanyian.
Ibnu Hazm dalam kitab "Al Muhalla" mengatakan bahwa ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat dari beberapa segi:
Pertama, tidak ada hujah bagi seseorang selain Rasulullah SAW .
Kedua, pendapat ini telah ditentang oleh sebagian sahabat dan tabi'in yang lain.
Ketiga, nash ayat ini justru membatalkan argumentasi mereka, karena di dalamnya menerangkan kualifikasi tertentu:
Berikut sanggahan Ibnu Hazm atas pendapat orang-orang yang melarang nyanyian. Ibnu Hazm berkata:
"Mereka berargumentasi dengan mengatakan: apakah nyanyian itu termasuk kebenaran, padahal tidak ada yang ketiga? Allah SWT berfirman:
"... maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan ..." ( QS Yunus , 32)
Maka jawaban saya, mudah-mudahan Allah memberi taufik, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya tiap-tiap orang (mendapatkan) apa yang ia niatkan."
Oleh karenanya barang siapa mendengarkan nyanyian dengan niat mendorongnya untuk berbuat maksiat kepada Allah Ta'ala berarti ia fasik, demikian pula terhadap selain nyanyian.
Dan barangsiapa mendengarkannya dengan niat untuk menghibur hatinya agar bergairah dalam menaati Allah Azza wa Jalla dan menjadikan dirinya rajin melakukan kebaikan, maka dia adalah orang yang taat dan baik, dan perbuatannya itu termasuk dalam kategori kebenaran.
Dan barangsiapa yang tidak berniat untuk taat juga tidak untuk maksiat, maka mendengarkan nyanyian itu termasuk laghwu (perbuatan yang tidak berfaidah) yang dimaafkan.
Misalnya, orang yang pergi ke taman sekadar rekreasi, atau duduk di pintu rumahnya dengan membuka kancing baju, mencelupkan pakaian untuk mengubah warna, meluruskan kakinya atau melipatnya, dan perbuatan-perbuatan sejenis lainnya."
Yusuf al-Qardhawi juga menyebutkan adapun hadis-hadis yang dijadikan landasan oleh pihak yang mengharamkan nyanyian semuanya memiliki cacat, tidak ada satu pun yang terlepas dari celaan, baik mengenai tsubut (periwayatannya) maupun petunjuknya, atau kedua-duanya.
Al Qadhi Abu Bakar Ibnu Arabi mengatakan di dalam kitabnya Al Hakam: "Tidak satu pun hadis sahih yang mengharamkannya."
Demikian juga yang dikatakan Imam Al Ghazali dan Ibnu Nahwi dalam Al Umdah. Bahkan Ibnu Hazm berkata: "Semua riwayat mengenai masalah (pengharaman nyanyian) itu batil dan palsu."
Apabila dalil-dalil yang mengharamkannya telah gugur, maka tetaplah nyanyian itu atas kebolehannya sebagai hukum asal. Bagaimana tidak, sedangkan kita banyak mendapati nash sahih yang menghalalkannya?
Dalam hal ini cukuplah saya kemukakan riwayat dalam shahih Bukhari dan Muslim bahwa Abu Bakar pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi SAW, ketika itu ada dua gadis di sisi Aisyah yang sedang menyanyi, lalu Abu Bakar menghardiknya seraya berkata: "Apakah pantas ada seruling setan di rumah Rasulullah?" Kemudian Rasulullah
saw. menimpali:
"Biarkanlah mereka, wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya."
Di samping itu, juga tidak ada larangan menyanyi pada hari selain hari raya. Makna hadis itu ialah bahwa hari raya termasuk saat-saat yang disukai untuk melahirkan kegembiraan dengan nyanyian, permainan, dan sebagainya yang tidak terlarang.
Allah SWT berfirman:
"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu hanya memperoleh azab yang menghinakan." ( QS Luqman : 6)
Ayat ini dijadikan dalil oleh sebagian sahabat dan tabi'in untuk mengharamkan nyanyian.
Ibnu Hazm dalam kitab "Al Muhalla" mengatakan bahwa ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat dari beberapa segi:
Pertama, tidak ada hujah bagi seseorang selain Rasulullah SAW .
Kedua, pendapat ini telah ditentang oleh sebagian sahabat dan tabi'in yang lain.
Ketiga, nash ayat ini justru membatalkan argumentasi mereka, karena di dalamnya menerangkan kualifikasi tertentu:
Baca Juga
Berikut sanggahan Ibnu Hazm atas pendapat orang-orang yang melarang nyanyian. Ibnu Hazm berkata:
"Mereka berargumentasi dengan mengatakan: apakah nyanyian itu termasuk kebenaran, padahal tidak ada yang ketiga? Allah SWT berfirman:
"... maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan ..." ( QS Yunus , 32)
Maka jawaban saya, mudah-mudahan Allah memberi taufik, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya tiap-tiap orang (mendapatkan) apa yang ia niatkan."
Oleh karenanya barang siapa mendengarkan nyanyian dengan niat mendorongnya untuk berbuat maksiat kepada Allah Ta'ala berarti ia fasik, demikian pula terhadap selain nyanyian.
Dan barangsiapa mendengarkannya dengan niat untuk menghibur hatinya agar bergairah dalam menaati Allah Azza wa Jalla dan menjadikan dirinya rajin melakukan kebaikan, maka dia adalah orang yang taat dan baik, dan perbuatannya itu termasuk dalam kategori kebenaran.
Dan barangsiapa yang tidak berniat untuk taat juga tidak untuk maksiat, maka mendengarkan nyanyian itu termasuk laghwu (perbuatan yang tidak berfaidah) yang dimaafkan.
Misalnya, orang yang pergi ke taman sekadar rekreasi, atau duduk di pintu rumahnya dengan membuka kancing baju, mencelupkan pakaian untuk mengubah warna, meluruskan kakinya atau melipatnya, dan perbuatan-perbuatan sejenis lainnya."
Yusuf al-Qardhawi juga menyebutkan adapun hadis-hadis yang dijadikan landasan oleh pihak yang mengharamkan nyanyian semuanya memiliki cacat, tidak ada satu pun yang terlepas dari celaan, baik mengenai tsubut (periwayatannya) maupun petunjuknya, atau kedua-duanya.
Al Qadhi Abu Bakar Ibnu Arabi mengatakan di dalam kitabnya Al Hakam: "Tidak satu pun hadis sahih yang mengharamkannya."
Demikian juga yang dikatakan Imam Al Ghazali dan Ibnu Nahwi dalam Al Umdah. Bahkan Ibnu Hazm berkata: "Semua riwayat mengenai masalah (pengharaman nyanyian) itu batil dan palsu."
Apabila dalil-dalil yang mengharamkannya telah gugur, maka tetaplah nyanyian itu atas kebolehannya sebagai hukum asal. Bagaimana tidak, sedangkan kita banyak mendapati nash sahih yang menghalalkannya?
Dalam hal ini cukuplah saya kemukakan riwayat dalam shahih Bukhari dan Muslim bahwa Abu Bakar pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi SAW, ketika itu ada dua gadis di sisi Aisyah yang sedang menyanyi, lalu Abu Bakar menghardiknya seraya berkata: "Apakah pantas ada seruling setan di rumah Rasulullah?" Kemudian Rasulullah
saw. menimpali:
"Biarkanlah mereka, wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya."
Di samping itu, juga tidak ada larangan menyanyi pada hari selain hari raya. Makna hadis itu ialah bahwa hari raya termasuk saat-saat yang disukai untuk melahirkan kegembiraan dengan nyanyian, permainan, dan sebagainya yang tidak terlarang.
(mhy)