Surat Thaha 85-98: Kisah Pengkhianatan Samiri dan Kemarahan Nabi Musa
Senin, 15 November 2021 - 15:53 WIB
Dalam surah Thaha ayat 95, Nabi Musa kemudian bertanya kepada Samiri mengenai alasan perbuatannya.
Berkata Musa: "Apakah yang mendorongmu (berbuat demikian) hai Samiri?" ( QS Thaha : 95 )
Samiri menjawab: "Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil segenggam dari jejak rasul lalu aku melemparkannya, dan demikianlah nafsuku membujukku". ( QS Thaha : 96 )
Ath Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Takwil al-Qur’an menjelaskan ketika kaum Nabi Musa menyeberangi laut mereka tidak kuat membawa banyak perhiasan dari Bani Qibti Mesir, harta yang mereka ambil dari bala tentara Fir’aun yang tenggelam.
Samiri mengambil kesempatan ini dan membujuk Bani Israil untuk membuang perhiasan tersebut untuk diserahkan kepada Samiri. Oleh Samiri perhiasan tersebut dilelehkan dengan api dan dibuat menjadi patung anak sapi emas.
Sesuai dengan penjelasan Samiri kepada Nabi Musa, bahwa ia menggosokkan “jejak rasul” kepada patung tersebut yang akhirnya membuat patung itu bisa bersuara.
Ath-Thabari dan Al-Qurthubi memberikan pendapat senada bahwa “jejak rasul” yang dimaksud Samiri adalah ia melihat bekas kaki Jibril pada saat lautan terbelah oleh tongkat Nabi Musa dan menggelamkan bala tentara Fir’aun.
Hanya saja, Buya Hamka menjelaskan bahwa yang diungkapkan Samiri kepada Nabi Musa adalah bohong. Buya Hamka berargumentasi bahwa tidak mungkin Samiri yang berhati kotor dapat melihat malaikat Jibril. Quraish Shihab mengatakan bahwa yang dilakukan Samiri hanyalah tipu daya semata.
Al-Qur'an menjelaskan akhir kisah ini dalam surah Thaha ayat 97. Allah SWT berfirman:
Berkata Musa: "Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu di dalam kehidupan di dunia ini (hanya dapat) mengatakan: "Janganlah menyentuh (aku)". Dan sesungguhnya bagimu hukuman (di akhirat) yang kamu sekali-kali tidak dapat menghindarinya, dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan). ( QS Thaha : 97 )
Di sana diceritakan bahwa setelah Samiri menjelaskan perbuatannya, Nabi Musa marah, lalu menyuruhnya pergi.
Al-Qurthubi memberikan keterangan bahwa Samiri melarikan diri ke hutan belantara, ia hidup bersama hewan dan biantang di sana. Ia seperti hidup di pengasingan, karena manusia tidak ada yang menjamahnya.
Sedangkan terhadap patung anak sapi tersebut, Nabi Musa memerintahkan untuk membakarnya dan membuang abunya ke laut.
Penghasut Kesesatan
Samiri disebut Al-Qur'an sebagai sebuah nama perorangan dan bukan julukan seperti Al-Qur'an menyebut Fir’aun yang merujuk pada julukan raja Mesir. Penyebutan nama Samiri dalam Al-Qur'an adalah sebagai contoh seorang yang ingkar kepada Allah.
قَالَ فَمَا خَطْبُكَ يَا سَامِرِيُّ
Berkata Musa: "Apakah yang mendorongmu (berbuat demikian) hai Samiri?" ( QS Thaha : 95 )
قَالَ بَصُرْتُ بِمَا لَمْ يَبْصُرُوا بِهِ فَقَبَضْتُ قَبْضَةً مِنْ أَثَرِ الرَّسُولِ فَنَبَذْتُهَا وَكَذَٰلِكَ سَوَّلَتْ لِي نَفْسِي
Samiri menjawab: "Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil segenggam dari jejak rasul lalu aku melemparkannya, dan demikianlah nafsuku membujukku". ( QS Thaha : 96 )
Ath Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Takwil al-Qur’an menjelaskan ketika kaum Nabi Musa menyeberangi laut mereka tidak kuat membawa banyak perhiasan dari Bani Qibti Mesir, harta yang mereka ambil dari bala tentara Fir’aun yang tenggelam.
Samiri mengambil kesempatan ini dan membujuk Bani Israil untuk membuang perhiasan tersebut untuk diserahkan kepada Samiri. Oleh Samiri perhiasan tersebut dilelehkan dengan api dan dibuat menjadi patung anak sapi emas.
Sesuai dengan penjelasan Samiri kepada Nabi Musa, bahwa ia menggosokkan “jejak rasul” kepada patung tersebut yang akhirnya membuat patung itu bisa bersuara.
Ath-Thabari dan Al-Qurthubi memberikan pendapat senada bahwa “jejak rasul” yang dimaksud Samiri adalah ia melihat bekas kaki Jibril pada saat lautan terbelah oleh tongkat Nabi Musa dan menggelamkan bala tentara Fir’aun.
Hanya saja, Buya Hamka menjelaskan bahwa yang diungkapkan Samiri kepada Nabi Musa adalah bohong. Buya Hamka berargumentasi bahwa tidak mungkin Samiri yang berhati kotor dapat melihat malaikat Jibril. Quraish Shihab mengatakan bahwa yang dilakukan Samiri hanyalah tipu daya semata.
Al-Qur'an menjelaskan akhir kisah ini dalam surah Thaha ayat 97. Allah SWT berfirman:
قَالَ فَاذْهَبْ فَإِنَّ لَكَ فِي الْحَيَاةِ أَنْ تَقُولَ لَا مِسَاسَ ۖ وَإِنَّ لَكَ مَوْعِدًا لَنْ تُخْلَفَهُ ۖ وَانْظُرْ إِلَىٰ إِلَٰهِكَ الَّذِي ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفًا ۖ لَنُحَرِّقَنَّهُ ثُمَّ لَنَنْسِفَنَّهُ فِي الْيَمِّ نَسْفًا
Berkata Musa: "Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu di dalam kehidupan di dunia ini (hanya dapat) mengatakan: "Janganlah menyentuh (aku)". Dan sesungguhnya bagimu hukuman (di akhirat) yang kamu sekali-kali tidak dapat menghindarinya, dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan). ( QS Thaha : 97 )
Di sana diceritakan bahwa setelah Samiri menjelaskan perbuatannya, Nabi Musa marah, lalu menyuruhnya pergi.
Al-Qurthubi memberikan keterangan bahwa Samiri melarikan diri ke hutan belantara, ia hidup bersama hewan dan biantang di sana. Ia seperti hidup di pengasingan, karena manusia tidak ada yang menjamahnya.
Sedangkan terhadap patung anak sapi tersebut, Nabi Musa memerintahkan untuk membakarnya dan membuang abunya ke laut.
Penghasut Kesesatan
Samiri disebut Al-Qur'an sebagai sebuah nama perorangan dan bukan julukan seperti Al-Qur'an menyebut Fir’aun yang merujuk pada julukan raja Mesir. Penyebutan nama Samiri dalam Al-Qur'an adalah sebagai contoh seorang yang ingkar kepada Allah.