Prof Sonny: Taawun Salah Satu Indikator Takwa Berjamaah
Senin, 18 Mei 2020 - 16:45 WIB
Guru Besar International Islamic University Malaysia (IIUM) Malaysia, Prof Dr Sonny Zulhuda, menyebut indikator takwa seorang hamba adalah taawun.
Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Malaysia ini menjelaskan makna yang terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 183. Menurutnya, la’allakum tattaquun yang merupakan penghujung ayat merupakan output yang diharapkan bisa diraih manusia jika telah menjalankan puasa sesuai yang disyariatkan Islam .
“La’allakum dalam bahasa Arab artinya harapan. Dalam ayat ini yang dimaksud adalah harapan bagi orang-orang yang berpuasa. Harapan yang terkandung dalam ayat tersebut merupakan titik motivasi bagi kita bahwa output dari puasa tidak selalu output yang positif. Terkadang juga bisa berupa output negatif,” paparnya dalam Pengajian Ramadhan online, Sabtu (16/5/20).
Output negatif yang dimaksud, lanjutnya, adalah bagi orang-orang yang telah berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan haus. Karena itulah la’allakum tattaquun menjadi hadiah dari performa puasa yang sukses.
Selanjutnya, Sony menerangkan tentang makna kata tattaquun. “Tattaquun merupakan fiil mudhari’ (kata kerja) dalam bahasa Arab yang bermakna sesuatu yang berkelanjutan. Tattaquun bukan merupakan suatu keadaan yang statik, namun berkelanjutan,” ujarnya.
Maknanya, predikat takwa yang ingin diraih adalah suatu keadaan yang berkelanjutan, bukan sekadar hari ini bertakwa, kemudian besok tidak lagi. Dalam ayat ini ditafsirkan bahwa takwa dilakukan secara berjamaah atau bersama-sama.
Mengutip tafsir Ibnu Katsir, Sonny mengatakan takwa adalah meninggalkan hal-hal yang mungkar. Takwa juga bisa bermakna takut atau menjaga diri. Menurutnya, orang yang bertakwa bisa menjaga diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dan juga menjaga diri dari segala bentuk kemaksiatan.
“Kemaksiatan merupakan perlawanan terhadap aturan Allah, dapat berupa perlawanan hati, pikiran, maupun perbuatan,” sambungnya.
Baca Juga: Wabah Corona Mengajarkan Kita untuk Tolong Menolong
Berinfak dalam Lapang dan Sempit
Prof Sony menjelaskan indikator takwa yang terdapat dalam surat Ali Imran ayat 133-135.
وَسَارِعُوۡۤا اِلٰى مَغۡفِرَةٍ مِّنۡ رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالۡاَرۡضُۙ اُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِيۡنَۙ
Artinya: Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (QS Ali Imran : 133)
الَّذِيۡنَ يُنۡفِقُوۡنَ فِى السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالۡكٰظِمِيۡنَ الۡغَيۡظَ وَالۡعَافِيۡنَ عَنِ النَّاسِؕ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الۡمُحۡسِنِيۡنَۚ
Artinya: (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan, (QS Ali Imran : 134)
وَالَّذِيۡنَ اِذَا فَعَلُوۡا فَاحِشَةً اَوۡ ظَلَمُوۡۤا اَنۡفُسَهُمۡ ذَكَرُوا اللّٰهَ فَاسۡتَغۡفَرُوۡا لِذُنُوۡبِهِمۡ وَمَنۡ يَّغۡفِرُ الذُّنُوۡبَ اِلَّا اللّٰهُ ۖ وَلَمۡ يُصِرُّوۡا عَلٰى مَا فَعَلُوۡا وَهُمۡ يَعۡلَمُوۡنَ
Artinya: dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzhalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui. (QS Ali Imran : 135)
Pertama, orang yang berinfak dalam keadaan lapang dan sempit. “Jika ditanya lebih sering infak waktu senang atau susah. Mungkin jawabannya yang pertama ya, seringkali kali kita berinfak pas kita senang, ada harta, kesempatan dan kesehatan,” ujar Prof Sonny.
Dalam hal ini, paparnya, yang ingin diuji adalah konsistensi pemikiran dan jiwa kita baik dalam keadaan senang maupun susah karena terkadang saat manusia senang, lupa dengan Tuhannya, saat susah barulah mengingat Tuhan. Perbedaan infak saat senang maupun susah hanya terletak pada intensitasnya saja.
