Syubhat, Syaikh Al-Qardhawi: Tidaklah Patut Mencari-cari Hal yang Lebih Sulit
Jum'at, 25 Oktober 2024 - 21:33 WIB
CARA orang menghadapi masalah syubhat bermacam-macam, tergantung kepada perbedaan pandangan mereka, perbedaan tabiat dan kebiasaan mereka, dan juga perbedaan tingkat wara' mereka.
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Fiqh Prioritas, Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah" (Robbani Press, 1996) mengatakan ada orang yang tergolong khawatir yang senantiasa mencari masalah syubhat hingga masalah yang paling kecil sehingga mereka menemukannya.
"Seperti orang-orang yang meragukan binatang sembelihan di negara Barat, hanya karena masalah yang sangat sepele dan remeh," ujarnya.
Mereka mendekatkan masalah yang jauh dan menyamakan hal yang mustahil dengan kenyataan. Mereka mencari-cari dan bertanya-tanya sehingga mereka mempersempit ruang gerak mereka sendiri, yang sebetulnya diluaskan oleh Allah SWT.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diteranglan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu..." ( QS al-Ma'idah : 101)
Al-Qardhawi mengatakan sebagai Muslim tidaklah patut bagi kita untuk mencari-cari hal yang lebih sulit.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah sesungguhnya Nabi Muhammad SAW pernah ditanya, "Sesungguhnya ada suatu kaum yang datang kepada kami dengan membawa daging, dan kami tidak mengetahui apakah mereka menyebut nama Allah ketika menyembelihnya ataukah tidak." Maka Nabi SAW bersabda, "Sebutlah nama Allah dan makanlah."
Imam Ibn Hazm mengambil hadis ini sebagai suatu kaidah: "Sesuatu perkara yang tidak ada pada kami, maka kami tidak akan menanyakannya."
Diriwayatkan bahwasanya Umar ra pernah melintasi sebuah jalan kemudian dia tersiram air dari saluran air rumah seseorang; ketika itu dia bersama seorang kawannya. Maka kawannya berkata, "Hai pemilik saluran air, airmu ini suci atau najis?" Maka Umar berkata, "Hai pemilik saluran air, jangan beritahu kami, karena kami dilarang mencari-cari masalah."
Ada sebuah hadis shahih dari Nabi SAW bahwa ada seseorang yang mengadu kepadanya tentang orang yang merasa bahwa dia, merasakan sesuatu, ketika salat atau ketika berada di masjid. Maka Nabi SAW menjawab, "Jangan kembali, sampai dia 'mendengar suara' atau merasa buang angin. "
Dari hadis ini para ulama menetapkan suatu kaidah: "Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan. Dan sesungguhnya orang itu harus berbuat sesuai dengan keyakinan asalnya dan menyingkirkan keraguannya." Inilah cara yang paling pasti untuk menyingkirkan keraguan.
Pada suatu hari Rasulullah SAW pernah menyambut undangan seorang Yahudi. Beliau memakan makanannya dan tidak bertanya apakah halal ataukah tidak? Apakah wadah-wadahnya suci ataukah tidak.
Nabi SAW dan para sahabatnya mengenakan pakaian yang diambil dari mereka, pakaian yang ditenun oleh orang-orang kafir dan wadah yang dibuat oleh mereka. Ketika kaum Muslimin berperang, mereka juga membagi-bagikan wadah, pakaian, kemudian mereka pakai semuanya. Ada riwayat yang shahih bahwa mereka juga mempergunakan air dari wadah air kaum musyrik. [Lihat Bukhari (344); Ibn Rajab, Jami' al-'Ulum wa al-Hikam,1:199.]
Sebaliknya, ada orang-orang yang sangat keras sikapnya karena berpegang kepada hadis shahih dari Nabi saw bahwasanya beliau pernah ditanya tentang bejana Ahli Kitab, yang memakan babi, dan meminum khamar.
