Kekhalifahan di Bumi: Begini Pendapat Muhammad Baqir Al-Shadr
Minggu, 01 September 2024 - 08:56 WIB
Di dalam Al-Quran Surat Albaqarah ayat 30 Allah SWT berfirman:
wa idz qâla rabbuka lil-malâ'ikati innî jâ‘ilun fil-ardli khalifah.
Artinya: (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” (QS Al-Baqarah: 30)
Muhammad Baqir Al-Shadr, dalam bukunya, "Al-Sunan Al-Tarikhiyah fi Al-Qur'an", yang antara lain mengupas Surah Al-Baqarah ayat 30 dengan menggunakan metode tematik, mengemukakan bahwa kekhalifahan mempunyai tiga unsur yang saling kait-berkait. Kemudian, ditambahkannya unsur keempat yang berada di luar, namun amat menentukan arti kekhalifahan dalam pandangan Al-Quran .
Ketiga unsur pertama adalah:
1. Manusia, yang dalam hal ini dinamai khalifah .
2 Alam raya, yang ditunjuk oleh ayat Al-Baqarah sebagai ardh.
3. Hubungan antara manusia dengan alam dan segala isinya, termasuk dengan manusia.
Hubungan ini, walaupun tidak disebutkan secara tersurat dalam ayat di atas, tersirat karena penunjukan sebagai khalifah tidak akan ada artinya jika tidak disertai dengan penugasan atau istikhlaf.
Itulah ketiga unsur yang saling kait-berkait. Sedangkan unsur keempat yang berada di luar adalah yang digambarkan oleh ayat tersebut dengan kata inni jail/inna ja'alnaka khalifat yaitu yang memberi penugasan, yakni Allah SWT.
Dialah yang memberi penugasan itu dan dengan demikian yang ditugasi harus memperhatikan kehendak yang menugasinya.
Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, 1996), menjelaskan menarik untuk diperbandingkan bahwa pengangkatan Adam sebagai khalifah dijelaskan oleh Allah dalam bentuk tunggal inni (sesungguhnya Aku) dan dengan kata ja'il yang berarti akan mengangkat.
Sedangkan pengangkatan Daud dijelaskan dengan menggunakan kata inna (sesungguhnya Kami) dan dengan bentuk kata kerja masa lampau ja'alnaka (Kami telah menjadikan kamu).
"Kalau kita dapat menerima kaidah yang menyatakan bahwa penggunaan bentuk plural untuk menunjuk kepada Allah mengandung makna keterlibatan pihak lain bersama Allah dalam pekerjaan yang ditunjuk-Nya, maka ini berarti bahwa dalam pengangkatan Daud sebagai khalifah terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yakni masyarakat (pengikut-pengikutnya)," ujar Quraish.
Adapun Adam, maka di sini wajar apabila pengangkatannya dilukiskan dalam bentuk tunggal, bukan saja disebabkan karena ketika itu kekhalifahan yang dimaksud baru berupa rencana (Aku akan mengangkat) tetapi juga karena ketika peristiwa ini terjadi tidak ada pihak lain bersama Allah yang terlibat dalam pengangkatan tersebut.
"Ini berarti bahwa Daud --dan semua khalifah-- yang terlibat dengan masyarakat dalam pengangkatannya, dituntut untuk memperhatikan kehendak masyarakat tersebut, karena mereka ketika itu termasuk pula sebagai mustakhlif," jelas Quraish Shihab.
Tidak dikhatirkan adanya perlakuan sewenang-wenang dari khalifah yang diangkat Tuhan itu, selama ia benar-benar menyadari arti kekhalifahannya. Karena, Tuhan sendiri memerintahkan kepada para khalifah-Nya untuk selalu bermusyawarah serta berlaku adil.
Memang, dalam sejarah, terdapat khalifah-khalifah yang berlaku sewenang-wenang dengan alasan bahwa ia adalah wakil Tuhan di bumi. Namun, di sini ia sangat keliru dalam memahami dan mempraktikkan kekhalifahan itu.
Quraish menjelaskan hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukkan, atau antara tuan dengan hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT.
"Karena, kalaupun manusia mampu mengelola (menguasai), namun hal tersebut bukan akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi akibat Tuhan menundukkannya untuk manusia," ujarnya.
Ini tergambar antara lain dalam firman-Nya, pada surah Ibrahim ayat 32 dan Al-Zukhruf ayat 13.