Sony memberi contoh saat pandemi Covid-19 melanda Malaysia. Banyak warga Indonesia yang mengalami kendala akibat adanya lockdown. (Baca Juga: 6 Pelajaran Berharga dari Virus Bernama Corona
Muhammadiyah menjadi jaringan pengaman sosial bagi kawan-kawan yang ada di Malaysia. “Pekan pertama lockdown kita sudah bergerak menampung keluhan masyarakat, kemudian kita membantu memberikan sembako. Meskipun kawan-kawan juga bisa dibilang tidak dalam keadaan senang, tapi dalam persyarikatan ini keinginan untuk menolong sudah tidak diragukan lagi, karena keadaan kita juga terbatas, maka kita menggalang donasi,” ujarnya.
Kedua, mampu menahan diri dan memaafkan kesalahan orang lain. Menurut Sonny, sifat mudah memaafkan tidak bergantung pada status sosial dan ekonomi seseorang.
Sifat memaafkan pun dapat hilang karena konteks takwa. Orang yang kuat adalah siapa yang bisa mengendalikan amarah dan bisa memaafkan orang lain. “Banyak di sekeliling kita, semakin dia berilmu semakin menyombongkan diri dan susah menerima kesalahan orang, naudzubillah.”
Ketiga, orang-orang yang berbuat ihsan. Level tertinggi dari seseorang yang beriman adalah iman, Islam, dan ihsan. “Dalam hal ini, seseorang menyadari apa yang dilakukan selalu dipantau oleh Allah dan mengikhlaskan apa yang dilakukan hanya untuk Allah,” jelasnya.
Sony mengingatkan tentang salah satu pedoman hidup Islami warga Muhammadiyah yaitu bagaimana warga Muhammadiyah menempatkan posisinya dalam masyarakat, bertetangga, bermasyarakat lebih luas, berorganisasi dan berbangsa dan bernegara.
“Muhammadiyah sudah membawa konsep taawun kepada sebuah formula yang begitu rapi, sehingga sekarang mari kita pahami dan kita jalankan sebagai sebuah indikator dari ketakwaan yang sedang kita coba raih selama ini,” tandasnya. ( )
Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Malaysia ini menjelaskan makna yang terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 183. Menurutnya, la’allakum tattaquun yang merupakan penghujung ayat merupakan output yang diharapkan bisa diraih manusia jika telah menjalankan puasa sesuai yang disyariatkan Islam .
“La’allakum dalam bahasa Arab artinya harapan. Dalam ayat ini yang dimaksud adalah harapan bagi orang-orang yang berpuasa. Harapan yang terkandung dalam ayat tersebut merupakan titik motivasi bagi kita bahwa output dari puasa tidak selalu output yang positif. Terkadang juga bisa berupa output negatif,” paparnya dalam Pengajian Ramadhan online, Sabtu (16/5/20).
Output negatif yang dimaksud, lanjutnya, adalah bagi orang-orang yang telah berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan haus. Karena itulah la’allakum tattaquun menjadi hadiah dari performa puasa yang sukses.
Selanjutnya, Sony menerangkan tentang makna kata tattaquun. “Tattaquun merupakan fiil mudhari’ (kata kerja) dalam bahasa Arab yang bermakna sesuatu yang berkelanjutan. Tattaquun bukan merupakan suatu keadaan yang statik, namun berkelanjutan,” ujarnya.
Maknanya, predikat takwa yang ingin diraih adalah suatu keadaan yang berkelanjutan, bukan sekadar hari ini bertakwa, kemudian besok tidak lagi. Dalam ayat ini ditafsirkan bahwa takwa dilakukan secara berjamaah atau bersama-sama.
Mengutip tafsir Ibnu Katsir, Sonny mengatakan takwa adalah meninggalkan hal-hal yang mungkar. Takwa juga bisa bermakna takut atau menjaga diri. Menurutnya, orang yang bertakwa bisa menjaga diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dan juga menjaga diri dari segala bentuk kemaksiatan.
“Kemaksiatan merupakan perlawanan terhadap aturan Allah, dapat berupa perlawanan hati, pikiran, maupun perbuatan,” sambungnya.
