Kisah Shalahuddin Al Ayyubi Bebaskan Wilayah Al-Kruk dan Acre dari Pendudukan Eropa
Kamis, 18 Juli 2024 - 14:17 WIB
Kisah Shalahuddin Al Ayyubi membebaskan wilayah-wilayah Syam yang diduduki pasukan salib Eropa diceritakan Ibnu al-Atsir dalam bukunya berjudul "Al-Mukhtar Min al-Kamil fi al-Tarikh; Qishshah Shalahuddin al-Ayyubi" yang diterjemahkan Abu Haytsam menjadi "Shalahuddin Al-Ayyubi Sang Pembebas Tanah Para Nabi".
Dikisahkan, pada tahun 583 H, Shalahuddin Al Ayyubi mengirim surat kepada seluruh negerinya guna melakukan mobilisasi umum untuk pergi berjihad . Ia juga mengajak Moshul, al-Jazirah, Irbil dan negeri-negeri dunia Islam belahan Timur, serta Mesir dan seluruh Syam untuk ikut serta dalam jihad.
Shalahuddin sangat menganjurkan keikutsertaan mereka, dan memerintahkan mereka untuk segera mempersiapkan diri sekuat tenaga.
Ia lalu keluar dari Damaskus pada akhir bulan Muharram bersama pasukan dan pengawal elitnya. Ia bergerak menuju Ra’s al-Mal untuk bergabung dengan pasukan Syam.
Setelah berkumpul, Shalahuddin mengangkat anaknya -al-Malik al-Afdhal Ali- sebagai panglima pasukan untuk menyatukan semua elemen.
Lalu Shalahuddin sendiri bergerak menuju Bushra karena ia mendengar kabar bahwa pangeran Arnath -penguasa al-Kurk- ingin menyerang jemaah haji di tengah perjalanan mereka. Tampaknya setelah selesai menyerang jemaah haji, Pangeran Arnath itu sengaja akan memotong jalur yang akan dilalui pasukan Mesir untuk mengalangi mereka bergabung dengan Shalahuddin.
Shalahuddin bergerak menuju Bushra untuk mencegah Pangeran Arnath menyerang jemaah haji, dan membuatnya tetap berada di negerinya dengan ketakutan.
Di dalam rombongan jemaah haji itu terdapat sanak kerabat Shalahuddin, di antaranya Muhammad Ibn Lajin -keponakan Shalahuddin- dan yang lainnya.
Ketika mendengar bahwa Shalahuddin sudah mendekat, Arnath tidak berani keluar dari kotanya. Pupus sudah segala keinginan dan rencananya.
Jemaah haji pun akhirnya dapat tiba dengan selamat, dan hal ini amat menggembirakan hati Shalahuddin. Selanjutnya ia bergerak menuju al-Kurk, dan menyebar pasukannya dari sana ke seluruh wilayah al-Kurk, al-Syubak, dan lainnya. Pasukannya menyerang, menghancurkan, dan membumi-hanguskan. Sang pangeran sendiri terkepung tidak mampu mempertahankan negerinya.
Sementara itu, seluruh Eropa menjaga ketat jalan-jalan menuju negeri mereka karena takut terhadap kekuatan militer yang dipimpin oleh putra Shalahuddin -al-Afdhal Ali. Shalahuddin pun makin leluasa melakukan pengepungan, penyerangan, pembakaran dan pemusnahan.
Kota Aka atau Acre
Pada tahun yang sama, Shalahuddin mengirim pesan kepada putranya -al-Afdhal- dan memerintahkan agar segera dikirim satu batalion pasukan pilihan untuk menyerang kota Aka atau Acre.
Kota ini terletak di utara Teluk Hafia, pesisir timur Laut Mediterania. Sekarang, Kota Kuno Acre menjadi bagian dari Negara Israel.
Kala itu, Shalahuddin menugaskan Muzhaffaruddin Kawkabry Ibn Zaynuddin -penguasa Harran dan al-Reha- didukung oleh Qaymaz al-Najmi, dan Daldarim al-Yaquti. Kedua orang ini termasuk emir senior.
