Setelah Diusir dari Surga, Nabi Adam dan Siti Hawa Berbuat Syirik?
Senin, 22 Februari 2021 - 13:32 WIB
Pengetahuan tentang kisah memang asyik lagi menarik. Tetapi sayang, pengetahuan yang mulia ini telah ternodai oleh goresan tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dengan memutarbalikkan fakta sejarah yang sebenarnya, lalu menebarkan kisah kisah yang tidak shahih.
Ironisnya, justru kisah-kisah itulah yang banyak beredar, laris manis, dan banyak dikomsumsi masyarakat, padahal kebanyakan kisah-kisah tersebut banyak yang mengandung kerusakan aqidah , celaan kepada para Nabi dan ulama serta dampak negatif lainnya.
"Maka hendaknya bagi kita untuk berhati-hati dan mengoreksi terlebih dahulu tentang keshahihan kisah sebelum kita menyampaikannya," urai Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi dalam bukunya yang berjudul " Waspada Terhadap Kisah-kisah tak nyata "
Selanjutnya Ia memberi contoh kisah kisah yang sudah banyak beredar padahal diragukan kebenarannya. Kisah itu antara lain tentang Nabi Adam dan Hawa yang berbuat syirik.
Ceritanya begini:
Setelah Nabi Adam menggauli istrinya Siti Hawa’ , maka dia pun mengandung. Setelah itu Iblis mendatangi keduanya seraya berkata: “Saya adalah sahabat kalian berdua yang telah mengeluarkan kalian berdua dari surga . Demi Allah, kalian hendaknya taat padaku. Bila tidak, niscaya akan kujadikan anakmu bertanduk dua seperti rusa, sehingga akan keluar dari perut istrimu dan merobeknya. Demi Allah, hal itu pasti akan kulakukan”.
Demikianlah Iblis menakuti keduanya lalu kata Iblis memerintah kepada keduanya: “Namailah anak kalian Abdul Harits.” Namun keduanya menolak untuk mentaatinya.
Tatkala bayi mereka lahir, ternyata benar lahir dalam keadaan mati. Lalu Hawa’ mengandung lagi, dan Iblis-pun kembali mendatangi keduanya seraya mengatakan seperti yang pernah dikatakan dulu, namun mereka berdua tetap menolak untuk mematuhinya, dan bayi merekapun lahir lagi dalam keadaan mati.
Selanjutnya, Siti Hawa’ mengandung lagi, Iblis kembali datang dan mengingatkan dengan apa yang pernah dia katakan dulu. Karena Adam dan Hawa’ lebih menginginkan keselamatan anaknya, akhirnya mereka mematuhi permintaan Iblis dengan memberi nama anak mereka dengan Abdul Harits.
Itulah tafsir firman Allah SWT:
فَلَمَّا آتَاهُمَا صَالِحًا جَعَلَا لَهُ شُرَكَاءَ فِيمَا آتَاهُمَا ۚ فَتَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS Al A’raf: 190)
Takhrij Kisah
Abu Ubaidah Yusuf menjelaskan kisah di atas sangat masyhur sekali dan banyak dimuat dalam kitab-kitab tafsir, terkadang disandarkan kepada Nabi SAW, kadang kepada sahabat dan kadang lagi kepada tabi’in.
Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad 5/11, at-Tirmidzi 3077, ar-Ruyani 816, Ibnu Abi Hatim dalam Tafsir 1462, 1466, Ibnu Jarir dalam Tarikh 1/148, ath-Thobarani dalam al-Kabir 8695, Ibnu Adi dalam al-Kamil 5/43, al-Hakim dalam al-Mustadrok 2/545, seluruhnya dari jalur Umar bin Ibrahim dari Qotadah dari Hasan dari Samurah dari Nabi SAW.
Derajat kisah tersebu adalah munkar. Kisah ini memiliki tiga kecacatan sebagaimana di katakan oleh Imam Ibnu Katsir :
Pertama: Riwayat Umar bin Ibrahim dari Qotadah tidak bisa dijadikan hujjah.
Kedua: Kisah ini diriwayatkan dari Samurah juga tetapi tidak mar fu’ kepada Nabi SAW.
Ketiga: Hasan al-Bashri sendiri menafsirkan ayat ini bukan dengan kisah ini, kata al-Hasan: “Ayat ini berkenaan tentang sebagian ahli agama, bukan Adam”.
