Jenis-Jenis Puasa Sunnah, Syarat Sah, dan Rukun Puasa
Senin, 01 Februari 2021 - 19:47 WIB
Juga berdasarkan hadis dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu
رَفَعَتِ امْرَأَةٌ صَبِيًّا لَهَا، فَقالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَلِهَذَا حَجٌّ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَلَكِ أَجْرٌ
“Seorang wanita mengangkat seorang anak kecil (ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), kemudian ia berkata: ‘Apakah anak ini hajinya sah?’ Nabi menjawab: ‘Iya sah, dan engkau mendapatkan pahala.’” (HR. Muslim no. 1336)
Dalam hadis ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap sah ibadah haji anak kecil yang belum balig. Maka dengan demikian, ibadah-ibadahnya yang lain pun sah.
Patokan tamyiz menurut para ulama adalah ketika seorang anak sudah bisa memahami perkataan orang lain secara umum dengan baik.
3. Berakal
Orang yang tertutup akalnya, tidak sah dan tidak teranggap amalannya karena tidak ada niat dari dirinya. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
رُفِعَ القلَمُ عَنْ ثَلاثٍ ، عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقَظَ ، وَعَنِ الصَّغِيْرِ حَتَّى يَكْبُرَ ، وَعَنِ المَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يُفِيْقَ
“Pena catatan amalan diangkat terhadap tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia besar, dan orang gila sampai ia berakal atau waras.” (HR. An-Nasa`i no.3432, di-shahih-kan al-Albani dalam Shahih an-Nasa`i)
4. Suci dari haid dan nifas
Wanita haid dan nifas tidak sah ibadahnya karena mereka berada dalam kondisi hadas akbar. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ’anha pernah ditanya,
مَا بَالُ الحَائِضِ تَقْضِيْ الصَّوْمَ، ولَا تَقْضِي الصَّلَاةَ. فَقالَتْ: أَحَرُوْرِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ، وَلَكِنِّي أَسْأَلُ. قالَتْ: كاَنَ يُصِيْبُنَا ذلِكَ، فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، ولَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Mengapa wanita haid mengganti puasanya namun tidak mengganti shalat?” Aisyah menjawab, “Apakah engkau seorang wanita Haruriyah (Khawarij)?” Penanya berkata, “Bukan, aku bukan wanita Haruriyah, namun aku sekedar bertanya.” Aisyah berkata, “Dahulu kami mengalami haid di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kami diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan kami tidak diperintahkan untuk meng-qadha shalat.” “(HR. Al-Bukhari no. 321, Muslim no.335)
Hadis ini menunjukkan bahwa wanita haid di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka tidak berpuasa namun mengganti di hari lain.
Mengenai nifas, Ummu Salamah radhiyallahu ’anha mengatakan:
كَانَتِ النُّفَسَاءُ تَجْلِسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا
“Dahulu wanita yang sedang nifas di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk (tidak shalat dan puasa) selama 40 hari.” (HR. Ibnu Majah no. 530, di-shahih-kan al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah)
Riwayat ini menunjukkan bahwa wanita nifas di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak berpuasa.
5. Masuk waktu
Puasa hanya sah jika dikerjakan pada waktunya. Yaitu, ketika bulan Ramadan dan antara terbit fajar shadiq sampai tenggelam matahari. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
رَفَعَتِ امْرَأَةٌ صَبِيًّا لَهَا، فَقالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَلِهَذَا حَجٌّ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَلَكِ أَجْرٌ
“Seorang wanita mengangkat seorang anak kecil (ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), kemudian ia berkata: ‘Apakah anak ini hajinya sah?’ Nabi menjawab: ‘Iya sah, dan engkau mendapatkan pahala.’” (HR. Muslim no. 1336)
Dalam hadis ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap sah ibadah haji anak kecil yang belum balig. Maka dengan demikian, ibadah-ibadahnya yang lain pun sah.
Patokan tamyiz menurut para ulama adalah ketika seorang anak sudah bisa memahami perkataan orang lain secara umum dengan baik.
3. Berakal
Orang yang tertutup akalnya, tidak sah dan tidak teranggap amalannya karena tidak ada niat dari dirinya. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
رُفِعَ القلَمُ عَنْ ثَلاثٍ ، عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقَظَ ، وَعَنِ الصَّغِيْرِ حَتَّى يَكْبُرَ ، وَعَنِ المَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يُفِيْقَ
“Pena catatan amalan diangkat terhadap tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia besar, dan orang gila sampai ia berakal atau waras.” (HR. An-Nasa`i no.3432, di-shahih-kan al-Albani dalam Shahih an-Nasa`i)
4. Suci dari haid dan nifas
Wanita haid dan nifas tidak sah ibadahnya karena mereka berada dalam kondisi hadas akbar. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ’anha pernah ditanya,
مَا بَالُ الحَائِضِ تَقْضِيْ الصَّوْمَ، ولَا تَقْضِي الصَّلَاةَ. فَقالَتْ: أَحَرُوْرِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ، وَلَكِنِّي أَسْأَلُ. قالَتْ: كاَنَ يُصِيْبُنَا ذلِكَ، فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، ولَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Mengapa wanita haid mengganti puasanya namun tidak mengganti shalat?” Aisyah menjawab, “Apakah engkau seorang wanita Haruriyah (Khawarij)?” Penanya berkata, “Bukan, aku bukan wanita Haruriyah, namun aku sekedar bertanya.” Aisyah berkata, “Dahulu kami mengalami haid di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kami diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan kami tidak diperintahkan untuk meng-qadha shalat.” “(HR. Al-Bukhari no. 321, Muslim no.335)
Hadis ini menunjukkan bahwa wanita haid di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka tidak berpuasa namun mengganti di hari lain.
Mengenai nifas, Ummu Salamah radhiyallahu ’anha mengatakan:
كَانَتِ النُّفَسَاءُ تَجْلِسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا
“Dahulu wanita yang sedang nifas di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk (tidak shalat dan puasa) selama 40 hari.” (HR. Ibnu Majah no. 530, di-shahih-kan al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah)
Riwayat ini menunjukkan bahwa wanita nifas di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak berpuasa.
5. Masuk waktu
Puasa hanya sah jika dikerjakan pada waktunya. Yaitu, ketika bulan Ramadan dan antara terbit fajar shadiq sampai tenggelam matahari. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: