Kisah Sultan Baybars Mengusir Bangsa Mongol dari Mesir saat Daulah Abbasiyah Runtuh
Rabu, 20 November 2024 - 19:39 WIB
Sultan Al-Zahir Ruknuddin Baybars adalah sultan Daulah Mamalik di Mesir. Dia salah satu sultan yang legendaris. Pada saat Daulah Abbasiyah yang berpusat di Baghdad runtuh akibat dibumihanguskan Bangsa Mongol , Sultan Baybars justru dapat mengusir tentara Tartar itu dari Mesir.
Dr. H. Syamruddin Nasution, M.Ag dalam bukunya berjudul "Sejarah Peradaban Islam" (Yayasan Pusaka Riau, 2013) mencatat setelah Mesir dipimpin oleh sultan-sultan Daulah Mamalik, mereka melakukan penataan pembangunan di berbagai bidang. Hal ini terutama ketika dipimpin Sultan Al-Zahir Baybars dan Sultan Al-Mansur Qalawun.
"Di tangan dua orang Sultan inilah peradaban Islam tampak cemerlang di Mesir menjadi pusat kemajuan Islam saat itu, walaupun tidak dapat mengimbangi kejayaan yang telah dicapai Baghdad dan Cordova Spanyol," tulis Syamruddin Nasution.
Di saat Sultan Al-Zahir Ruknuddin Baybars berkuasa di Mesir, ia bercita-cita ingin mengikuti langkah-langkah yang telah pernah ditempuh oleh sultan-sultan sebelumnya, seperti yang telah dilakukan Salahuddin Al-Ayyubi dalam melawan dan mendesak kaum Salib terdahulu.
Sejarah mencatat betapa dahsyatnya pertempuran yang terjadi di perbatasan Suriah pada tahun 1260 M yang lebih terkenal dengan pertempuran “Ainul Jalut”.
Kala itu, tentara Mesir yang dikomandoi oleh Atabek Quthuz dengan panglima perangnya Ruknuddin Baybars sendiri telah mampu menghancurkan tentara perang Tartar Mongol yang dipimpin oleh panglima perangnya Kith yang beragama Kristen Nestarian.
Sejak itu tamatlah riwayat Tartar Mongol pengacau dunia Islam itu.
Kaum muslimin menyambut baik kemenangan ini dan memberikan apresiasi yang hangat kepada tentara Mamluk bahkan orang-orang Sunni di Damaskus menyambut kemenangan itu dengan menyerang orang-orang Kristen, Yahudi dan Syi’ah yang selama ini dicurigai bekerja sama dengan tentara Mongol.
Penguasa-penguasa di Suriah menyatakan loyalitas mereka kepada sultan-sultan Daulah Mamalik.
Selanjutnya Sultan Ibn Baybars mengejar, menyerang dan mengalahkan tentara Mongol di dekat Damaskus ibu kota Suriah (1303) sehingga Sultan Mamalik dapat membersihkan sisa-sisa tentara Mongol mulai dari Mesir sampai ke Suriah dan dapat kembali merebut seluruh wilayah tersebut dari tangan musuh.
Faktor kemenangan Baybars dalam usahanya mempertahankan Mesir dari serangan Mongol adalah strateginya yang menyerang ke luar Mesir tidak bertahan, sebab pertahanan yang paling kuat menghadapi musuh adalah menyerang, seperti yang telah dilakukan oleh Salahuddin Al-Ayyubi.
Sedangkan di pihak musuh menganggap remeh kepada tentara Islam karena ibu kota negara Islam (Baghdad) telah dihancurkan, maka semangat jihadnya telah hilang karena itu dia datang hanya dengan sejumlah kecil tentara.
Akan tetapi perkiraan mereka itu meleset, semangat tentara Islam masih kuat terutama menghadapi serangan Mongol.
Selain itu, kemampuan perang orang Mamalik ini sangat mahir karena mereka memang berbakat perang sehingga Mongol tidak dapat menghadapi mereka.
Mengangkat Khalifah
Oleh karena itu Mesir terbebas dari serangan musuh. Baybars membuat satu peristiwa besar dalam pemerintahannya yaitu melakukan bai’at tehadap Al-Mustansir (1226-1242) sebagai Khalifah.
Adapun Al-Mustansir berasal dari keturunan Abbasiyah yang melarikan diri dari Baghdad ke Mesir sewaktu Baghdad diserang pasukan Hulaqu Khan bangsa Mongol.