Katanya juga: “Maksud ayat ini adalah anak keturunan Adam, yaitu mereka yang berbuat syirik setelah beliau”.
Katanya lagi: “Mereka adalah Yahudi dan Nashoro, Allah memberi mereka anak, lalu mereka membuatnya menjadi Yahudi dan Nashoro”.
Seandainya saja kisah ini shahih menurut beliau (Hasan), niscaya beliau menafsirkan dengannya. Hal ini menunjukkan bahwa kisah ini hanya sampai kepada sahabat dan tampaknya diambil dari ahli kitab atau yang beriman dari mereka semisal Ka’ab atau Wahb bin Munabbih dan selainnya”.
Setelah itu, Ibnu Katsir mengatakan: “Adapun kami, maka kami sependapat dengan Hasan al-Bashri dalam masalah ini bahwa maksud ayat ini bukanlah Adam dan Hawa’, namun orang-orang yang berbuat syirik dari anak keturunanya”. ( Lihat Tafsir al-Qur’anil Azhim 3/530. Ucapan beliau ini disetujui banyak ulama seperti Syaikh as-Syinqithi dalam adhwa’ul Bayan 2/341, Muhammad Rosyid Ridho dalam al-Manar 9/521, Muhammad Nasib ar-Rifa’i dalam Taisir Aliyyi Qodir 2/262 dan lain sebagainya).
Kesimpulannya, kisah ini tidak shahih dari Nabi SAW, maka otomatis tidak bisa dijadikan hujjah. (Lihat Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah al-Albani: 342, Qoshosun Laa Tatsbutu Masyhur Hasan 7/11-32)
Tinjauan Matan
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan beberapa point yang menunjukkan bathilnya kisah ini, kata beliau: “Kisah ini adalah bathil dari beberapa segi:
1. Kisah ini tidak terdapat dalam hadis yang shahih dari Nabi padahal kisah seperti ini tidak bisa diterima kecuali berdasarkan wahyu. Ibnu Hazm mengatakan tentang kisah ini: “Riwayat khurafat, dusta dan palsu”.
2. Kalau kisah ini benar-benar mengenai Adam dan Hawa’ maka ada dua kemungkinan: Pertama: Keduanya mati dalam kesyirikan dan tidak bertaubat, maka sungguh ini adalah tuduhan dusta, sebab para Nabi terjaga dari perbuatan syirik. Kedua: Keduanya telah bertaubat dari syirik, sungguh tidak sesuai dengan keadilan Allah bila menyebut dosa mereka namun tidak menyebutkan taubat keduanya, padahal Allah apabila menyebutkan kesalahan sebagian Nabi maka Dia juga menyebutkan taubat mereka.
3. Para Nabi terjaga dari perbuatan syirik dengan kesepakatan ulama.
4. Dalam hadis syafa’at disebutkan bahwa manusia saat itu datang kepada Adam untuk meminta syafaat, lalu beliau menyampaikan udzur karena telah bermaksiat kepada Allah dengan memakan dari pohon yang terlarang. Seandainya beliau terjatuh dalam kesyirikan, tentu hal itu lebih utama untuk diutarakan saat itu.
5. Dalam kisah ini setan berkata: “Saya adalah teman kalian yang mengeluarkan kalian dari surga”. Ucapan ini bukanlah ucapan orang yang ingin menggoda dan menyesatkan, bahkan ucapan ini malah membikin tertolaknya rayuannya.
6. Ucapan Iblis “Bila tidak, niscaya akan kujadikan anakmu bertanduk dua seperti rusa”. Ada dua kemungkinan:
Pertama: Adam dan Hawa’ mempercayainya dan ini perbuatan syirik dalam rububiyyah karena tidak ada pencipta kecuali hanya Allah saja.
Kedua: Keduanya tidak percaya, tidak mungkin keduanya percaya karena keduanya tahu bahwa hal itu tidak mungkin dalam haknya.
7. Firman Allah: “Maha tinggi Allah atas apa yang mereka persekutukan” dengan dhomir jama’ (mereka), seandaianya kembali kepada Adam dan Hawa’ maka akan menggunakan dhomir mutsana (keduanya).
Beberapa point ini menguatkan bathilnya kisah ini, maka tidak boleh seorang berkeyakinan bahwa Adam dan Hawa’ terjatuh dalam kubang kesyirikan, karena para Nabi tidak mungkin melakukannya dengan kesepakatan ulama.
