Begini Penggunaan Kata Masya Allah yang Membuat Doa Nabi Musa Terkabul
Sabtu, 20 Februari 2021 - 20:25 WIB
Suatu ketika Ustaz Adi Hidayat atau yang lebih dikenal dengan UAH, mencoba mendudukkan tentang penggunaan kata "Masya Allah" dan "Subhanallah". Ini kali kita bahas terlebih dahulu tentang penggunaan kata "Masya Allah". Menurut UAH, ungkapan “Masya Allah” diperuntukkan ketika seseorang menyaksikan sesuatu yang indah, menakjubkan, atau yang luar biasa, maka seseorang dianjurkan untuk mengucapkan “Masya Allah”.
Ini, menurut UAH, didasarkan kepada firman Allah dalam surah al-Kahfi:
وَلَوۡلَآ إِذۡ دَخَلۡتَ جَنَّتَكَ قُلۡتَ مَا شَآءَ ٱللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِٱللَّهِۚ إِن تَرَنِ أَنَا۠ أَقَلَّ مِنكَ مَالٗا وَوَلَدٗا ٣٩
“Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan.” (QS Al-Kahfi: 39)
Ayat di atas memberikan gambaran bahwa ketika seseorang melihat sesuatu yang menakjubkan seperti kebun yang indah, maka ungkapan yang tepat adalah Masya Allah dengan “ma” untuk arti ta’ajjub, atau jika disederhanakan alangkah indahnya kehendak Allah.
Imam al-Suyuthi, dalam al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur juga merangkum beberapa penafsiran ulama mengenai firman Allah dalam surah al-Kahfi ayat 39 di atas. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa “masyaallah” sangat manjur digunakan ketika seseorang memiliki hajat.
Suatu ketika Nabi Musa AS , berdoa kepada Allah SWT. Doa tersebut tidak kunjung dikabulkan oleh Allah sejak lama, dan ketika Musa berdoa dengan menyebut “Masya Allah”, dan tiba-tiba doanya dikabulkan.
Lalu Musa bertanya: “Ya Rabb ana athlub hajati mundzu kadza wa kadza, wa a’thaitaniha al-aan? (wahai Tuhanku, aku meminta dikabulkan hajatku sejak saat itu dan Engkau mengabulkannya sekarang?)” kemudian Allah menjawab: “Tidakkah engkau ingat apa yang engkau katakan (yakni Masya Allah), kalimat itulah yang paling mempercepat dikabulkannya sebuah hajat.”
Disebutkan pula bahwa ketika imam Malik memasuki rumah, beliau mengucapkan Masya Allah, ketika ditanya beliau mengatakan bahwa yang dilakukannya sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Kahfi ayat 39.
Wahab bin Munabbih juga melakukan hal yang sama setelah mengetahui firman Allah tersebut beliau bahkan menuliskan di atas pintu rumahnya kalimat Masya Allah. Keterangan ini disampaikan oleh Ibn Abi Hatim.
Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seseorang diberikan kenikmatan, berupa istri, harta atau anak kemudian mengucapkan: masya allah la quwwata illa billah kecuali dia akan terjaga dari segala gangguan sampai keinginannya dia meninggal. Kemudian Rasulullah membaca surah al-Kahfi ayat 39.” (HR. Abu Ya’la)
Dua Keadaan
Sementara itu, dalam kitab Tafsir Al Quranul Karim Surat Al Kahfi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin menjelaskan, 'Masya Allah' bisa digunakan untuk dua keadaan dalam bahasa Arab atau ikrab, mengingat memang ada dua makna di dalamnya.
Ikrab yang pertama dari 'Masya Allah' adalah dengan menjadikan kata ‘maa’ sebagai isim maushul (kata sambung) dan berstatus sebagai predikat, dengan subjeknya adalah mubtada’ yang disembunyikan. Sehingga, bentuk lengkapnya adalah 'hadzaa maa syaa Allah' dan mengindikasikan sebab atau disebut maa syarthiyyah.
Sedangkan menurut ikrab kedua, ungkapan 'Masya Allah' adalah kata benda yang berstatus sebagai fi’il syarath atau kata kerja yang mengindikasikan sebab.
Mengutip Fatwa Nurun 'alad Darbi Syaikh Abdul Aziz bin Baz, jika seorang mukmin saat melihat sesuatu yang membuatnya takjub, maka disarankan mengucapkan 'Masya Allah' atau 'Barakallahu Fiik'.
