Inilah Dosa Istri Nabi Luth sehingga Binasa Bersama Kaum Sodom
Rabu, 15 April 2020 - 11:51 WIB
"Kami hidup bersama suamiku, Luth namanya, dan dua anak perempuanku," jawab Wa’ilah ketika perempuan tua itu tentang dirinya.
Mata perempuan itu menelisik sekeliling rumah yang kecil itu. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya seakan-akan prihatin akan apa yang dilihatnya. Dengan wajah yang memperlihatkan kesedihan, perempuan tua itu berkata: "Aduhai, apakah kesengsaraan menimpamu, Anakku?"
"Aku tidak sengsara, bahkan rumah ini cukup bagi kami, dan aku mempunyai suami yang memberiku makan dan minum bersama kedua putriku," jawab Wa’ilah.
Perempuan tua lebih mendekat kepada istri Nabi Luth sambil berkata: "Dapatkah ruangan seperti ini disebut rumah? Dapatkah yang engkau teguk dan engkau rasakan ini disebut makanan atau minuman?"
Wa’ilah tertegun mendengar ucapan perempuan tuan itu. Dengan penuh keheranan, ia kemudian bertanya. "Kalau begitu, apa yang selama ini kumakan dan kuminum?"
Cepat-cepat perempuan tua itu berkata: "Panggillah aku dengan sebutan ibu. Bukankah kedudukanku seperti ibu saudaramu?"
Kemudian ia berbicara lagi. "Sesungguhnya semua ini adalah kemiskinan dan kesengsaraan hidup yang membawa kemalangan bagimu, hai anakku. Mengapa kamu tidak masuk ke rumah orang-orang kaya di antara kaummu. Tidakkah kamu melihat kehidupan mereka yang penuh kemegahan, kesenangan, dan kenikmatan?”
“Kamu berparas cantik, hai anakku. Tidak layak kamu membiarkan kecantikanmu itu dalam kemiskinan hina begini. Tidakkah kamu sadari bahwa kamu tidak mempunyai anak lelaki yang dapat bekerja untuk memberimu makan kelak apabila suamimu meninggal dunia?" tutur perempuan tua itu.
Wa’ilah mendengarkan dengan seksama semua ucapan perempuan tua itu. Ya, ucapan itu telah membuatnya terlena. Sesekali ia perhatikan perempuan tua yang semakin mengeraskan suaranya, dengan penuh nada kesedihan dan kedukaan. Dalam lamunannya itu, tiba-tiba Wa’ilah merasakan pelukan perempuan tua itu di bahunya.
Wa’ilah memandang perempuan tua itu sembari berusaha meneliti kalimat-kalimat yang baru didengarnya. Tetapi si perempuan tua tidak memberinya kesempatan untuk berpikir. Ia terus saja bicara. "Hai, anakku, apakah yang dikerjakan suamimu? Bagaimana hubungannya dengan penduduk Negeri Sodom dan kampung-kampung kecil di sekelilingnya?”
“Sesungguhnya orang-orang di sini menginginkan sesuatu yang dapat menyenangkan hati mereka sesuai dengan yang mereka kehendaki. Dan sesuatu yang dicarinya itu dapat menjadi sumber penghasilan dan kekayaan bagi orang yang mau membantu mereka”.
“Lihatlah! Lihatlah, hai anakku, kepingan-kepingan emas dan perak ini!” ujarnya, kemudian sembari menunjukkan koin emas dan perak kepada Wa’ilah. “Sesungguhnya emas dan perak bagiku adalah barang yang mudah kuperoleh,” lanjutnya.
Belum lagi Wa’ilah bertanya, perempuan tua itu menjelaskan, “Aku menunjukkan kepada kaumku beberapa lelaki berwajah 'cantik' yang datang dari kota. Sedangkan kamu... di rumahmu sering datang beberapa pemuda dan remaja lelaki kepada suamimu”.
“Ya, suamimu yang seruannya diperolok-olok oleh kaum kita,” ujarnya lagi.
Perempuan tua itu lalu menawati perkerjaan itu kepada Wa’ilah. “Pekerjaan semacam ini sebenarnya tidak memberatkan kamu. Suruhlah salah seorang putrimu menemui sekelompok kaum kita dan memberitahu mereka akan adanya lelaki tampan di rumahmu. Dengan demikian, engkau akan memperoleh emas atau perak sebagai hadiahnya setiap kali engkau kerjakan itu. Dengan itu, engkau bersama putri-putrimu dapat merasakan kenikmatan sesuai dengan apa yang kalian kehendaki."
Perempuan tua itu lalu meletakkan dua keping perak di tangan Wa’ilah, sembari berpamitan.
Istri Nabi Luth duduk sembari merenungkan peristiwa yang baru saja terjadi itu. Ia seperti bingung sehingga berputar-putar di sekitar rumahnya. Suara perempuan tua itu masih terngiang-ngiang di telinganya, sementara di tangannya terselip dua keping perak.
Wa’ilah dibayangi keraguan apakah sebaiknya ia terima saja saran perempuan tua itu. Tetapi, apa yang akan dikatakan orang nanti tentang dirinya jika hal itu ia lakukan; bahwa istri seorang yang mengaku sebagai Rasul Allah dan menyerukan kebajikan, ternyata, menolong kaumnya dalam melakukan kebatilan.
Tiba-tiba datang suara yang membisikkan ke telinganya: "Perempuan tua itu telah menasihatimu. Ia tidak mengharapkan sesuatu kecuali kebaikan dan kebahagiaan bagimu. Kamu tidak bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh kaummu. Dan lagi pekerjaan yang disarankan perempuan tua itu sangat mudah. Kamu hanya memberitahu mereka tentang kedatangan tamu-tamu suamimu, Luth.”