Dengan demikian maka tafsir yang benar tentang ayat ini adalah kembali kepada anak Adam yang berbuat syirik, karena di antara anak Adam ada yang berbuat syirik dan ada yang ahli tauhid”. (Al-Qoulul Mufid ‘ala kitab Tauhid 3/67-68)
Ironisnya, justru kisah-kisah itulah yang banyak beredar, laris manis, dan banyak dikomsumsi masyarakat, padahal kebanyakan kisah-kisah tersebut banyak yang mengandung kerusakan aqidah , celaan kepada para Nabi dan ulama serta dampak negatif lainnya.
"Maka hendaknya bagi kita untuk berhati-hati dan mengoreksi terlebih dahulu tentang keshahihan kisah sebelum kita menyampaikannya," urai Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi dalam bukunya yang berjudul " Waspada Terhadap Kisah-kisah tak nyata "
Selanjutnya Ia memberi contoh kisah kisah yang sudah banyak beredar padahal diragukan kebenarannya. Kisah itu antara lain tentang Nabi Adam dan Hawa yang berbuat syirik.
Ceritanya begini:
Setelah Nabi Adam menggauli istrinya Siti Hawa’ , maka dia pun mengandung. Setelah itu Iblis mendatangi keduanya seraya berkata: “Saya adalah sahabat kalian berdua yang telah mengeluarkan kalian berdua dari surga . Demi Allah, kalian hendaknya taat padaku. Bila tidak, niscaya akan kujadikan anakmu bertanduk dua seperti rusa, sehingga akan keluar dari perut istrimu dan merobeknya. Demi Allah, hal itu pasti akan kulakukan”.
Demikianlah Iblis menakuti keduanya lalu kata Iblis memerintah kepada keduanya: “Namailah anak kalian Abdul Harits.” Namun keduanya menolak untuk mentaatinya.
Tatkala bayi mereka lahir, ternyata benar lahir dalam keadaan mati. Lalu Hawa’ mengandung lagi, dan Iblis-pun kembali mendatangi keduanya seraya mengatakan seperti yang pernah dikatakan dulu, namun mereka berdua tetap menolak untuk mematuhinya, dan bayi merekapun lahir lagi dalam keadaan mati.
Selanjutnya, Siti Hawa’ mengandung lagi, Iblis kembali datang dan mengingatkan dengan apa yang pernah dia katakan dulu. Karena Adam dan Hawa’ lebih menginginkan keselamatan anaknya, akhirnya mereka mematuhi permintaan Iblis dengan memberi nama anak mereka dengan Abdul Harits.
Itulah tafsir firman Allah SWT:
فَلَمَّا آتَاهُمَا صَالِحًا جَعَلَا لَهُ شُرَكَاءَ فِيمَا آتَاهُمَا ۚ فَتَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS Al A’raf: 190)
Takhrij Kisah
Abu Ubaidah Yusuf menjelaskan kisah di atas sangat masyhur sekali dan banyak dimuat dalam kitab-kitab tafsir, terkadang disandarkan kepada Nabi SAW, kadang kepada sahabat dan kadang lagi kepada tabi’in.
Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad 5/11, at-Tirmidzi 3077, ar-Ruyani 816, Ibnu Abi Hatim dalam Tafsir 1462, 1466, Ibnu Jarir dalam Tarikh 1/148, ath-Thobarani dalam al-Kabir 8695, Ibnu Adi dalam al-Kamil 5/43, al-Hakim dalam al-Mustadrok 2/545, seluruhnya dari jalur Umar bin Ibrahim dari Qotadah dari Hasan dari Samurah dari Nabi SAW.
Derajat kisah tersebu adalah munkar. Kisah ini memiliki tiga kecacatan sebagaimana di katakan oleh Imam Ibnu Katsir :
Pertama: Riwayat Umar bin Ibrahim dari Qotadah tidak bisa dijadikan hujjah.
Kedua: Kisah ini diriwayatkan dari Samurah juga tetapi tidak mar fu’ kepada Nabi SAW.
Ketiga: Hasan al-Bashri sendiri menafsirkan ayat ini bukan dengan kisah ini, kata al-Hasan: “Ayat ini berkenaan tentang sebagian ahli agama, bukan Adam”.
Katanya juga: “Maksud ayat ini adalah anak keturunan Adam, yaitu mereka yang berbuat syirik setelah beliau”.
Katanya lagi: “Mereka adalah Yahudi dan Nashoro, Allah memberi mereka anak, lalu mereka membuatnya menjadi Yahudi dan Nashoro”.