Baca Juga: Wabah Corona Mengajarkan Kita untuk Tolong Menolong
Berinfak dalam Lapang dan Sempit
Prof Sony menjelaskan indikator takwa yang terdapat dalam surat Ali Imran ayat 133-135.
وَسَارِعُوۡۤا اِلٰى مَغۡفِرَةٍ مِّنۡ رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالۡاَرۡضُۙ اُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِيۡنَۙ
Artinya: Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (QS Ali Imran : 133)
الَّذِيۡنَ يُنۡفِقُوۡنَ فِى السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالۡكٰظِمِيۡنَ الۡغَيۡظَ وَالۡعَافِيۡنَ عَنِ النَّاسِؕ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الۡمُحۡسِنِيۡنَۚ
Artinya: (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan, (QS Ali Imran : 134)
وَالَّذِيۡنَ اِذَا فَعَلُوۡا فَاحِشَةً اَوۡ ظَلَمُوۡۤا اَنۡفُسَهُمۡ ذَكَرُوا اللّٰهَ فَاسۡتَغۡفَرُوۡا لِذُنُوۡبِهِمۡ وَمَنۡ يَّغۡفِرُ الذُّنُوۡبَ اِلَّا اللّٰهُ ۖ وَلَمۡ يُصِرُّوۡا عَلٰى مَا فَعَلُوۡا وَهُمۡ يَعۡلَمُوۡنَ
Artinya: dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzhalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui. (QS Ali Imran : 135)
Pertama, orang yang berinfak dalam keadaan lapang dan sempit. “Jika ditanya lebih sering infak waktu senang atau susah. Mungkin jawabannya yang pertama ya, seringkali kali kita berinfak pas kita senang, ada harta, kesempatan dan kesehatan,” ujar Prof Sonny.
Dalam hal ini, paparnya, yang ingin diuji adalah konsistensi pemikiran dan jiwa kita baik dalam keadaan senang maupun susah karena terkadang saat manusia senang, lupa dengan Tuhannya, saat susah barulah mengingat Tuhan. Perbedaan infak saat senang maupun susah hanya terletak pada intensitasnya saja.
Sony memberi contoh saat pandemi Covid-19 melanda Malaysia. Banyak warga Indonesia yang mengalami kendala akibat adanya lockdown. (Baca Juga: 6 Pelajaran Berharga dari Virus Bernama Corona
Muhammadiyah menjadi jaringan pengaman sosial bagi kawan-kawan yang ada di Malaysia. “Pekan pertama lockdown kita sudah bergerak menampung keluhan masyarakat, kemudian kita membantu memberikan sembako. Meskipun kawan-kawan juga bisa dibilang tidak dalam keadaan senang, tapi dalam persyarikatan ini keinginan untuk menolong sudah tidak diragukan lagi, karena keadaan kita juga terbatas, maka kita menggalang donasi,” ujarnya.
Kedua, mampu menahan diri dan memaafkan kesalahan orang lain. Menurut Sonny, sifat mudah memaafkan tidak bergantung pada status sosial dan ekonomi seseorang.
Sifat memaafkan pun dapat hilang karena konteks takwa. Orang yang kuat adalah siapa yang bisa mengendalikan amarah dan bisa memaafkan orang lain. “Banyak di sekeliling kita, semakin dia berilmu semakin menyombongkan diri dan susah menerima kesalahan orang, naudzubillah.”
Ketiga, orang-orang yang berbuat ihsan. Level tertinggi dari seseorang yang beriman adalah iman, Islam, dan ihsan. “Dalam hal ini, seseorang menyadari apa yang dilakukan selalu dipantau oleh Allah dan mengikhlaskan apa yang dilakukan hanya untuk Allah,” jelasnya.
Sony mengingatkan tentang salah satu pedoman hidup Islami warga Muhammadiyah yaitu bagaimana warga Muhammadiyah menempatkan posisinya dalam masyarakat, bertetangga, bermasyarakat lebih luas, berorganisasi dan berbangsa dan bernegara.
“Muhammadiyah sudah membawa konsep taawun kepada sebuah formula yang begitu rapi, sehingga sekarang mari kita pahami dan kita jalankan sebagai sebuah indikator dari ketakwaan yang sedang kita coba raih selama ini,” tandasnya. ( )
(mhy)