Milik Siapakah Mahar Pernikahan?
Sabtu, 21 Agustus 2021 - 05:00 WIB
Dalam hari-hari terakhir ini, kabar pernikahan sepasang selebriti muda menjadi trending topic di masyarakat kita. Salah satunya, karena mahar yang diberikan dalam pernikahan tersebut begitu fantastis dan cukup menghebohkan masyarakat yang tengah dirundung pandemi ini. Sebenarnya apa dan bagaimana mahar itu dalam pandangan syariat? Lantas milik siapakah mahar tersebut nantinya, milik istri atau mertuanya?
Dalam Islam, mahar adalah sesuatu yang harus diberikan oleh calon suami kepada calon istri ketika melangsungkan pernikahan dan menjadi salah satu syarat dalam akad nikah. Adanya mahar, tercantum dalam Al-Qur'an dan hadis Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
Allah Ta'ala berfirman:
وَاٰ تُوا النِّسَآءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحۡلَةً ؕ فَاِنۡ طِبۡنَ لَـكُمۡ عَنۡ شَىۡءٍ مِّنۡهُ نَفۡسًا فَكُلُوۡهُ هَنِيۡٓــًٔـا مَّرِیۡٓـــٴًﺎ
"Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati".(QS An-Nisa : 4)
Hadis Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Pergilah dan carilah meskipun hanya sebuah cincin dari besi.” Lalu, mahar nikah hak siapa, hak istri atau mertua? (HR Al-Bukhari)
Imam Ibn Hazm di dalam kitabnya Al-Muhalla menjelaskan:
ولا يحل لأب البكر صغيرة كانت أو كبيرة أو الثيب، ولا لغيره من سائر القرابة أو غيرهم: حكم في شيء من صداق الابنة، أو القريبة، ولا لأحد ممن ذكرنا أن يهبه، ولا شيئا منه، لا للزوج طلق أو أمسك ولا لغيره، فإن فعلوا شيئا من ذلك هو مفسوخ باطل مردود أبدا
“Tidak halal bagi ayah seorang gadis; baik masih kecil atau sudah besar, maupun ayah seorang janda dan anggota keluarga lainnya, menggunakan sedikitpun dari mahar putrinya atau kerabatnya. Tidak seorang pun yang kami sebutkan, berhak memberikan sebagian mahar itu, baik kepada suami yang telah menceraikan ataupun belum menceraikannya, tidak pula kepada yang lainnya. Siapa yang melakukan demikian, maka hal itu adalah perbuatan yang salah dan tertolak selamanya.”
Dari penjelasan-penjelasan di atas, para ulama mengindikasikan bahwa mahar adalah hak penuh istri yang tidak boleh diminta oleh siapapun. Mazhab Hanafi menjelaskan bahwa mahar sebagai jumlah harta yang menjadi hak istri karena akad pernikahan atau terjadinya senggama dengan sesungguhnya.
Ulama mazhab Maliki mendefinisikan mahar sebagai sesuatu yang menjadikan istri halal untuk digauli. Sementara itu, ulama madzhab Syafi’i menyebutkan mahar sebagai sesuatu yang wajib dibayarkan disebabkan akad nikah atau senggama. Sedangkan ulama mazhab Hanbali mendefinisikan mahar sebagai imbalan dari suatu pernikahan, baik disebutkan secara jelas dalam akad nikah, ditentukan setelah akad dengan persetujuan kedua belah pihak, atau ditentukan oleh hakim.
Dengan demikian, maka mahar nikah adalah sepenuhnya hak wanita/istri. Maka, harta yang didapatkan dari suaminya itu tidak boleh dimiliki oleh siapapun, termasuk suaminya dan orang tuanya.
Tujuan Mahar Pernikahan
Mahar dalam pernikahan merupakan harta yang diberikan pihak calon suami kepada calon istri untuk dinikahi sebagai penghalal hubungan keduanya. Karena itu mahar merupakan bentuk pemuliaan Islam kepada seorang perempuan.
Pada jaman jahiliyah sebenarnya mahar sudah ada. Namun bukan calon istri yang memiliki haknya, melainkan wali nikahnya. Wali nikah tersebut berhak menentukan mahar, menerimanya, dan juga membelanjakannya untuk dirinya sendiri.
Maka ketika Islam datang, Islam mampu menyelesaikan permasalahan tersebut dengan mewajibkan untuk memberikan mahar kepada calon istri, bukan ayah atau wali nikah. Sebagaimana tertulis dalam QS An-Nisa: 4 di atas.
Hanya saja, dalam kajian ilmu fiqih, ulama berbeda pendapat tentang batas minimal mahar tersebut. Misalnya, mazhab Hanafi menyebutkan minimal 10 dirham. Sedangkan mazhab Maliki adalah 2 dirham. Ada juga yang berpendapat bahwa tidak ada batas minimal dalam mahar. Pendapat yang terakhir ini bersandar sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
خَيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرَهُ
“Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah.”
Hadis tersebut mengingatkan bahwa tujuan mahar tersebut bukanlah untuk bahan pameran kepada keluarga atau tamu undangan. Tujuan mahar dalam pernikahan utamanya adalah untuk memuliakan perempuan. Sehingga jika memang tidak memungkinkan dengan harga yang tinggi, maka pihak perempuan harus mengerti keadaan lelakinya. Mahar tersebut tidak harus berupa uang, bisa saja berupa jasa seperti mengajari bacaan Al-Qur'an atau jasa lainnya.
