Ummu Habibah,Perempuan Mukminah yang Setia kepada Diennya
Senin, 02 November 2020 - 08:08 WIB
Alangkah perlunya kaum muslimin, hari ini untuk mengkaji perjalanan hidup sayyidah yang agung ini, agar kita menyadari betapa jauhnya perbandingan antara kita dengan generasi awal yang keluar dari madrasah nubuwwah, sehingga mereka mengetahui betapa pengaruh iman itu sangat menakjubkan pada jiwa yang menyambut panggilan Allah dan Rasul-Nya. Hingga menjadi lentera yang menebarkan petunjuk dan cahaya .
Di antara lentera tersebut adalah Ummul Mukminin, Ramlah binti Abu Sufyan. Putri seorang pemuka Quraisy dan pimpinan orang-orang musyrik hingga Fath Al Makkah. Beliau radhiyallhu’anha tetap beriman sekalipun ayahnya memaksanya untuk kafir ketika itu. Abu Sufyan tak kuasa memaksakan kehendak. Justru ia menunjukkan kuatnya pendirian dan mantapnya kemauan. Rela menanggung beban yang berat dan melelahkan untuk memperjuangkan akidahnya .
(Baca juga : Syafaat dan Siapa yang Berhak Mendapatkannya )
Dinukil dari kitab "Nisaa' Haular Rasul' yang ditulis Mahmud Mahdi Al-Istanbuli dan Mustafha Abu An-Nashr Asy Syalabi, dikisahkan, bahwa suami pertama Ramlah binti Abu Sufyan adalah Ubaidullah bin jahsy yang beragama tauhid sebelum datangnya Islam.
Kemudian, cahaya kebenaran menerangi sanubari sepasang suami istri ini. Tatkala kekejaman orang-orang kafir atas kaum muslimin mencapai puncaknya, Ramlah berhijrah menuju Habasyah bersama suaminya. Dan disanalah beliau melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Habibah dan sehingga beliau dijuluki Ummu Habibah. Ummu Habibah senantiasa bersabar memperjuangkan diennya di negeri asing , jauh dari keluarga dan kampung halaman bahkan terjadi musibah yang tidak dia sangka sebelumnya. Beliau bercerita:
“Aku melihat didalam mimpi, suamiku Ubaidullah bin Jahsy dengan bentuk yang sangat buruk dan menakutkan. Maka aku terperanjat dan terbangun, kemudian aku memohon kepada Allah dari hal itu. Ternyata tatkala pagi, suamiku telah memeluk agama Nasrani. Maka aku ceritakan mimpiku kepadanya namun dia tidak menggubrisnya”.
(Baca juga : Juwairiyah binti Harits, Pembawa Berkah Kaumnya ke Dalam Cahaya Islam )
Suaminya ternyata telah murtad dan lebih tertarik dengan agama nasrani yang dianut penduduk Habasyah. Lalu merayu bahkan bertindak keras pada istrinya agar mau ikut pindah keyakinan. Namun, Ummu Habibah tak bergeming, tetap pada pendirian semula. Beliau justru mengajak suaminya agar tetap dalam kebenaran namun dia menolak dan meremehkannya. Yang menyedihkan, dirinya makin sibuk dengan minuman keras (khamr) hingga akhirnya nyawanya tercabut dalam kondisi itu.
Sedih dan pilu dirasa, ujian kali ini begitu berat. Seorang perempuan sendirian, berstatus janda berada di negeri asing hanya bersama bayinya. Pun ketika ingin kembali ke kampung halaman/keluarganya dia ditolak karena imannya. Namun, pilihan untuk memenangkan iman di dada lebih membara. Sembari tawakkal yang jadi senjata semoga mampu menghadapi ujian berat tersebut. Ia wujudkan firman Allah dalam ayat :
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.Dan memberikan rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.Dan berangsiapa yang telah bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”.(QS ath-Thalaq:2-3).
(Baca juga : Menjadi Bidadari di Dunia )
Allah berkehendak untuk membulatkan tekadnya, maka dia melihat dalam mimpinya ada yang menyeru: “Wahai Ummul Mukminin!”. Terperanjat dan bangun karena mimpi tersebut. Beliau menakwilkan mimpi tersebut bahwa Rasulullah kelak akan menikahinya.