Beliau menjawab "Jika kamu tidak menemukan yang lainnya, maka basuhlah dengan air, kemudian makanlah dengan bejana itu."[Muttafaq Alaih, diriwayatkan oleh Bukhari (5478): Muslim (1390) dari Abu Tsa'labah al-Khasyani].
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Fiqh Prioritas, Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah" (Robbani Press, 1996) mengatakan ada orang yang tergolong khawatir yang senantiasa mencari masalah syubhat hingga masalah yang paling kecil sehingga mereka menemukannya.
"Seperti orang-orang yang meragukan binatang sembelihan di negara Barat, hanya karena masalah yang sangat sepele dan remeh," ujarnya.
Mereka mendekatkan masalah yang jauh dan menyamakan hal yang mustahil dengan kenyataan. Mereka mencari-cari dan bertanya-tanya sehingga mereka mempersempit ruang gerak mereka sendiri, yang sebetulnya diluaskan oleh Allah SWT.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diteranglan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu..." ( QS al-Ma'idah : 101)
Al-Qardhawi mengatakan sebagai Muslim tidaklah patut bagi kita untuk mencari-cari hal yang lebih sulit.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah sesungguhnya Nabi Muhammad SAW pernah ditanya, "Sesungguhnya ada suatu kaum yang datang kepada kami dengan membawa daging, dan kami tidak mengetahui apakah mereka menyebut nama Allah ketika menyembelihnya ataukah tidak." Maka Nabi SAW bersabda, "Sebutlah nama Allah dan makanlah."
Imam Ibn Hazm mengambil hadis ini sebagai suatu kaidah: "Sesuatu perkara yang tidak ada pada kami, maka kami tidak akan menanyakannya."
Diriwayatkan bahwasanya Umar ra pernah melintasi sebuah jalan kemudian dia tersiram air dari saluran air rumah seseorang; ketika itu dia bersama seorang kawannya. Maka kawannya berkata, "Hai pemilik saluran air, airmu ini suci atau najis?" Maka Umar berkata, "Hai pemilik saluran air, jangan beritahu kami, karena kami dilarang mencari-cari masalah."
Ada sebuah hadis shahih dari Nabi SAW bahwa ada seseorang yang mengadu kepadanya tentang orang yang merasa bahwa dia, merasakan sesuatu, ketika salat atau ketika berada di masjid. Maka Nabi SAW menjawab, "Jangan kembali, sampai dia 'mendengar suara' atau merasa buang angin. "
Dari hadis ini para ulama menetapkan suatu kaidah: "Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan. Dan sesungguhnya orang itu harus berbuat sesuai dengan keyakinan asalnya dan menyingkirkan keraguannya." Inilah cara yang paling pasti untuk menyingkirkan keraguan.
Pada suatu hari Rasulullah SAW pernah menyambut undangan seorang Yahudi. Beliau memakan makanannya dan tidak bertanya apakah halal ataukah tidak? Apakah wadah-wadahnya suci ataukah tidak.
Nabi SAW dan para sahabatnya mengenakan pakaian yang diambil dari mereka, pakaian yang ditenun oleh orang-orang kafir dan wadah yang dibuat oleh mereka. Ketika kaum Muslimin berperang, mereka juga membagi-bagikan wadah, pakaian, kemudian mereka pakai semuanya. Ada riwayat yang shahih bahwa mereka juga mempergunakan air dari wadah air kaum musyrik. [Lihat Bukhari (344); Ibn Rajab, Jami' al-'Ulum wa al-Hikam,1:199.]
Sebaliknya, ada orang-orang yang sangat keras sikapnya karena berpegang kepada hadis shahih dari Nabi saw bahwasanya beliau pernah ditanya tentang bejana Ahli Kitab, yang memakan babi, dan meminum khamar.
Beliau menjawab "Jika kamu tidak menemukan yang lainnya, maka basuhlah dengan air, kemudian makanlah dengan bejana itu."[Muttafaq Alaih, diriwayatkan oleh Bukhari (5478): Muslim (1390) dari Abu Tsa'labah al-Khasyani].
(mhy)