Demikian itu, sehingga kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi yang tertera dalam wahyu-wahyu-Nya. Semua itu harus ditemukan kandungannya oleh manusia sambil memperhatikan perkembangan dan situasi lingkungannya.
Dalam surah Al-Zukhruf ayat 32 ditegaskan bahwa: "Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhan? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain (agar mereka dapat saling mempergunakan). Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan."
Quraish menjelaskan adalah keliru, memahami arti sukhriya sebagai menundukkan. Tetapi, hubungan satu sama lain adalah hubungan al-taskhir, dalam arti semua dalam kedudukan yang sama dan yang membedakan mereka hanyalah partisipasi dan kemampuan masing-masing. Adalah logis apabila yang "kuat" lebih mampu untuk memperoleh bagian yang melebihi perolehan yang lemah.
Menurut Quraish, ayat di atas mengisyaratkan bahwa keistimewaan tidak dimonopoli oleh suatu lapisan atau bahwa ada lapisan masyarakat yang ditundukkan oleh lapisan yang lain. "Karena, jika demikian maknanya, maka ayat tersebut di atas tidak akan menyatakan agar mereka dapat saling mempergunakan," ujarnya.
Ayat di atas menggunakan kata sukhriya bukannya sikhriya, seperti antara lain dalam surah Al-Mu'minun yang menggambarkan ejekan dan tekanan yang dilakukan oleh satu kelompok kuat terhadap kelompok lain yang dinamai oleh Al-Quran mustadh'afin. Ayat yang menjelaskan hubungan interaksi yang diridhai Allah adalah ayat yang menggunakan kata sukhriya.
Al-Baydhawi menafsirkan ayat Al-Zukhruf di atas dengan menyatakan bahwa "Sebagian manusia menjadikan sebagian yang lain secara timbal-balik sebagai sarana guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka."
Inilah prinsip pokok yang merupakan landasan interaksi antar sesama manusia dan keharmonisan hubungan itu pulalah yang menjadi tujuan dari segala etika agama. Keharmonisan hubungan inilah yang menghasilkan etika itsar, sehingga etika agama tidak mengenal prinsip "Anda boleh melakukan apa saja selama tidak melanggar hak orang lain", tetapi memperkenalkan "Mereka mendahulukan pihak lain atas diri mereka walaupun mereka sendiri dalam kebutuhan." ( QS 59 :9)
Di atas juga telah dikemukakan bahwa hanya kemampuan (kekuatan) yang dapat membedakan seseorang dari yang lain, dan dari keistimewaan inilah segala sifat terpuji dapat lahir.
Kesabaran dan ketabahan merupakan etika atau sikap terpuji, karena ia adalah kekuatan, yaitu kekuatan seseorang dalam menanggung beban atau menahan gejolak keinginan negatif. Keberanian merupakan kekuatan karena pemiliknya mampu melawan dan menundukkan kejahatan. Dan kasih sayang dan uluran tangan adalah juga kekuatan; bukankah ia ditujukan kepada orang-orang yang membutuhkan dan lemah?
Demikianlah segala macam sikap terpuji atau etika agama.
Benar bahwa semakin kokoh hubungan manusia dengan alam raya dan semakin dalam pengenalannya terhadapnya, akan semakin banyak yang dapat diperolehnya melalui alam itu. Namun, bila hubungan itu sampai disitu, pastilah hasil lain yang dicapai hanyalah penderitaan dan penindasan manusia atas manusia. Inilah antara lain kandungan pesan Tuhan yang diletakkan dalam rangkaian wahyu pertama.
Sebaliknya, semakin baik interaksi manusia dengan manusia, dan interaksi manusia dengan Tuhan, serta interaksinya dengan alam, pasti akan semakin banyak yang dapat diman faatkan dari alam raya ini. Karena, ketika itu mereka semua akan saling membantu dan bekerjasama dan Tuhan di atas mereka akan merestui. Hal ini terungkap antara lain melalui surah Al-Jin ayat 16:
Dan bahwasanya, jika mereka tetap berjalan lurus di jalan itu (petunjuk petunjuk Ilahi), niscaya pasti Kami akan memberi mereka air segar (rezeki yang melimpah).
Demikian itu dua dari hukum-hukum kemasyarakatan (kekhalifahan) dari sekian banyak hukum kemasyarakatan yang dikemukakan Al-Quran sebagai petunjuk pelaksanaan fungsi kekhalifahan, yang sekaligus menjadi etika pembangunan.