Selesai masa ‘iddah, tiba-tiba seorang sahaya dari Najasyi memberitahunya bahwa telah datang berita gembira. Dirinya dipinang oleh sebaik-sebaik manusia pilihan Allah. Alangkah bahagianya hingga beliau berkata: “Semoga Allah memberikan kabar gembira untukmu”. Lalu ia tanggalkan anting dan gelang kaki untuk diberikan kepada sahaya tersebut, saking senangnya. Umm Habibah meminta Khalid bin Sa’ad bin al-‘Ash menjadi wali dirinya untuk menerima lamaran Najasyi mewakili Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada suatu sore, Raja Najasyi mengumpulkan kaum muslimin yang berada di Habasyah, maka datanglah mereka dengan dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib, putra paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selanjutnya Raja berkata:
“Segala puji bagi Allah Raja Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengkaruniakan Kemanan, Yang Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang haq kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah yang telah dikabarkan oleh Nabi Isa bin Maryam ‘alaihissalam .
(Baca juga : Habib Rizieq: Jangan Pernah Diam kalau Nabi Kita Dihina )
Amma Ba’du. Sesungguhnya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengirim surat padaku yang isinya melamar Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Ummu Habibah telah menerima lamaran Rasulullah, adapun maharnya adalah 400 dirham“. Kemudian beliau letakkan uang tersebut didepan kaum muslimin.
Kemudian Khalid bin Sa’id berkata:”Segala puji bagi Allah, aku memuji-Nya dan memohon pertolongan-Nya, aku bersaksi bahwa tiada ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, yang Allah mengutusnya dengan membawa hidayah dan dein yang haq untuk memenangkan dien-Nya walaupun orang-orang musyrik benci.
Amma ba’du, aku terima lamaran Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan aku nikahkan beliau dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan, semoga Allah memberkahi Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Selanjutnya Najasyi menyerahkan mahar tersebut kepada Khalid bin Sa’id kemudian beliau terima. Najasyi mengajak para sahabat untuk mangadakan walimah dengan mengatakan: “Kami persilahkan anda untuk duduk karena sesungguhnya sunnah para Nabi apabila menikah hendaklah makan-makan untuk merayakan pernikahan”.
(Baca juga : Digitalisasi Sektor Konstruksi Mampu Hasilkan Efisiensi )
Setelah kemenangan Khaibar, sampailah rombongan Muhajirin dari Habasyah, maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dengan sebab apa aku harus bergembira, karena kemenangan Khaibar atau karena datangnya Ja’far?”
Sedangkan Ummu Habibah bersama rombongan yang datang. Maka bertemulah Rasululah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengannya pada tahun keenam atau ketujuh hijriyah. Kala itu Ummu Habibah berumur 40 tahun dan jadilah beliau Ummul Mukminin.
Ummu Habibah menempatkan urusan dien pada tempat yang pertama.Beliau utamakan akidahnya daripada keluarga. Ikrar loyalitas hanyalah untuk Allah dan Rasul-Nya bukan lainnya. Dibuktikan sikap beliau terhadap ayahnya, Abu Sufyan. Suatu ketika sang ayah masuk ke rumahnya di Madinah. Datang untuk meminta bantuan agar menjadi perantara antara dirinya dengan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam memperbaharui perjanjian Hudaibiyah yang telah dikhianati sendiri oleh orang-orang musyrik. Abu Sufyan ingin duduk di atas tikar Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun tiba-tiba dilipat oleh Umm Habibah, maka Abu Sufyan bertanya dengan penuh keheranan:
(Baca juga : Awal Pekan Pascalibur Panjang, KRL Commuter Line Padat )
“Wahai putriku aku tidak tahu mengapa engkau melarangku duduk di tikar itu, apakah engkau melarang aku duduk di atasnya?”. Beliau menjawab dengan keberanian dan ketenangan tanpa ada rasa takut terhadap kekuasaan dan kemarahan ayahnya: “Ini adalah tikar Rasulullah sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis, aku tidak ingin engkau duduk di atas tikar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam“.
Abu Sufyan berkata: “Demi Allah engkau akan menemui hal buruk sepeningalku nanti”.
Namun Ummu Habibah menjawab dengan penuh wibawa dan percaya diri: “Bahkan semoga Allah memberi hidayah kepadaku dan juga kepada anda wahai ayah, pimpinan Quraisy, apa yang menghalangi anda masuk Islam? Sedangkan engkau menyembah batu yang tidak dapat melihat maupun mendengar!” Maka Abu Sufyan pergi dengan marah dan membawa kegagalan.
(Baca juga : Demo Hari Ini di Kedubes Prancis, Tiga Ruas Jalan Akan Ditutup )
Setelah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau tidak keluar rumahnya kecuali untuk salat. Juga tidak meninggalkan Madinah kecuali untuk haji hingga wafatnya. Ummu Habibah wafat ketika berumur tujuh puluhan tahun setelah memberikan keteladanan yang paling tinggi dalam menjaga kewibawaan diennya dan bersemangat atasnya. Tinggi dan mulia jauh dari pengaruh jahiliyah juga tidak menghiraukan nasab manakala bertentangan dengan akidahnya, semoga Allah meridhainya.
Wallahu A'lam
Di antara lentera tersebut adalah Ummul Mukminin, Ramlah binti Abu Sufyan. Putri seorang pemuka Quraisy dan pimpinan orang-orang musyrik hingga Fath Al Makkah. Beliau radhiyallhu’anha tetap beriman sekalipun ayahnya memaksanya untuk kafir ketika itu. Abu Sufyan tak kuasa memaksakan kehendak. Justru ia menunjukkan kuatnya pendirian dan mantapnya kemauan. Rela menanggung beban yang berat dan melelahkan untuk memperjuangkan akidahnya .
(Baca juga : Syafaat dan Siapa yang Berhak Mendapatkannya )
Dinukil dari kitab "Nisaa' Haular Rasul' yang ditulis Mahmud Mahdi Al-Istanbuli dan Mustafha Abu An-Nashr Asy Syalabi, dikisahkan, bahwa suami pertama Ramlah binti Abu Sufyan adalah Ubaidullah bin jahsy yang beragama tauhid sebelum datangnya Islam.
Kemudian, cahaya kebenaran menerangi sanubari sepasang suami istri ini. Tatkala kekejaman orang-orang kafir atas kaum muslimin mencapai puncaknya, Ramlah berhijrah menuju Habasyah bersama suaminya. Dan disanalah beliau melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Habibah dan sehingga beliau dijuluki Ummu Habibah. Ummu Habibah senantiasa bersabar memperjuangkan diennya di negeri asing , jauh dari keluarga dan kampung halaman bahkan terjadi musibah yang tidak dia sangka sebelumnya. Beliau bercerita:
“Aku melihat didalam mimpi, suamiku Ubaidullah bin Jahsy dengan bentuk yang sangat buruk dan menakutkan. Maka aku terperanjat dan terbangun, kemudian aku memohon kepada Allah dari hal itu. Ternyata tatkala pagi, suamiku telah memeluk agama Nasrani. Maka aku ceritakan mimpiku kepadanya namun dia tidak menggubrisnya”.
(Baca juga : Juwairiyah binti Harits, Pembawa Berkah Kaumnya ke Dalam Cahaya Islam )
Suaminya ternyata telah murtad dan lebih tertarik dengan agama nasrani yang dianut penduduk Habasyah. Lalu merayu bahkan bertindak keras pada istrinya agar mau ikut pindah keyakinan. Namun, Ummu Habibah tak bergeming, tetap pada pendirian semula. Beliau justru mengajak suaminya agar tetap dalam kebenaran namun dia menolak dan meremehkannya. Yang menyedihkan, dirinya makin sibuk dengan minuman keras (khamr) hingga akhirnya nyawanya tercabut dalam kondisi itu.
Sedih dan pilu dirasa, ujian kali ini begitu berat. Seorang perempuan sendirian, berstatus janda berada di negeri asing hanya bersama bayinya. Pun ketika ingin kembali ke kampung halaman/keluarganya dia ditolak karena imannya. Namun, pilihan untuk memenangkan iman di dada lebih membara. Sembari tawakkal yang jadi senjata semoga mampu menghadapi ujian berat tersebut. Ia wujudkan firman Allah dalam ayat :
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.Dan memberikan rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.Dan berangsiapa yang telah bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”.(QS ath-Thalaq:2-3).
(Baca juga : Menjadi Bidadari di Dunia )
Allah berkehendak untuk membulatkan tekadnya, maka dia melihat dalam mimpinya ada yang menyeru: “Wahai Ummul Mukminin!”. Terperanjat dan bangun karena mimpi tersebut. Beliau menakwilkan mimpi tersebut bahwa Rasulullah kelak akan menikahinya.
Selesai masa ‘iddah, tiba-tiba seorang sahaya dari Najasyi memberitahunya bahwa telah datang berita gembira. Dirinya dipinang oleh sebaik-sebaik manusia pilihan Allah. Alangkah bahagianya hingga beliau berkata: “Semoga Allah memberikan kabar gembira untukmu”. Lalu ia tanggalkan anting dan gelang kaki untuk diberikan kepada sahaya tersebut, saking senangnya. Umm Habibah meminta Khalid bin Sa’ad bin al-‘Ash menjadi wali dirinya untuk menerima lamaran Najasyi mewakili Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada suatu sore, Raja Najasyi mengumpulkan kaum muslimin yang berada di Habasyah, maka datanglah mereka dengan dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib, putra paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selanjutnya Raja berkata:
“Segala puji bagi Allah Raja Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengkaruniakan Kemanan, Yang Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang haq kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah yang telah dikabarkan oleh Nabi Isa bin Maryam ‘alaihissalam .