Mereka lalu bergerak pada malam hari. Mereka memasuki Shafuriyah pada akhir bulan Shafar. Tentara Eropa yang terdiri dari para ksatria dan pasukan berkuda mengejar mereka, sampai akhirnya kedua pasukan bertemu di sana dan pecahlah pertempuran yang sangat dahsyat.
Lalu Allah SWT memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin, dan tentara Eropa dikalahkan. Banyak dari mereka yang terbunuh, sedangkan sisanya ditawan. Di antara korban yang tewas adalah panglima para ksatria Eropa.
Ia adalah pahlawan Eropa yang sangat terkenal, yang telah meninggalkan luka mendalan dalam diri kaum Muslimin.
Mereka mendapat pampasan perang, menjarah dan pulang dalam keadaan selamat melalui Thabariyyah. Di sana ada Raja Tripoli yang mendukung serbuan itu.
Ini merupakan pembebasan yang sangat besar, karena para ksatria dan milisia merupakan ujung tombak bangsa Eropa. Berita gembira ini disampaikan kepada Shalahuddin.
Kembalinya Shalahuddin
Setelah mendengar berita mengenai kekalahan para ksatria dan milisia Eropa, serta banyaknya korban jiwa dan tawanan dari Eropa, Shalahuddin segera kembali dari al-Kurk ke tengah-tengah pasukannya yang diserahkan kepada putranya al-Malik al-Afdhal.
Banyak emir dan prajurit yang menyusulnya. Mereka berkumpul dan bersatu sehingga jumlahnya mencapai 12.000 orang tentara dari pasukan para penguasa daerah, untuk selanjutnya kekuatan ini bergerak seluruhnya.
Shalahuddin lalu mengatur pasukannya, dan menempatkan mereka pada posisi masing-masing. Ia memerintahkan pasukannya itu untuk tetap menempati posisinya tersebut, dan ia sendiri yang akan langsung mengawasi dan memimpin mereka.
Selanjutnya tibalah ia di al-Aqhawanah yang berada di dekat Thabariyyah.
Raja Tripoli yang ada di sana saat itu masih berpihak kepada Shalahuddin, sebagaimana telah kita sebutkan. Surat-surat masih dikirim untuk menagih janji Shalahuddin yang menjanjikannya kemenangan dan dukungan.
Dikisahkan, pada tahun 583 H, Shalahuddin Al Ayyubi mengirim surat kepada seluruh negerinya guna melakukan mobilisasi umum untuk pergi berjihad . Ia juga mengajak Moshul, al-Jazirah, Irbil dan negeri-negeri dunia Islam belahan Timur, serta Mesir dan seluruh Syam untuk ikut serta dalam jihad.
Shalahuddin sangat menganjurkan keikutsertaan mereka, dan memerintahkan mereka untuk segera mempersiapkan diri sekuat tenaga.
Ia lalu keluar dari Damaskus pada akhir bulan Muharram bersama pasukan dan pengawal elitnya. Ia bergerak menuju Ra’s al-Mal untuk bergabung dengan pasukan Syam.
Setelah berkumpul, Shalahuddin mengangkat anaknya -al-Malik al-Afdhal Ali- sebagai panglima pasukan untuk menyatukan semua elemen.
Lalu Shalahuddin sendiri bergerak menuju Bushra karena ia mendengar kabar bahwa pangeran Arnath -penguasa al-Kurk- ingin menyerang jemaah haji di tengah perjalanan mereka. Tampaknya setelah selesai menyerang jemaah haji, Pangeran Arnath itu sengaja akan memotong jalur yang akan dilalui pasukan Mesir untuk mengalangi mereka bergabung dengan Shalahuddin.
Shalahuddin bergerak menuju Bushra untuk mencegah Pangeran Arnath menyerang jemaah haji, dan membuatnya tetap berada di negerinya dengan ketakutan.
Di dalam rombongan jemaah haji itu terdapat sanak kerabat Shalahuddin, di antaranya Muhammad Ibn Lajin -keponakan Shalahuddin- dan yang lainnya.