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةًۗ
wa idz qâla rabbuka lil-malâ'ikati innî jâ‘ilun fil-ardli khalifah.
Artinya: (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” (QS Al-Baqarah: 30)
Muhammad Baqir Al-Shadr, dalam bukunya, "Al-Sunan Al-Tarikhiyah fi Al-Qur'an", yang antara lain mengupas Surah Al-Baqarah ayat 30 dengan menggunakan metode tematik, mengemukakan bahwa kekhalifahan mempunyai tiga unsur yang saling kait-berkait. Kemudian, ditambahkannya unsur keempat yang berada di luar, namun amat menentukan arti kekhalifahan dalam pandangan Al-Quran .
Ketiga unsur pertama adalah:
1. Manusia, yang dalam hal ini dinamai khalifah .
2 Alam raya, yang ditunjuk oleh ayat Al-Baqarah sebagai ardh.
3. Hubungan antara manusia dengan alam dan segala isinya, termasuk dengan manusia.
Hubungan ini, walaupun tidak disebutkan secara tersurat dalam ayat di atas, tersirat karena penunjukan sebagai khalifah tidak akan ada artinya jika tidak disertai dengan penugasan atau istikhlaf.
Itulah ketiga unsur yang saling kait-berkait. Sedangkan unsur keempat yang berada di luar adalah yang digambarkan oleh ayat tersebut dengan kata inni jail/inna ja'alnaka khalifat yaitu yang memberi penugasan, yakni Allah SWT.
Dialah yang memberi penugasan itu dan dengan demikian yang ditugasi harus memperhatikan kehendak yang menugasinya.
Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, 1996), menjelaskan menarik untuk diperbandingkan bahwa pengangkatan Adam sebagai khalifah dijelaskan oleh Allah dalam bentuk tunggal inni (sesungguhnya Aku) dan dengan kata ja'il yang berarti akan mengangkat.
Sedangkan pengangkatan Daud dijelaskan dengan menggunakan kata inna (sesungguhnya Kami) dan dengan bentuk kata kerja masa lampau ja'alnaka (Kami telah menjadikan kamu).
"Kalau kita dapat menerima kaidah yang menyatakan bahwa penggunaan bentuk plural untuk menunjuk kepada Allah mengandung makna keterlibatan pihak lain bersama Allah dalam pekerjaan yang ditunjuk-Nya, maka ini berarti bahwa dalam pengangkatan Daud sebagai khalifah terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yakni masyarakat (pengikut-pengikutnya)," ujar Quraish.
Adapun Adam, maka di sini wajar apabila pengangkatannya dilukiskan dalam bentuk tunggal, bukan saja disebabkan karena ketika itu kekhalifahan yang dimaksud baru berupa rencana (Aku akan mengangkat) tetapi juga karena ketika peristiwa ini terjadi tidak ada pihak lain bersama Allah yang terlibat dalam pengangkatan tersebut.
"Ini berarti bahwa Daud --dan semua khalifah-- yang terlibat dengan masyarakat dalam pengangkatannya, dituntut untuk memperhatikan kehendak masyarakat tersebut, karena mereka ketika itu termasuk pula sebagai mustakhlif," jelas Quraish Shihab.
Tidak dikhatirkan adanya perlakuan sewenang-wenang dari khalifah yang diangkat Tuhan itu, selama ia benar-benar menyadari arti kekhalifahannya. Karena, Tuhan sendiri memerintahkan kepada para khalifah-Nya untuk selalu bermusyawarah serta berlaku adil.
Memang, dalam sejarah, terdapat khalifah-khalifah yang berlaku sewenang-wenang dengan alasan bahwa ia adalah wakil Tuhan di bumi. Namun, di sini ia sangat keliru dalam memahami dan mempraktikkan kekhalifahan itu.
Quraish menjelaskan hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukkan, atau antara tuan dengan hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT.
"Karena, kalaupun manusia mampu mengelola (menguasai), namun hal tersebut bukan akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi akibat Tuhan menundukkannya untuk manusia," ujarnya.
Ini tergambar antara lain dalam firman-Nya, pada surah Ibrahim ayat 32 dan Al-Zukhruf ayat 13.