Tiba-tiba, tanpa ragu-ragu, Wa’ilah berkata: "Baiklah, kuterima..."
Mata perempuan itu menelisik sekeliling rumah yang kecil itu. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya seakan-akan prihatin akan apa yang dilihatnya. Dengan wajah yang memperlihatkan kesedihan, perempuan tua itu berkata: "Aduhai, apakah kesengsaraan menimpamu, Anakku?"
"Aku tidak sengsara, bahkan rumah ini cukup bagi kami, dan aku mempunyai suami yang memberiku makan dan minum bersama kedua putriku," jawab Wa’ilah.
Perempuan tua lebih mendekat kepada istri Nabi Luth sambil berkata: "Dapatkah ruangan seperti ini disebut rumah? Dapatkah yang engkau teguk dan engkau rasakan ini disebut makanan atau minuman?"
Wa’ilah tertegun mendengar ucapan perempuan tuan itu. Dengan penuh keheranan, ia kemudian bertanya. "Kalau begitu, apa yang selama ini kumakan dan kuminum?"
Cepat-cepat perempuan tua itu berkata: "Panggillah aku dengan sebutan ibu. Bukankah kedudukanku seperti ibu saudaramu?"
Kemudian ia berbicara lagi. "Sesungguhnya semua ini adalah kemiskinan dan kesengsaraan hidup yang membawa kemalangan bagimu, hai anakku. Mengapa kamu tidak masuk ke rumah orang-orang kaya di antara kaummu. Tidakkah kamu melihat kehidupan mereka yang penuh kemegahan, kesenangan, dan kenikmatan?”
“Kamu berparas cantik, hai anakku. Tidak layak kamu membiarkan kecantikanmu itu dalam kemiskinan hina begini. Tidakkah kamu sadari bahwa kamu tidak mempunyai anak lelaki yang dapat bekerja untuk memberimu makan kelak apabila suamimu meninggal dunia?" tutur perempuan tua itu.
Wa’ilah mendengarkan dengan seksama semua ucapan perempuan tua itu. Ya, ucapan itu telah membuatnya terlena. Sesekali ia perhatikan perempuan tua yang semakin mengeraskan suaranya, dengan penuh nada kesedihan dan kedukaan. Dalam lamunannya itu, tiba-tiba Wa’ilah merasakan pelukan perempuan tua itu di bahunya.
Wa’ilah memandang perempuan tua itu sembari berusaha meneliti kalimat-kalimat yang baru didengarnya. Tetapi si perempuan tua tidak memberinya kesempatan untuk berpikir. Ia terus saja bicara. "Hai, anakku, apakah yang dikerjakan suamimu? Bagaimana hubungannya dengan penduduk Negeri Sodom dan kampung-kampung kecil di sekelilingnya?”
“Sesungguhnya orang-orang di sini menginginkan sesuatu yang dapat menyenangkan hati mereka sesuai dengan yang mereka kehendaki. Dan sesuatu yang dicarinya itu dapat menjadi sumber penghasilan dan kekayaan bagi orang yang mau membantu mereka”.
“Lihatlah! Lihatlah, hai anakku, kepingan-kepingan emas dan perak ini!” ujarnya, kemudian sembari menunjukkan koin emas dan perak kepada Wa’ilah. “Sesungguhnya emas dan perak bagiku adalah barang yang mudah kuperoleh,” lanjutnya.
Belum lagi Wa’ilah bertanya, perempuan tua itu menjelaskan, “Aku menunjukkan kepada kaumku beberapa lelaki berwajah 'cantik' yang datang dari kota. Sedangkan kamu... di rumahmu sering datang beberapa pemuda dan remaja lelaki kepada suamimu”.
“Ya, suamimu yang seruannya diperolok-olok oleh kaum kita,” ujarnya lagi.
Perempuan tua itu lalu menawati perkerjaan itu kepada Wa’ilah. “Pekerjaan semacam ini sebenarnya tidak memberatkan kamu. Suruhlah salah seorang putrimu menemui sekelompok kaum kita dan memberitahu mereka akan adanya lelaki tampan di rumahmu. Dengan demikian, engkau akan memperoleh emas atau perak sebagai hadiahnya setiap kali engkau kerjakan itu. Dengan itu, engkau bersama putri-putrimu dapat merasakan kenikmatan sesuai dengan apa yang kalian kehendaki."
Perempuan tua itu lalu meletakkan dua keping perak di tangan Wa’ilah, sembari berpamitan.
Istri Nabi Luth duduk sembari merenungkan peristiwa yang baru saja terjadi itu. Ia seperti bingung sehingga berputar-putar di sekitar rumahnya. Suara perempuan tua itu masih terngiang-ngiang di telinganya, sementara di tangannya terselip dua keping perak.
Wa’ilah dibayangi keraguan apakah sebaiknya ia terima saja saran perempuan tua itu. Tetapi, apa yang akan dikatakan orang nanti tentang dirinya jika hal itu ia lakukan; bahwa istri seorang yang mengaku sebagai Rasul Allah dan menyerukan kebajikan, ternyata, menolong kaumnya dalam melakukan kebatilan.
Tiba-tiba datang suara yang membisikkan ke telinganya: "Perempuan tua itu telah menasihatimu. Ia tidak mengharapkan sesuatu kecuali kebaikan dan kebahagiaan bagimu. Kamu tidak bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh kaummu. Dan lagi pekerjaan yang disarankan perempuan tua itu sangat mudah. Kamu hanya memberitahu mereka tentang kedatangan tamu-tamu suamimu, Luth.”
Tiba-tiba, tanpa ragu-ragu, Wa’ilah berkata: "Baiklah, kuterima..."