Saat memuji, jangan lupa mengucapkan 'Masya Allah' (atas kehendak Allah) sebagai bentuk kekaguman kita dan pengagungan kepada Allah untuk menghindari dampak buruk yang mungkin menimpa orang yang dipuji akibat munculnya penyakit hati berupa hasad, misalnya. Masya Allah diucapkan ketika kita melihat suatu hal yang baik atau indah.
Ini, menurut UAH, didasarkan kepada firman Allah dalam surah al-Kahfi:
وَلَوۡلَآ إِذۡ دَخَلۡتَ جَنَّتَكَ قُلۡتَ مَا شَآءَ ٱللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِٱللَّهِۚ إِن تَرَنِ أَنَا۠ أَقَلَّ مِنكَ مَالٗا وَوَلَدٗا ٣٩
“Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan.” (QS Al-Kahfi: 39)
Ayat di atas memberikan gambaran bahwa ketika seseorang melihat sesuatu yang menakjubkan seperti kebun yang indah, maka ungkapan yang tepat adalah Masya Allah dengan “ma” untuk arti ta’ajjub, atau jika disederhanakan alangkah indahnya kehendak Allah.
Imam al-Suyuthi, dalam al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur juga merangkum beberapa penafsiran ulama mengenai firman Allah dalam surah al-Kahfi ayat 39 di atas. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa “masyaallah” sangat manjur digunakan ketika seseorang memiliki hajat.
Suatu ketika Nabi Musa AS , berdoa kepada Allah SWT. Doa tersebut tidak kunjung dikabulkan oleh Allah sejak lama, dan ketika Musa berdoa dengan menyebut “Masya Allah”, dan tiba-tiba doanya dikabulkan.
Lalu Musa bertanya: “Ya Rabb ana athlub hajati mundzu kadza wa kadza, wa a’thaitaniha al-aan? (wahai Tuhanku, aku meminta dikabulkan hajatku sejak saat itu dan Engkau mengabulkannya sekarang?)” kemudian Allah menjawab: “Tidakkah engkau ingat apa yang engkau katakan (yakni Masya Allah), kalimat itulah yang paling mempercepat dikabulkannya sebuah hajat.”
Disebutkan pula bahwa ketika imam Malik memasuki rumah, beliau mengucapkan Masya Allah, ketika ditanya beliau mengatakan bahwa yang dilakukannya sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Kahfi ayat 39.
Wahab bin Munabbih juga melakukan hal yang sama setelah mengetahui firman Allah tersebut beliau bahkan menuliskan di atas pintu rumahnya kalimat Masya Allah. Keterangan ini disampaikan oleh Ibn Abi Hatim.
Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seseorang diberikan kenikmatan, berupa istri, harta atau anak kemudian mengucapkan: masya allah la quwwata illa billah kecuali dia akan terjaga dari segala gangguan sampai keinginannya dia meninggal. Kemudian Rasulullah membaca surah al-Kahfi ayat 39.” (HR. Abu Ya’la)
Dua Keadaan
Sementara itu, dalam kitab Tafsir Al Quranul Karim Surat Al Kahfi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin menjelaskan, 'Masya Allah' bisa digunakan untuk dua keadaan dalam bahasa Arab atau ikrab, mengingat memang ada dua makna di dalamnya.
Ikrab yang pertama dari 'Masya Allah' adalah dengan menjadikan kata ‘maa’ sebagai isim maushul (kata sambung) dan berstatus sebagai predikat, dengan subjeknya adalah mubtada’ yang disembunyikan. Sehingga, bentuk lengkapnya adalah 'hadzaa maa syaa Allah' dan mengindikasikan sebab atau disebut maa syarthiyyah.
Sedangkan menurut ikrab kedua, ungkapan 'Masya Allah' adalah kata benda yang berstatus sebagai fi’il syarath atau kata kerja yang mengindikasikan sebab.
Mengutip Fatwa Nurun 'alad Darbi Syaikh Abdul Aziz bin Baz, jika seorang mukmin saat melihat sesuatu yang membuatnya takjub, maka disarankan mengucapkan 'Masya Allah' atau 'Barakallahu Fiik'.
Saat memuji, jangan lupa mengucapkan 'Masya Allah' (atas kehendak Allah) sebagai bentuk kekaguman kita dan pengagungan kepada Allah untuk menghindari dampak buruk yang mungkin menimpa orang yang dipuji akibat munculnya penyakit hati berupa hasad, misalnya. Masya Allah diucapkan ketika kita melihat suatu hal yang baik atau indah.
(mhy)