(Baca juga : Habib Rizieq: Jangan Pernah Diam kalau Nabi Kita Dihina )
Amma Ba’du. Sesungguhnya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengirim surat padaku yang isinya melamar Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Ummu Habibah telah menerima lamaran Rasulullah, adapun maharnya adalah 400 dirham“. Kemudian beliau letakkan uang tersebut didepan kaum muslimin.
Kemudian Khalid bin Sa’id berkata:”Segala puji bagi Allah, aku memuji-Nya dan memohon pertolongan-Nya, aku bersaksi bahwa tiada ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, yang Allah mengutusnya dengan membawa hidayah dan dein yang haq untuk memenangkan dien-Nya walaupun orang-orang musyrik benci.
Amma ba’du, aku terima lamaran Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan aku nikahkan beliau dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan, semoga Allah memberkahi Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Selanjutnya Najasyi menyerahkan mahar tersebut kepada Khalid bin Sa’id kemudian beliau terima. Najasyi mengajak para sahabat untuk mangadakan walimah dengan mengatakan: “Kami persilahkan anda untuk duduk karena sesungguhnya sunnah para Nabi apabila menikah hendaklah makan-makan untuk merayakan pernikahan”.
(Baca juga : Digitalisasi Sektor Konstruksi Mampu Hasilkan Efisiensi )
Setelah kemenangan Khaibar, sampailah rombongan Muhajirin dari Habasyah, maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dengan sebab apa aku harus bergembira, karena kemenangan Khaibar atau karena datangnya Ja’far?”
Sedangkan Ummu Habibah bersama rombongan yang datang. Maka bertemulah Rasululah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengannya pada tahun keenam atau ketujuh hijriyah. Kala itu Ummu Habibah berumur 40 tahun dan jadilah beliau Ummul Mukminin.
Ummu Habibah menempatkan urusan dien pada tempat yang pertama.Beliau utamakan akidahnya daripada keluarga. Ikrar loyalitas hanyalah untuk Allah dan Rasul-Nya bukan lainnya. Dibuktikan sikap beliau terhadap ayahnya, Abu Sufyan. Suatu ketika sang ayah masuk ke rumahnya di Madinah. Datang untuk meminta bantuan agar menjadi perantara antara dirinya dengan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam memperbaharui perjanjian Hudaibiyah yang telah dikhianati sendiri oleh orang-orang musyrik. Abu Sufyan ingin duduk di atas tikar Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun tiba-tiba dilipat oleh Umm Habibah, maka Abu Sufyan bertanya dengan penuh keheranan:
(Baca juga : Awal Pekan Pascalibur Panjang, KRL Commuter Line Padat )
“Wahai putriku aku tidak tahu mengapa engkau melarangku duduk di tikar itu, apakah engkau melarang aku duduk di atasnya?”. Beliau menjawab dengan keberanian dan ketenangan tanpa ada rasa takut terhadap kekuasaan dan kemarahan ayahnya: “Ini adalah tikar Rasulullah sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis, aku tidak ingin engkau duduk di atas tikar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam“.
Abu Sufyan berkata: “Demi Allah engkau akan menemui hal buruk sepeningalku nanti”.
Namun Ummu Habibah menjawab dengan penuh wibawa dan percaya diri: “Bahkan semoga Allah memberi hidayah kepadaku dan juga kepada anda wahai ayah, pimpinan Quraisy, apa yang menghalangi anda masuk Islam? Sedangkan engkau menyembah batu yang tidak dapat melihat maupun mendengar!” Maka Abu Sufyan pergi dengan marah dan membawa kegagalan.
(Baca juga : Demo Hari Ini di Kedubes Prancis, Tiga Ruas Jalan Akan Ditutup )
Setelah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau tidak keluar rumahnya kecuali untuk salat. Juga tidak meninggalkan Madinah kecuali untuk haji hingga wafatnya. Ummu Habibah wafat ketika berumur tujuh puluhan tahun setelah memberikan keteladanan yang paling tinggi dalam menjaga kewibawaan diennya dan bersemangat atasnya. Tinggi dan mulia jauh dari pengaruh jahiliyah juga tidak menghiraukan nasab manakala bertentangan dengan akidahnya, semoga Allah meridhainya.
Wallahu A'lam
(wid)