Demikian itu, sehingga kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi yang tertera dalam wahyu-wahyu-Nya. Semua itu harus ditemukan kandungannya oleh manusia sambil memperhatikan perkembangan dan situasi lingkungannya.
Dalam surah Al-Zukhruf ayat 32 ditegaskan bahwa: "Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhan? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain (agar mereka dapat saling mempergunakan). Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan."
Quraish menjelaskan adalah keliru, memahami arti sukhriya sebagai menundukkan. Tetapi, hubungan satu sama lain adalah hubungan al-taskhir, dalam arti semua dalam kedudukan yang sama dan yang membedakan mereka hanyalah partisipasi dan kemampuan masing-masing. Adalah logis apabila yang "kuat" lebih mampu untuk memperoleh bagian yang melebihi perolehan yang lemah.
Menurut Quraish, ayat di atas mengisyaratkan bahwa keistimewaan tidak dimonopoli oleh suatu lapisan atau bahwa ada lapisan masyarakat yang ditundukkan oleh lapisan yang lain. "Karena, jika demikian maknanya, maka ayat tersebut di atas tidak akan menyatakan agar mereka dapat saling mempergunakan," ujarnya.
Ayat di atas menggunakan kata sukhriya bukannya sikhriya, seperti antara lain dalam surah Al-Mu'minun yang menggambarkan ejekan dan tekanan yang dilakukan oleh satu kelompok kuat terhadap kelompok lain yang dinamai oleh Al-Quran mustadh'afin. Ayat yang menjelaskan hubungan interaksi yang diridhai Allah adalah ayat yang menggunakan kata sukhriya.
Al-Baydhawi menafsirkan ayat Al-Zukhruf di atas dengan menyatakan bahwa "Sebagian manusia menjadikan sebagian yang lain secara timbal-balik sebagai sarana guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka."
Inilah prinsip pokok yang merupakan landasan interaksi antar sesama manusia dan keharmonisan hubungan itu pulalah yang menjadi tujuan dari segala etika agama. Keharmonisan hubungan inilah yang menghasilkan etika itsar, sehingga etika agama tidak mengenal prinsip "Anda boleh melakukan apa saja selama tidak melanggar hak orang lain", tetapi memperkenalkan "Mereka mendahulukan pihak lain atas diri mereka walaupun mereka sendiri dalam kebutuhan." ( QS 59 :9)
Di atas juga telah dikemukakan bahwa hanya kemampuan (kekuatan) yang dapat membedakan seseorang dari yang lain, dan dari keistimewaan inilah segala sifat terpuji dapat lahir.
Kesabaran dan ketabahan merupakan etika atau sikap terpuji, karena ia adalah kekuatan, yaitu kekuatan seseorang dalam menanggung beban atau menahan gejolak keinginan negatif. Keberanian merupakan kekuatan karena pemiliknya mampu melawan dan menundukkan kejahatan. Dan kasih sayang dan uluran tangan adalah juga kekuatan; bukankah ia ditujukan kepada orang-orang yang membutuhkan dan lemah?
Demikianlah segala macam sikap terpuji atau etika agama.
Benar bahwa semakin kokoh hubungan manusia dengan alam raya dan semakin dalam pengenalannya terhadapnya, akan semakin banyak yang dapat diperolehnya melalui alam itu. Namun, bila hubungan itu sampai disitu, pastilah hasil lain yang dicapai hanyalah penderitaan dan penindasan manusia atas manusia. Inilah antara lain kandungan pesan Tuhan yang diletakkan dalam rangkaian wahyu pertama.
Sebaliknya, semakin baik interaksi manusia dengan manusia, dan interaksi manusia dengan Tuhan, serta interaksinya dengan alam, pasti akan semakin banyak yang dapat diman faatkan dari alam raya ini. Karena, ketika itu mereka semua akan saling membantu dan bekerjasama dan Tuhan di atas mereka akan merestui. Hal ini terungkap antara lain melalui surah Al-Jin ayat 16:
Dan bahwasanya, jika mereka tetap berjalan lurus di jalan itu (petunjuk petunjuk Ilahi), niscaya pasti Kami akan memberi mereka air segar (rezeki yang melimpah).
Demikian itu dua dari hukum-hukum kemasyarakatan (kekhalifahan) dari sekian banyak hukum kemasyarakatan yang dikemukakan Al-Quran sebagai petunjuk pelaksanaan fungsi kekhalifahan, yang sekaligus menjadi etika pembangunan.
(mhy)