Dia karena berasal dari keturunan Abbasiyah masih diakui kaum muslimin sebagai Khalifah walaupun hanya simbol belaka. Dia memberikan pengesahan kepada Baybars menjadi Sultan untuk wilayah Mesir, Suriah, Hijaz, Yaman dan daerah Sungai Furat.
Dengan demikian Sultan Baybars mendapat legalitas dari Khalifah atas seluruh wilayah kekuasaannya.
Sebaiknya Sultan Baybars melindungi Khalifah dan jabatan tersebut di bawah kekuasaan Daulah Mamalik di Mesir. Walaupun jabatan Khalifah yang berada dalam lindungan Daulah Mamalik ini hanya lambang bagi dunia Islam yang tidak mempunyai wewenang, akan tetapi setiap penguasa dalam dunia Islam merasa memperoleh kehormatan apabila mendapat restu dari Khalifah yang berkedudukan di Mesir ini.
Secara politis jabatan “lambang Khalifah” itu masih perlu dipertahankan karena dia berfungsi sebagai alat pemersatu umat Islam seluruh Dunia.
Dengan adanya jabatan itu berarti eksistensi umat Islam secara politis masih tetap diakui dan dipersatukan melalui lambang Khalifah tersebut.
Dengan demikian, walaupun Baghdad telah hancur akan tetapi lambang pemerintahan sebagai pengakuan terhadap eksistensi Umat Islam masih dapat dipertahankan di Mesir di bawah lindungan Daulah Mamalik.
Hal ini berlangsung lebih kurang dua setengah abad di bawah 15 Sultan (660-929 H/1260-1515 M).
Pada saat datangnya serangan Sultan Salim I dari Turki Utsmani ke Mesir, jabatan kekhalifahan diserahterimakan dari Bani Abbas kepada Bani Utsman (Turki Utsmani).
Setelah Sultan Daulah Mamalik berganti dari Baybars ke Sultan Al-Malik Al-Zahir Saifuddin Al-Barquq datang lagi serangan bangsa Tar-tar kedua ke Mesir di bawah pimpinan Timur Lenk.
Tentara Timur Lenk dapat dipukul mundur oleh pasukan Sultan Malik Al-Zahir, sehingga untuk ketiga kalinya Mesir dapat dipertahankan dari serangan musuh yang hendak menghancurkannya.
Dr. H. Syamruddin Nasution, M.Ag dalam bukunya berjudul "Sejarah Peradaban Islam" (Yayasan Pusaka Riau, 2013) mencatat setelah Mesir dipimpin oleh sultan-sultan Daulah Mamalik, mereka melakukan penataan pembangunan di berbagai bidang. Hal ini terutama ketika dipimpin Sultan Al-Zahir Baybars dan Sultan Al-Mansur Qalawun.
"Di tangan dua orang Sultan inilah peradaban Islam tampak cemerlang di Mesir menjadi pusat kemajuan Islam saat itu, walaupun tidak dapat mengimbangi kejayaan yang telah dicapai Baghdad dan Cordova Spanyol," tulis Syamruddin Nasution.
Di saat Sultan Al-Zahir Ruknuddin Baybars berkuasa di Mesir, ia bercita-cita ingin mengikuti langkah-langkah yang telah pernah ditempuh oleh sultan-sultan sebelumnya, seperti yang telah dilakukan Salahuddin Al-Ayyubi dalam melawan dan mendesak kaum Salib terdahulu.
Sejarah mencatat betapa dahsyatnya pertempuran yang terjadi di perbatasan Suriah pada tahun 1260 M yang lebih terkenal dengan pertempuran “Ainul Jalut”.
Kala itu, tentara Mesir yang dikomandoi oleh Atabek Quthuz dengan panglima perangnya Ruknuddin Baybars sendiri telah mampu menghancurkan tentara perang Tartar Mongol yang dipimpin oleh panglima perangnya Kith yang beragama Kristen Nestarian.
Sejak itu tamatlah riwayat Tartar Mongol pengacau dunia Islam itu.
Kaum muslimin menyambut baik kemenangan ini dan memberikan apresiasi yang hangat kepada tentara Mamluk bahkan orang-orang Sunni di Damaskus menyambut kemenangan itu dengan menyerang orang-orang Kristen, Yahudi dan Syi’ah yang selama ini dicurigai bekerja sama dengan tentara Mongol.
