Keburukan Boleh Dilakukan dalam Dua Kondisi Berikut Ini
Senin, 21 September 2020 - 05:00 WIB
IMAM Hasan al-Banna , pernah mengeluarkan fatwa ketika dia ditanya oleh orang-orang yang berselisih pendapat mengenai salat tarawih : apakah ia harus dilakukan sebanyak 23 rakaat seperti yang dilakukan di al-Haramain dan tempat-tempat lain, dan seperti yang masyhur dalam mazhab yang empat; ataukah salat itu dilakukan sebanyak 8 rakaat, sebagaimana yang dianjurkan oleh para ulama salaf? (
)
Dalam pada itu, semua penduduk desa yang bertanya kepada Syaikh al-Banna nyaris saling baku hantam karena persoalan ini.
Syaikh al-Banna lalu memberikan pandangan kepada mereka bahwa sesungguhnya salat tarawih itu hukumnya sunnah dan persatuan umat Islam itu hukumnya wajib . Lalu, bagaimana mungkin orang-orang itu mengabaikan sesuatu yang fardhu untuk melakukan perkara yang hukumnya sunnah. ( (1) dan ( 2 )
"Kalau mereka akan salat di rumah-rumah mereka tanpa melakukan permusuhan dan pergaduhan, tentu hal itu akan lebih baik dan dianggap lebih benar," ujar Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya yang berjudul " Fiqh Prioritas " mengutip Syaikh Al-Banna.
Kebaikan Vs Keburukan
Syaikh Islam, Ibn Taimiyah juga pernah membahas tentang pertentangan antara kebaikan dan keburukan sebagai berikut:
"Kalau kebaikan itu betul-betul mendatangkan manfaat sekaligus wajib dikerjakan, dan jika ia ditinggalkan akan mengandung bahaya, tetapi pada saat yang sama dalam keburukan juga terhadap bahaya, sedangkan dalam perkara yang makruh ada sebagian kebaikan, maka pertentangan itu dapat terjadi antara dua kebaikan yang tidak mungkin digabungkan antara keduanya.
Sehingga kebaikan yang dianggap lebih baik harus didahulukan atas kebaikan yang kurang baik. Atau, pertentangan itu juga bisa terjadi antara dua keburukan yang tidak mungkin dihindarkan keduanya, sehingga harus dipilih keburukan yang lebih ringan bahayanya.
Selain itu, pertentangan juga dapat terjadi antara kebaikan dan keburukan yang keduanya tidak dapat dipisahkan karena kebaikan itu, jika dilakukan akan mendatangkan keburukan, atau jika keburukan itu ditinggalkan akan mengakibatkan ditinggalkannya kebaikan. Sehingga untuk kasus seperti ini harus dipilih yang lebih baik di antara manfaat kebaikan dan bahaya keburukan."
Pertama, adalah seperti sesuatu yang wajib dan yang dianjurkan. Misalnya fardhu 'ain dan fardhu kifayah; dan mendahulukan pembayaran utang atas sedekah yang hukumnya sunnah. ( )
Kedua, adalah seperti mendahulukan pemberian nafkah kepada keluarga atas pemberian nafkah untuk perjuangan yang belum sampai kepada fardhu 'ain. Dan mendahulukan pemberian nafkah kepada kedua orangtua atas jihad; sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis sahih, "Perbuatan apakah yang paling mulia?"
Nabi menjawab, "Salat tepat pada waktunya." Saya berkata, "Lalu apa lagi?" Beliau menjawab, "Berbuat baik kepada kedua orangtua." Saya berkata, "Lalu apa lagi?" Beliau menjawab, "Berjuang di jalan Allah." ( )
Mendahulukan jihad atas haji, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an dan Sunnah, merupakan pendahuluan fardhu 'ain atas fardhu 'ain yang lain, mendahulukan sesuatu yang dianjurkan atas sesuatu yang dianjurkan lainnya.
Begitu pula halnya dengan mendahulukan bacaan al-Qur'an atas zikir karena keduanya sama-sama amalan hati dan lisan; dan mendahulukan salat atas kedua hal itu, karena salat juga merupakan amalan hati. Jika tidak, maka zikir dengan pemahaman dan getaran hati akan didahulukan atas bacaan al-Qur'an yang tidak melampaui batas tenggorokan. Pembahasan seperti ini akan menjadi sangat luas sekali. ( )
Ketiga, ialah seperti mendahulukan wanita yang berhijrah dengan perjalanan tanpa mahram atas tetapnya wanita itu di kawasan musuh (dar al-harb); sebagaimana dilakukan oleh Umm al-Mu'minin Kultsum, di mana ada sebuat ayat al-Qur'an yang diturunkan mengenai dirinya.
"Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka..." (QS al-Mumtahanah: 10)
Terpaksa Membunuh
Begitu pula persoalan yang berkaitan dengan peperangan.
Sesungguhnya kita dilarang membunuh orang-orang yang tidak ikut berperang, seperti para wanita, anak-anak dan lain-lain. Akan tetapi kadang-kadang kita terpaksa membunuh mereka karena tidak sengaja, misalnya kalau kita melemparkan granat dan melancarkan serangan di waktu malam, maka kita diperbolehkan melakukannya --tentu saja dengan perhitungan yang matang.
Sebagaimana yang pernah terjadi dalam sunnah Rasulullah ketika mengepung Thaif dan melempari mereka dengan manjanik. Di sana terdapat orang-orang musyrik, sehingga pelemparan manjanik yang dimaksudkan untuk melenyapkan fitnah tersebut terpaksa membunuh orang-orang yang seharusnya tidak boleh dibunuh.
Begitu pula halnya dengan orang yang dijadikan sebagai "tameng hidup" oleh musuh, seperti yang disebutkan oieh para fuqaha. Karena sesungguhnya peperangan adalah untuk menyingkirkan fitnah orang-orang kafir, tetapi tindakan ini mesti disertai dengan risiko yang tingkatnya berada di bawah bahaya tersebut.
Oleh sebab itu, para fuqaha sepakat bahwa jika tidak mungkin melenyapkan fitnah tersebut dari umat Islam kecuali dengan mengorbankan umat Islam yang menjadi "tameng hidup" tersebut, maka kita diperbolehkan untuk mengorbankan mereka. Akan tetapi jika bahaya itu tidak begitu besar tetapi bahaya tersebut tidak dapat disingkirkan kecuali dengan mengambil tindakan tersebut, maka ada dua pandangan yang berkaitan dengan membunuh "tameng hidup" itu.
Keempat, adalah seperti makan bangkai binatang ketika seseorang berada di dalam kesempitan. Dia harus memakan makanan yang tidak baik itu, karena kemaslahatanya telah tampak. Sebaliknya, ialah seperti obat yang buruk, karena bahayanya dipandang lebih kuat daripada manfaatnya untuk menyembuhkan penyakit, sementara ada obat lain yang dapat menggantikannya; sebab kesembuhan itu hanya diyakini berasal dari obat yang baik. Dan begitu pula halnya meminum khamar sebagai obat: tidak boleh dilakukan.
Dua Kondisi
Dari uraian tersebut, Syaikh Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan, bahwa keburukan boleh dilakukan dalam dua kondisi. Pertama, ketika kita menyingkirkan keburukan yang lebih buruk daripada keburukan yang pertama, di mana tidak ada pilihan lain kecuali melakukan keburukan yang kedua itu.
Kedua, ketika kita melakukan keburukan itu kita dapat memperoleh sesuatu yang lebih bermanfaat daripada tidak melakukannya.
Begitu pula halnya dengan kebaikan. Kebaikan itu dapat kita tinggalkan dalam dua kondisi: Apabila kita melakukan kebaikan itu akan melepaskan kesempatan untuk memperoleh kebaikan yang lebih baik daripada kebaikan yang pertama. Atau, apabila kita melakukan kebaikan itu, akan mendatangkan atau menambah bahaya yang mengancam kita. Pembahasan ini berkaitan dengan pertimbangan agama.
Ada lagi hukum yang berkaitan dengan gugurnya kewajiban karena adanya bahaya di dunia, dan bolehnya melakukan perkara-perkara yang diharamkan untuk keperluan dunia, seperti bolehnya berbuka puasa karena sedang bepergian, dan gugurnya hal-hal yang dilarang dalam ihram dan rukun salat karena sakit.
Perkara-perkara ini termasuk dalam bab lain, yaitu keleluasaan agama dan menghapus kesusahan yang banyak sekali aturannya di dalam syari'ah. Persoalan ini berbeda dengan persoalan yang kita bicarakan sebelumnya, di mana syari'ah tidak memberikan aturan yang berbeda-beda walaupun kasusnya berbeda-beda, tetapi tetap di dalam pandangan akal. Sebagaimana dikatakan:
"Orang yang berakal itu bukanlah orang yang mengetahui kebaikan dari kejelekan, tetapi orang yang berakal ialah orang yang mengetahui yang terbaik di antara dua hal yang baik dan mengetahui yang terburuk di antara dua hal yang buruk."
