Kisah Sufi: Ucapan Terakhir Al-Hallaj Saat Dieksekusi Mati
Jum'at, 20 November 2020 - 06:10 WIB
Kisah-kisah berikut dinukil dari Idries Shah dalam bukunya yang berjudul The Way of the Sufi dan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Joko S. Kahhar dan Ita Masyitha dengan judul "Jalan Sufi: Reportase Dunia Ma'rifat". (
)
ORANG YANG BERUNTUNG
Al-Mahdi Abbassi mengemukakan pendapat yang dapat dibuktikan bahwa, apakah orang-orang mencoba membantu seseorang atau tidak sesuatu yang ada pada seseorang dapat menggagalkan sebuah tujuan tersebut.
Beberapa orang keberatan dengan teori ini, ia menjanjikan sebuah demonstrasi. Ketika setiap orang lupa peristiwa tersebut, al-Mahdi menyuruh seorang pria meletakkan sekarung emas di tengah jembatan. Pria lain diminta membawa orang berutang yang tidak beruntung ke salah satu ujung jembatan dan menyuruhnya menyeberang.
Abbassi dan saksi-saksinya berdiri di ujung jembatan yang lain. Ketika orang itu pergi ke ujung lain, Abbassi bertanya padanya, "Apa yang kau lihat di tengah jembatan?"
"Tidak ada,", jawabnya.
"Bagaimana bisa demikian?"
"Segera setelah aku mulai menyeberangi jembatan, pikiran yang ada padaku adalah bahwa barangkali menyenangkan menyeberang dengan mata tertutup. Dan kulakukan."
BUNGA DAN BATU
Ketika guru agung dan syuhada Manshur al-Hallaj berada di tengah kerumunan, dihukum karena kemurtadan dan bid'ah , ia tidak menunjukkan tanda-tanda kesakitan saat tangannya dipotong di depan umum.
Ketika kerumunan orang melempar batu yang menyebabkan luka parah, ia tenang saja. Salah seorang temannya, seorang guru Sufi, mendekatinya dan memberinya -- bunga.
Manshur berteriak seolah dalam siksaan.
Ia melakukan ini untuk menunjukkan bahwa ia tidak dapat disakiti oleh perbuatan orang-orang yang mengira mereka berbuat benar. Tetapi hanya sentuhan dari orang yang tahu, seperti dia, bahwa dirinya dihukum dan dituduh dengan tidak adil, jauh lebih menyakitkan baginya dari siksaan apa pun.
Manshur dan teman Sufinya, tidak berdaya kendati mereka ada di depan tirani seperti itu, teringat akan pelajaran tersebut. Sementara penganiaya-penganiaya mereka hampir terlupakan.
Saat sekarat, Manshur berkata, "Orang-orang di dunia ini mencoba berbuat baik. Aku anjurkan engkau mencari sesuatu di mana bagian paling kecilnya lebih berarti daripada semua kebaikan; pengetahuan tentang kebenaran -- pengetahuan sejati."
HANBAL DAN PEMIKIRAN YANG TERKONDISI
Ahmad ibnu Hanbal adalah pendiri salah satu dari empat madzhab hukum yang besar, dan sahabat beberapa Guru Sufi awal. Di masa tua dan lemahnya, kelompok muktazilah memaksa Imam Ahmad bin Hanbal untuk mengakui tafsir tunggal bahwa Alquran adalah makhluk. Namun beliau tidak mau. Beliau lebih memilih mati daripada harus mengatakan hal yang bisa menyesatkan umat. Sehingga Imam Ahmad menerima hukuman dari penguasa.
Disebutkan di dalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah, ketika dikurung di penjara, Imam Ahmad sempat menyampaikan bahwa yang ditakuti bukan hukuman bunuh atau penjara, namun hukuman cambukan. Beliau khawatir tidak sabar menghadapi hukuman jenis ini.
Sebelum dieksekusi ia ditanya apa yang ia pikirkan. Katanya, "Aku hanya dapat mengatakan bahwa mereka memukulku karena mereka percaya bahwa mereka benar dan aku salah. Bagaimana aku dapat menuntut keadilan terhadap mereka yang percaya bahwa mereka benar?"
Pada 232 H, Khalifah yang baru, Al-Mutawakkil, mengembalikan pemahaman yang benar. Beliau berpegang teguh terhadap Sunnah Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya beliau membebaskan Imam Ahmad bin Hanbal.
ORANG PERCAYA APA YANG DIKIRA BENAR
Ajaran, sebagaimana kebiasaannya, sepanjang urusan kehidupan secara umum. Syaikh Abu Thahir al-Harami mengendarai keledainya ke pasar, seorang murid mengikuti di belakang.
Di sisinya, seseorang berteriak, "Lihat, ini orang kafir kuno!"
Sang pengikut al-Harami, timbul amarahnya, berteriak pada tukang fitnah tersebut. Sebelum pertikaian semakin sengit, Sufi menenangkan muridnya, berkata, "Jika engkau menghentikan pertengkaran ini, aku akan menunjukkan padamu bagaimana engkau dapat melarikan diri dari persoalan seperti ini."
Mereka pergi bersama ke rumah Syaikh. Lantas Syaikh menyuruh pengikutnya membawakan sekotak surat: "Lihatlah ini. Semua surat ini ditujukan padaku. Tetapi mereka menulis istilah yang berbeda. Ini seseorang menyebutku 'Syaikh Islam', kemudian, 'Guru Mulia'. Lainnya mengatakan aku 'Orang Bijak dari Altar Kembar'. Dan sebutan-sebutan lainnya.