Penguasa-penguasa di Suriah menyatakan loyalitas mereka kepada sultan-sultan Daulah Mamalik.
Baca Juga
Selanjutnya Sultan Ibn Baybars mengejar, menyerang dan mengalahkan tentara Mongol di dekat Damaskus ibu kota Suriah (1303) sehingga Sultan Mamalik dapat membersihkan sisa-sisa tentara Mongol mulai dari Mesir sampai ke Suriah dan dapat kembali merebut seluruh wilayah tersebut dari tangan musuh.
Faktor kemenangan Baybars dalam usahanya mempertahankan Mesir dari serangan Mongol adalah strateginya yang menyerang ke luar Mesir tidak bertahan, sebab pertahanan yang paling kuat menghadapi musuh adalah menyerang, seperti yang telah dilakukan oleh Salahuddin Al-Ayyubi.
Sedangkan di pihak musuh menganggap remeh kepada tentara Islam karena ibu kota negara Islam (Baghdad) telah dihancurkan, maka semangat jihadnya telah hilang karena itu dia datang hanya dengan sejumlah kecil tentara.
Akan tetapi perkiraan mereka itu meleset, semangat tentara Islam masih kuat terutama menghadapi serangan Mongol.
Selain itu, kemampuan perang orang Mamalik ini sangat mahir karena mereka memang berbakat perang sehingga Mongol tidak dapat menghadapi mereka.
Mengangkat Khalifah
Oleh karena itu Mesir terbebas dari serangan musuh. Baybars membuat satu peristiwa besar dalam pemerintahannya yaitu melakukan bai’at tehadap Al-Mustansir (1226-1242) sebagai Khalifah.
Adapun Al-Mustansir berasal dari keturunan Abbasiyah yang melarikan diri dari Baghdad ke Mesir sewaktu Baghdad diserang pasukan Hulaqu Khan bangsa Mongol.
Dia karena berasal dari keturunan Abbasiyah masih diakui kaum muslimin sebagai Khalifah walaupun hanya simbol belaka. Dia memberikan pengesahan kepada Baybars menjadi Sultan untuk wilayah Mesir, Suriah, Hijaz, Yaman dan daerah Sungai Furat.
Dengan demikian Sultan Baybars mendapat legalitas dari Khalifah atas seluruh wilayah kekuasaannya.
Sebaiknya Sultan Baybars melindungi Khalifah dan jabatan tersebut di bawah kekuasaan Daulah Mamalik di Mesir. Walaupun jabatan Khalifah yang berada dalam lindungan Daulah Mamalik ini hanya lambang bagi dunia Islam yang tidak mempunyai wewenang, akan tetapi setiap penguasa dalam dunia Islam merasa memperoleh kehormatan apabila mendapat restu dari Khalifah yang berkedudukan di Mesir ini.
Secara politis jabatan “lambang Khalifah” itu masih perlu dipertahankan karena dia berfungsi sebagai alat pemersatu umat Islam seluruh Dunia.
Dengan adanya jabatan itu berarti eksistensi umat Islam secara politis masih tetap diakui dan dipersatukan melalui lambang Khalifah tersebut.
Dengan demikian, walaupun Baghdad telah hancur akan tetapi lambang pemerintahan sebagai pengakuan terhadap eksistensi Umat Islam masih dapat dipertahankan di Mesir di bawah lindungan Daulah Mamalik.
Baca Juga
Hal ini berlangsung lebih kurang dua setengah abad di bawah 15 Sultan (660-929 H/1260-1515 M).
Pada saat datangnya serangan Sultan Salim I dari Turki Utsmani ke Mesir, jabatan kekhalifahan diserahterimakan dari Bani Abbas kepada Bani Utsman (Turki Utsmani).
Setelah Sultan Daulah Mamalik berganti dari Baybars ke Sultan Al-Malik Al-Zahir Saifuddin Al-Barquq datang lagi serangan bangsa Tar-tar kedua ke Mesir di bawah pimpinan Timur Lenk.
Tentara Timur Lenk dapat dipukul mundur oleh pasukan Sultan Malik Al-Zahir, sehingga untuk ketiga kalinya Mesir dapat dipertahankan dari serangan musuh yang hendak menghancurkannya.
(mhy)