"Sesungguhnya orang yang berakal itu apabila mendapati dua penyakit dalam tubuhnya, maka dia akan mengobati yang lebih berbahaya."
Begitulah yang seharusnya diberlakukan dalam semua persoalan.
Dalam pada itu, semua penduduk desa yang bertanya kepada Syaikh al-Banna nyaris saling baku hantam karena persoalan ini.
Syaikh al-Banna lalu memberikan pandangan kepada mereka bahwa sesungguhnya salat tarawih itu hukumnya sunnah dan persatuan umat Islam itu hukumnya wajib . Lalu, bagaimana mungkin orang-orang itu mengabaikan sesuatu yang fardhu untuk melakukan perkara yang hukumnya sunnah. ( (1) dan ( 2 )
"Kalau mereka akan salat di rumah-rumah mereka tanpa melakukan permusuhan dan pergaduhan, tentu hal itu akan lebih baik dan dianggap lebih benar," ujar Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya yang berjudul " Fiqh Prioritas " mengutip Syaikh Al-Banna.
Kebaikan Vs Keburukan
Syaikh Islam, Ibn Taimiyah juga pernah membahas tentang pertentangan antara kebaikan dan keburukan sebagai berikut:
"Kalau kebaikan itu betul-betul mendatangkan manfaat sekaligus wajib dikerjakan, dan jika ia ditinggalkan akan mengandung bahaya, tetapi pada saat yang sama dalam keburukan juga terhadap bahaya, sedangkan dalam perkara yang makruh ada sebagian kebaikan, maka pertentangan itu dapat terjadi antara dua kebaikan yang tidak mungkin digabungkan antara keduanya.
Sehingga kebaikan yang dianggap lebih baik harus didahulukan atas kebaikan yang kurang baik. Atau, pertentangan itu juga bisa terjadi antara dua keburukan yang tidak mungkin dihindarkan keduanya, sehingga harus dipilih keburukan yang lebih ringan bahayanya.
Selain itu, pertentangan juga dapat terjadi antara kebaikan dan keburukan yang keduanya tidak dapat dipisahkan karena kebaikan itu, jika dilakukan akan mendatangkan keburukan, atau jika keburukan itu ditinggalkan akan mengakibatkan ditinggalkannya kebaikan. Sehingga untuk kasus seperti ini harus dipilih yang lebih baik di antara manfaat kebaikan dan bahaya keburukan."
Pertama, adalah seperti sesuatu yang wajib dan yang dianjurkan. Misalnya fardhu 'ain dan fardhu kifayah; dan mendahulukan pembayaran utang atas sedekah yang hukumnya sunnah. ( )
Kedua, adalah seperti mendahulukan pemberian nafkah kepada keluarga atas pemberian nafkah untuk perjuangan yang belum sampai kepada fardhu 'ain. Dan mendahulukan pemberian nafkah kepada kedua orangtua atas jihad; sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis sahih, "Perbuatan apakah yang paling mulia?"
Nabi menjawab, "Salat tepat pada waktunya." Saya berkata, "Lalu apa lagi?" Beliau menjawab, "Berbuat baik kepada kedua orangtua." Saya berkata, "Lalu apa lagi?" Beliau menjawab, "Berjuang di jalan Allah." ( )
Mendahulukan jihad atas haji, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an dan Sunnah, merupakan pendahuluan fardhu 'ain atas fardhu 'ain yang lain, mendahulukan sesuatu yang dianjurkan atas sesuatu yang dianjurkan lainnya.
Begitu pula halnya dengan mendahulukan bacaan al-Qur'an atas zikir karena keduanya sama-sama amalan hati dan lisan; dan mendahulukan salat atas kedua hal itu, karena salat juga merupakan amalan hati. Jika tidak, maka zikir dengan pemahaman dan getaran hati akan didahulukan atas bacaan al-Qur'an yang tidak melampaui batas tenggorokan. Pembahasan seperti ini akan menjadi sangat luas sekali. ( )
Ketiga, ialah seperti mendahulukan wanita yang berhijrah dengan perjalanan tanpa mahram atas tetapnya wanita itu di kawasan musuh (dar al-harb); sebagaimana dilakukan oleh Umm al-Mu'minin Kultsum, di mana ada sebuat ayat al-Qur'an yang diturunkan mengenai dirinya.
"Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka..." (QS al-Mumtahanah: 10)
Terpaksa Membunuh
Begitu pula persoalan yang berkaitan dengan peperangan.
Sesungguhnya kita dilarang membunuh orang-orang yang tidak ikut berperang, seperti para wanita, anak-anak dan lain-lain. Akan tetapi kadang-kadang kita terpaksa membunuh mereka karena tidak sengaja, misalnya kalau kita melemparkan granat dan melancarkan serangan di waktu malam, maka kita diperbolehkan melakukannya --tentu saja dengan perhitungan yang matang.
Sebagaimana yang pernah terjadi dalam sunnah Rasulullah ketika mengepung Thaif dan melempari mereka dengan manjanik. Di sana terdapat orang-orang musyrik, sehingga pelemparan manjanik yang dimaksudkan untuk melenyapkan fitnah tersebut terpaksa membunuh orang-orang yang seharusnya tidak boleh dibunuh.
Begitu pula halnya dengan orang yang dijadikan sebagai "tameng hidup" oleh musuh, seperti yang disebutkan oieh para fuqaha. Karena sesungguhnya peperangan adalah untuk menyingkirkan fitnah orang-orang kafir, tetapi tindakan ini mesti disertai dengan risiko yang tingkatnya berada di bawah bahaya tersebut.
Oleh sebab itu, para fuqaha sepakat bahwa jika tidak mungkin melenyapkan fitnah tersebut dari umat Islam kecuali dengan mengorbankan umat Islam yang menjadi "tameng hidup" tersebut, maka kita diperbolehkan untuk mengorbankan mereka. Akan tetapi jika bahaya itu tidak begitu besar tetapi bahaya tersebut tidak dapat disingkirkan kecuali dengan mengambil tindakan tersebut, maka ada dua pandangan yang berkaitan dengan membunuh "tameng hidup" itu.
Keempat, adalah seperti makan bangkai binatang ketika seseorang berada di dalam kesempitan. Dia harus memakan makanan yang tidak baik itu, karena kemaslahatanya telah tampak. Sebaliknya, ialah seperti obat yang buruk, karena bahayanya dipandang lebih kuat daripada manfaatnya untuk menyembuhkan penyakit, sementara ada obat lain yang dapat menggantikannya; sebab kesembuhan itu hanya diyakini berasal dari obat yang baik. Dan begitu pula halnya meminum khamar sebagai obat: tidak boleh dilakukan.
Dua Kondisi
Dari uraian tersebut, Syaikh Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan, bahwa keburukan boleh dilakukan dalam dua kondisi. Pertama, ketika kita menyingkirkan keburukan yang lebih buruk daripada keburukan yang pertama, di mana tidak ada pilihan lain kecuali melakukan keburukan yang kedua itu.
Kedua, ketika kita melakukan keburukan itu kita dapat memperoleh sesuatu yang lebih bermanfaat daripada tidak melakukannya.
Begitu pula halnya dengan kebaikan. Kebaikan itu dapat kita tinggalkan dalam dua kondisi: Apabila kita melakukan kebaikan itu akan melepaskan kesempatan untuk memperoleh kebaikan yang lebih baik daripada kebaikan yang pertama. Atau, apabila kita melakukan kebaikan itu, akan mendatangkan atau menambah bahaya yang mengancam kita. Pembahasan ini berkaitan dengan pertimbangan agama.
Ada lagi hukum yang berkaitan dengan gugurnya kewajiban karena adanya bahaya di dunia, dan bolehnya melakukan perkara-perkara yang diharamkan untuk keperluan dunia, seperti bolehnya berbuka puasa karena sedang bepergian, dan gugurnya hal-hal yang dilarang dalam ihram dan rukun salat karena sakit.
Perkara-perkara ini termasuk dalam bab lain, yaitu keleluasaan agama dan menghapus kesusahan yang banyak sekali aturannya di dalam syari'ah. Persoalan ini berbeda dengan persoalan yang kita bicarakan sebelumnya, di mana syari'ah tidak memberikan aturan yang berbeda-beda walaupun kasusnya berbeda-beda, tetapi tetap di dalam pandangan akal. Sebagaimana dikatakan:
"Orang yang berakal itu bukanlah orang yang mengetahui kebaikan dari kejelekan, tetapi orang yang berakal ialah orang yang mengetahui yang terbaik di antara dua hal yang baik dan mengetahui yang terburuk di antara dua hal yang buruk."
"Sesungguhnya orang yang berakal itu apabila mendapati dua penyakit dalam tubuhnya, maka dia akan mengobati yang lebih berbahaya."
Begitulah yang seharusnya diberlakukan dalam semua persoalan.
(mhy)