Ketika mendengar bahwa Shalahuddin sudah mendekat, Arnath tidak berani keluar dari kotanya. Pupus sudah segala keinginan dan rencananya.
Jemaah haji pun akhirnya dapat tiba dengan selamat, dan hal ini amat menggembirakan hati Shalahuddin. Selanjutnya ia bergerak menuju al-Kurk, dan menyebar pasukannya dari sana ke seluruh wilayah al-Kurk, al-Syubak, dan lainnya. Pasukannya menyerang, menghancurkan, dan membumi-hanguskan. Sang pangeran sendiri terkepung tidak mampu mempertahankan negerinya.
Sementara itu, seluruh Eropa menjaga ketat jalan-jalan menuju negeri mereka karena takut terhadap kekuatan militer yang dipimpin oleh putra Shalahuddin -al-Afdhal Ali. Shalahuddin pun makin leluasa melakukan pengepungan, penyerangan, pembakaran dan pemusnahan.
Kota Aka atau Acre
Pada tahun yang sama, Shalahuddin mengirim pesan kepada putranya -al-Afdhal- dan memerintahkan agar segera dikirim satu batalion pasukan pilihan untuk menyerang kota Aka atau Acre.
Kota ini terletak di utara Teluk Hafia, pesisir timur Laut Mediterania. Sekarang, Kota Kuno Acre menjadi bagian dari Negara Israel.
Kala itu, Shalahuddin menugaskan Muzhaffaruddin Kawkabry Ibn Zaynuddin -penguasa Harran dan al-Reha- didukung oleh Qaymaz al-Najmi, dan Daldarim al-Yaquti. Kedua orang ini termasuk emir senior.
Mereka lalu bergerak pada malam hari. Mereka memasuki Shafuriyah pada akhir bulan Shafar. Tentara Eropa yang terdiri dari para ksatria dan pasukan berkuda mengejar mereka, sampai akhirnya kedua pasukan bertemu di sana dan pecahlah pertempuran yang sangat dahsyat.
Lalu Allah SWT memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin, dan tentara Eropa dikalahkan. Banyak dari mereka yang terbunuh, sedangkan sisanya ditawan. Di antara korban yang tewas adalah panglima para ksatria Eropa.
Ia adalah pahlawan Eropa yang sangat terkenal, yang telah meninggalkan luka mendalan dalam diri kaum Muslimin.
Mereka mendapat pampasan perang, menjarah dan pulang dalam keadaan selamat melalui Thabariyyah. Di sana ada Raja Tripoli yang mendukung serbuan itu.
Ini merupakan pembebasan yang sangat besar, karena para ksatria dan milisia merupakan ujung tombak bangsa Eropa. Berita gembira ini disampaikan kepada Shalahuddin.
Kembalinya Shalahuddin
Setelah mendengar berita mengenai kekalahan para ksatria dan milisia Eropa, serta banyaknya korban jiwa dan tawanan dari Eropa, Shalahuddin segera kembali dari al-Kurk ke tengah-tengah pasukannya yang diserahkan kepada putranya al-Malik al-Afdhal.
Banyak emir dan prajurit yang menyusulnya. Mereka berkumpul dan bersatu sehingga jumlahnya mencapai 12.000 orang tentara dari pasukan para penguasa daerah, untuk selanjutnya kekuatan ini bergerak seluruhnya.
Shalahuddin lalu mengatur pasukannya, dan menempatkan mereka pada posisi masing-masing. Ia memerintahkan pasukannya itu untuk tetap menempati posisinya tersebut, dan ia sendiri yang akan langsung mengawasi dan memimpin mereka.
Selanjutnya tibalah ia di al-Aqhawanah yang berada di dekat Thabariyyah.
Raja Tripoli yang ada di sana saat itu masih berpihak kepada Shalahuddin, sebagaimana telah kita sebutkan. Surat-surat masih dikirim untuk menagih janji Shalahuddin yang menjanjikannya kemenangan dan dukungan.
(mhy)