Amatilah bagaimana masing-masing sebutanku sesuai dengan anggapan mereka. Tetapi aku tidak satu pun seperti apa yang ia pikirkan demikian. Demikian itulah yang baru saja dilakukan orang malang di pasar tadi. Dan engkau menolaknya. Mengapa engkau berbuat demikian -- sudah menjadi aturan umum dalam kehidupan?"
ORANG YANG BERUNTUNG
Al-Mahdi Abbassi mengemukakan pendapat yang dapat dibuktikan bahwa, apakah orang-orang mencoba membantu seseorang atau tidak sesuatu yang ada pada seseorang dapat menggagalkan sebuah tujuan tersebut.
Beberapa orang keberatan dengan teori ini, ia menjanjikan sebuah demonstrasi. Ketika setiap orang lupa peristiwa tersebut, al-Mahdi menyuruh seorang pria meletakkan sekarung emas di tengah jembatan. Pria lain diminta membawa orang berutang yang tidak beruntung ke salah satu ujung jembatan dan menyuruhnya menyeberang.
Abbassi dan saksi-saksinya berdiri di ujung jembatan yang lain. Ketika orang itu pergi ke ujung lain, Abbassi bertanya padanya, "Apa yang kau lihat di tengah jembatan?"
"Tidak ada,", jawabnya.
"Bagaimana bisa demikian?"
"Segera setelah aku mulai menyeberangi jembatan, pikiran yang ada padaku adalah bahwa barangkali menyenangkan menyeberang dengan mata tertutup. Dan kulakukan."
BUNGA DAN BATU
Ketika guru agung dan syuhada Manshur al-Hallaj berada di tengah kerumunan, dihukum karena kemurtadan dan bid'ah , ia tidak menunjukkan tanda-tanda kesakitan saat tangannya dipotong di depan umum.
Ketika kerumunan orang melempar batu yang menyebabkan luka parah, ia tenang saja. Salah seorang temannya, seorang guru Sufi, mendekatinya dan memberinya -- bunga.
Manshur berteriak seolah dalam siksaan.
Ia melakukan ini untuk menunjukkan bahwa ia tidak dapat disakiti oleh perbuatan orang-orang yang mengira mereka berbuat benar. Tetapi hanya sentuhan dari orang yang tahu, seperti dia, bahwa dirinya dihukum dan dituduh dengan tidak adil, jauh lebih menyakitkan baginya dari siksaan apa pun.
Manshur dan teman Sufinya, tidak berdaya kendati mereka ada di depan tirani seperti itu, teringat akan pelajaran tersebut. Sementara penganiaya-penganiaya mereka hampir terlupakan.
Saat sekarat, Manshur berkata, "Orang-orang di dunia ini mencoba berbuat baik. Aku anjurkan engkau mencari sesuatu di mana bagian paling kecilnya lebih berarti daripada semua kebaikan; pengetahuan tentang kebenaran -- pengetahuan sejati."
HANBAL DAN PEMIKIRAN YANG TERKONDISI
Ahmad ibnu Hanbal adalah pendiri salah satu dari empat madzhab hukum yang besar, dan sahabat beberapa Guru Sufi awal. Di masa tua dan lemahnya, kelompok muktazilah memaksa Imam Ahmad bin Hanbal untuk mengakui tafsir tunggal bahwa Alquran adalah makhluk. Namun beliau tidak mau. Beliau lebih memilih mati daripada harus mengatakan hal yang bisa menyesatkan umat. Sehingga Imam Ahmad menerima hukuman dari penguasa.
Disebutkan di dalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah, ketika dikurung di penjara, Imam Ahmad sempat menyampaikan bahwa yang ditakuti bukan hukuman bunuh atau penjara, namun hukuman cambukan. Beliau khawatir tidak sabar menghadapi hukuman jenis ini.
Sebelum dieksekusi ia ditanya apa yang ia pikirkan. Katanya, "Aku hanya dapat mengatakan bahwa mereka memukulku karena mereka percaya bahwa mereka benar dan aku salah. Bagaimana aku dapat menuntut keadilan terhadap mereka yang percaya bahwa mereka benar?"
Pada 232 H, Khalifah yang baru, Al-Mutawakkil, mengembalikan pemahaman yang benar. Beliau berpegang teguh terhadap Sunnah Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya beliau membebaskan Imam Ahmad bin Hanbal.
ORANG PERCAYA APA YANG DIKIRA BENAR
Ajaran, sebagaimana kebiasaannya, sepanjang urusan kehidupan secara umum. Syaikh Abu Thahir al-Harami mengendarai keledainya ke pasar, seorang murid mengikuti di belakang.
Di sisinya, seseorang berteriak, "Lihat, ini orang kafir kuno!"
Sang pengikut al-Harami, timbul amarahnya, berteriak pada tukang fitnah tersebut. Sebelum pertikaian semakin sengit, Sufi menenangkan muridnya, berkata, "Jika engkau menghentikan pertengkaran ini, aku akan menunjukkan padamu bagaimana engkau dapat melarikan diri dari persoalan seperti ini."
Mereka pergi bersama ke rumah Syaikh. Lantas Syaikh menyuruh pengikutnya membawakan sekotak surat: "Lihatlah ini. Semua surat ini ditujukan padaku. Tetapi mereka menulis istilah yang berbeda. Ini seseorang menyebutku 'Syaikh Islam', kemudian, 'Guru Mulia'. Lainnya mengatakan aku 'Orang Bijak dari Altar Kembar'. Dan sebutan-sebutan lainnya.
Amatilah bagaimana masing-masing sebutanku sesuai dengan anggapan mereka. Tetapi aku tidak satu pun seperti apa yang ia pikirkan demikian. Demikian itulah yang baru saja dilakukan orang malang di pasar tadi. Dan engkau menolaknya. Mengapa engkau berbuat demikian -- sudah menjadi aturan umum dalam kehidupan?"
(mhy)