Seandainya saja kisah ini shahih menurut beliau (Hasan), niscaya beliau menafsirkan dengannya. Hal ini menunjukkan bahwa kisah ini hanya sampai kepada sahabat dan tampaknya diambil dari ahli kitab atau yang beriman dari mereka semisal Ka’ab atau Wahb bin Munabbih dan selainnya”.
Setelah itu, Ibnu Katsir mengatakan: “Adapun kami, maka kami sependapat dengan Hasan al-Bashri dalam masalah ini bahwa maksud ayat ini bukanlah Adam dan Hawa’, namun orang-orang yang berbuat syirik dari anak keturunanya”. ( Lihat Tafsir al-Qur’anil Azhim 3/530. Ucapan beliau ini disetujui banyak ulama seperti Syaikh as-Syinqithi dalam adhwa’ul Bayan 2/341, Muhammad Rosyid Ridho dalam al-Manar 9/521, Muhammad Nasib ar-Rifa’i dalam Taisir Aliyyi Qodir 2/262 dan lain sebagainya).
Kesimpulannya, kisah ini tidak shahih dari Nabi SAW, maka otomatis tidak bisa dijadikan hujjah. (Lihat Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah al-Albani: 342, Qoshosun Laa Tatsbutu Masyhur Hasan 7/11-32)
Tinjauan Matan
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan beberapa point yang menunjukkan bathilnya kisah ini, kata beliau: “Kisah ini adalah bathil dari beberapa segi:
1. Kisah ini tidak terdapat dalam hadis yang shahih dari Nabi padahal kisah seperti ini tidak bisa diterima kecuali berdasarkan wahyu. Ibnu Hazm mengatakan tentang kisah ini: “Riwayat khurafat, dusta dan palsu”.
2. Kalau kisah ini benar-benar mengenai Adam dan Hawa’ maka ada dua kemungkinan: Pertama: Keduanya mati dalam kesyirikan dan tidak bertaubat, maka sungguh ini adalah tuduhan dusta, sebab para Nabi terjaga dari perbuatan syirik. Kedua: Keduanya telah bertaubat dari syirik, sungguh tidak sesuai dengan keadilan Allah bila menyebut dosa mereka namun tidak menyebutkan taubat keduanya, padahal Allah apabila menyebutkan kesalahan sebagian Nabi maka Dia juga menyebutkan taubat mereka.
3. Para Nabi terjaga dari perbuatan syirik dengan kesepakatan ulama.
4. Dalam hadis syafa’at disebutkan bahwa manusia saat itu datang kepada Adam untuk meminta syafaat, lalu beliau menyampaikan udzur karena telah bermaksiat kepada Allah dengan memakan dari pohon yang terlarang. Seandainya beliau terjatuh dalam kesyirikan, tentu hal itu lebih utama untuk diutarakan saat itu.
5. Dalam kisah ini setan berkata: “Saya adalah teman kalian yang mengeluarkan kalian dari surga”. Ucapan ini bukanlah ucapan orang yang ingin menggoda dan menyesatkan, bahkan ucapan ini malah membikin tertolaknya rayuannya.
6. Ucapan Iblis “Bila tidak, niscaya akan kujadikan anakmu bertanduk dua seperti rusa”. Ada dua kemungkinan:
Pertama: Adam dan Hawa’ mempercayainya dan ini perbuatan syirik dalam rububiyyah karena tidak ada pencipta kecuali hanya Allah saja.
Kedua: Keduanya tidak percaya, tidak mungkin keduanya percaya karena keduanya tahu bahwa hal itu tidak mungkin dalam haknya.
7. Firman Allah: “Maha tinggi Allah atas apa yang mereka persekutukan” dengan dhomir jama’ (mereka), seandaianya kembali kepada Adam dan Hawa’ maka akan menggunakan dhomir mutsana (keduanya).
Beberapa point ini menguatkan bathilnya kisah ini, maka tidak boleh seorang berkeyakinan bahwa Adam dan Hawa’ terjatuh dalam kubang kesyirikan, karena para Nabi tidak mungkin melakukannya dengan kesepakatan ulama.
Dengan demikian maka tafsir yang benar tentang ayat ini adalah kembali kepada anak Adam yang berbuat syirik, karena di antara anak Adam ada yang berbuat syirik dan ada yang ahli tauhid”. (Al-Qoulul Mufid ‘ala kitab Tauhid 3/67-68)
(mhy)