Wallahu A'lam
sumber :
- Imam Ibn Hazm di dalam Kitab Al-Muhalla
- bincangmuslimah.com
Dalam Islam, mahar adalah sesuatu yang harus diberikan oleh calon suami kepada calon istri ketika melangsungkan pernikahan dan menjadi salah satu syarat dalam akad nikah. Adanya mahar, tercantum dalam Al-Qur'an dan hadis Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
Allah Ta'ala berfirman:
وَاٰ تُوا النِّسَآءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحۡلَةً ؕ فَاِنۡ طِبۡنَ لَـكُمۡ عَنۡ شَىۡءٍ مِّنۡهُ نَفۡسًا فَكُلُوۡهُ هَنِيۡٓــًٔـا مَّرِیۡٓـــٴًﺎ
"Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati".(QS An-Nisa : 4)
Hadis Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Pergilah dan carilah meskipun hanya sebuah cincin dari besi.” Lalu, mahar nikah hak siapa, hak istri atau mertua? (HR Al-Bukhari)
Imam Ibn Hazm di dalam kitabnya Al-Muhalla menjelaskan:
ولا يحل لأب البكر صغيرة كانت أو كبيرة أو الثيب، ولا لغيره من سائر القرابة أو غيرهم: حكم في شيء من صداق الابنة، أو القريبة، ولا لأحد ممن ذكرنا أن يهبه، ولا شيئا منه، لا للزوج طلق أو أمسك ولا لغيره، فإن فعلوا شيئا من ذلك هو مفسوخ باطل مردود أبدا
“Tidak halal bagi ayah seorang gadis; baik masih kecil atau sudah besar, maupun ayah seorang janda dan anggota keluarga lainnya, menggunakan sedikitpun dari mahar putrinya atau kerabatnya. Tidak seorang pun yang kami sebutkan, berhak memberikan sebagian mahar itu, baik kepada suami yang telah menceraikan ataupun belum menceraikannya, tidak pula kepada yang lainnya. Siapa yang melakukan demikian, maka hal itu adalah perbuatan yang salah dan tertolak selamanya.”
Baca Juga
Dari penjelasan-penjelasan di atas, para ulama mengindikasikan bahwa mahar adalah hak penuh istri yang tidak boleh diminta oleh siapapun. Mazhab Hanafi menjelaskan bahwa mahar sebagai jumlah harta yang menjadi hak istri karena akad pernikahan atau terjadinya senggama dengan sesungguhnya.
Ulama mazhab Maliki mendefinisikan mahar sebagai sesuatu yang menjadikan istri halal untuk digauli. Sementara itu, ulama madzhab Syafi’i menyebutkan mahar sebagai sesuatu yang wajib dibayarkan disebabkan akad nikah atau senggama. Sedangkan ulama mazhab Hanbali mendefinisikan mahar sebagai imbalan dari suatu pernikahan, baik disebutkan secara jelas dalam akad nikah, ditentukan setelah akad dengan persetujuan kedua belah pihak, atau ditentukan oleh hakim.
Dengan demikian, maka mahar nikah adalah sepenuhnya hak wanita/istri. Maka, harta yang didapatkan dari suaminya itu tidak boleh dimiliki oleh siapapun, termasuk suaminya dan orang tuanya.
Tujuan Mahar Pernikahan
Mahar dalam pernikahan merupakan harta yang diberikan pihak calon suami kepada calon istri untuk dinikahi sebagai penghalal hubungan keduanya. Karena itu mahar merupakan bentuk pemuliaan Islam kepada seorang perempuan.
Pada jaman jahiliyah sebenarnya mahar sudah ada. Namun bukan calon istri yang memiliki haknya, melainkan wali nikahnya. Wali nikah tersebut berhak menentukan mahar, menerimanya, dan juga membelanjakannya untuk dirinya sendiri.
Maka ketika Islam datang, Islam mampu menyelesaikan permasalahan tersebut dengan mewajibkan untuk memberikan mahar kepada calon istri, bukan ayah atau wali nikah. Sebagaimana tertulis dalam QS An-Nisa: 4 di atas.
Hanya saja, dalam kajian ilmu fiqih, ulama berbeda pendapat tentang batas minimal mahar tersebut. Misalnya, mazhab Hanafi menyebutkan minimal 10 dirham. Sedangkan mazhab Maliki adalah 2 dirham. Ada juga yang berpendapat bahwa tidak ada batas minimal dalam mahar. Pendapat yang terakhir ini bersandar sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
خَيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرَهُ
“Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah.”
Hadis tersebut mengingatkan bahwa tujuan mahar tersebut bukanlah untuk bahan pameran kepada keluarga atau tamu undangan. Tujuan mahar dalam pernikahan utamanya adalah untuk memuliakan perempuan. Sehingga jika memang tidak memungkinkan dengan harga yang tinggi, maka pihak perempuan harus mengerti keadaan lelakinya. Mahar tersebut tidak harus berupa uang, bisa saja berupa jasa seperti mengajari bacaan Al-Qur'an atau jasa lainnya.
Wallahu A'lam
sumber :
- Imam Ibn Hazm di dalam Kitab Al-Muhalla
- bincangmuslimah.com
(wid)
Lihat Juga :