Peristiwa di Bulan Rajab: Kiblat Sholat Berputar 180 Derajat sebagai Ujian Iman
Sabtu, 05 Februari 2022 - 11:16 WIB
Peristiwa penting di bulan Rajab salah satunya adalah berpindahnya arah kiblat sholat dari Baitul Maqdis ke Kakbah di Masjidil Haram . Jadi, Kakbah bukanlah kiblat pertama bagi umat Islam untuk menghadapkan wajahnya saat sholat.
Perubahan arah kiblat yang 180 derajat ini membuat kaum Yahudi kesal. Mereka sangat geram dan melontarkan desas-desus yang tidak sedap dengan menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah orang yang plin-plan, seketika sholat menghadap ke sini dan ke sana.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul " Sejarah Hidup Muhammad " mengungkapkan orang-orang Yahudi merasa sesak napas. Lalu mereka mengatakan kepada Nabi Muhammad, bahwa para rasul sebelum dia semua pergi ke Baitul Maqdis dan memang di sana tempat tinggal mereka. Jika dia juga memang benar-benar seorang rasul, iapun akan berbuat seperti mereka, dan kota Madinah ini akan dianggapnya sebagai kota perantara dalam hijrahnya dulu antara Mekkah dengan al-Masjidil Aqsha.
Sekali lagi mereka berusaha memperdayakannya, dengan mengatakan, bahwa mereka akan mau jadi pengikutnya kalau ia kembali ke kiblat semula. Kaum Yahudi juga menebarkan isu bahwa kebaikan hanya bisa diraih dengan cara sholat menghadap Baitul Maqdis.
Allah SWT lalu menurunkan ayat guna menghancurkan desas-desus tersebut. Ketika turunlah ayat 177 dalam Surat al-Baqarah :
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta, (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
Dua versi
Laman AboutIslam menyebut perubahan arah kiblat terjadi pada bulan Rajab, yakni 16-17 bulan usai hijrah dari Mekkah ke Madinah. Saat di Mekkah, Rasulullah SAW dikisahkan mengambil posisi sedemikian rupa sehingga tidak membelakangi Kakbah dengan wajah yang menghadap Masjid Al-Aqsa.
Hanya saja, ada pendapat lain yang menyebut bahwa kejadian peralihan kiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram adalah pada bulan Sya’ban. Setidaknya ini disampaikan Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki dalam kitab "Ma Dza fi Sya’ban?"
Al-Qurthubi ketika menafsirkan Surat Al-Baqarah ayat 144 dalam kitab Al-Jami’ li Ahkāmil Qur’an dengan mengutip pendapat Abu Hatim Al-Basti mengatakan bahwa Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk mengalihkan kiblat pada malam Selasa bulan Sya’ban yang bertepatan dengan malam nisfu Sya’ban .
Kala itu Rasulullah SAW sedang melaksanakan sholat zuhur dengan menghadap ke arah Masjid al-Aqsha. Dalam riwayat lain saat sholat Ashar.
Ditunggu-tunggu
Peralihan kiblat ini merupakan suatu hal yang sangat ditunggu-tunggu oleh Nabi Muhammad SAW. Bahkan diceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW berdiri menghadap langit setiap hari menunggu wahyu turun perihal peralihan kiblat itu seperti digambarkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 144 berikut.
“Sungguh Kami melihat wajahmu kerap menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.”
Ketika ayat tersebut turun, Rasulullah baru melaksanakan sholat dua rekaat berjamaah di sebuah masjid di pinggiran kota Madinah. Dengan turunnya ayat itu, maka beliau segera menghentikan sholat sebentar, kemudian beliau berputar 180 derajat menghadap arah baru, sehingga jamaah yang ikut salat itu terpaksa jalan memutar dan tetap berada di belakang Nabi.
Untuk mempertahankan bukti sejarah, hingga kini, masjid tempat sholat Nabi itu masih mempertahankan dua mimbar, satu menghadap ke Kakbah dan satu lagi menghadap ke Baitul Maqdis, dan disebut dengan Masjid Qiblatain (dua kiblat).
Imam Abu al-Fida Ismail Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, menyebut: “Yang pertama kali di-naskh dalam Al-Qur’an ialah kiblat, bahwasanya Rasulullah SAW ketika hijrah ke Madinah, sementara penduduk Madinah mayoritas adalah Yahudi, Allah memerintahkan untuk menghadap Baitul Maqdis (ketika sholat), maka berbahagialah orang Yahudi. Rasulullah menghadap Baitul Maqdis (ketika sholat) selama lebih dari 10 bulan, padahal beliau lebih senang pada kiblatnya Nabi Ibrahim (Kakbah), maka beliau seringkali berdoa dan menghadap ke langit”
Dalam beberapa keterangan disebutkan, ketika Allah memerintahkan perintah sholat dan menghadap ke Masjid Al-Aqsha, hal itu dimaksudkan agar menghadap ke tempat yang suci, bebas dari berbagai macam berhala dan sesembahan. Ketika itu, kondisi Masjid Al-Haram yang merupakan tempat keberangkatan Isra dan Mi'raj, belum berupa bangunan masjid. Sebab, kala itu masih dipenuhi berhala-berhala yang jumlahnya mencapai 309 buah dan senantiasa disembah oleh orang Arab sebelum kedatangan Islam. Di bawah dominasi kekufuran seperti itu, Rasulullah SAW belum bisa menunaikan ibadah sholat di tempat tersebut.
Selain itu, bila Rasulullah SAW saat itu melaksanakan sholat dengan menghadap ke Masjid Al-Haram, maka hal itu akan menjadi kebanggaan bagi kaum kafir Quraisy bahwa Rasulullah SAW seolah mengakui berhala-berhala mereka sebagai tuhan. Inilah salah satu hikmah diperintahkannya sholat dengan menghadap ke Baitul Maqdis (Al-Aqsha).
Ujian Keimanan
Sedangkan perpindahan ini dimaksudkan, bahwa ibadah sholat itu bukan semata-mata menghadap ke masjid al-Haram atau Al-Aqsha sebagai tujuan, melainkan menghadapkan diri pada Allah. Dan adapun Kakbah adalah sebagai pemersatu umat Islam dalam menentukan arah kiblat.
Sama seperti Al-Aqsha yang juga belum berupa bangunan masjid (ketika itu), dan al-Shakhra masih berupa gundukan tanah yang dipenuhi dengan debu. Adapun hikmah di balik penyebutan Allah terhadap Al-Haram dan Al-Aqsha sebagai masjid (sebagaimana surah al-Isra ` [17] ayat 1), adalah untuk menunjukkan pada umat Islam bahwa semua itu merupakan mukjizat yang akan datang dan terwujud seiring dengan berjalannya waktu sebagaimana sekarang ini, keduanya telah menjadi masjid.
Rupanya, perubahan arah kiblat ini, selain sebagai jawaban atas doa Nabi Muhammad, juga merupakan sebentuk ujian yang Allah berikan untuk membedakan mana yang imannya asli atau palsu. Ini tergambar dalam Surat al-Baqarah ayat 143:
“Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi beberapa orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”
Bangunan Tertua
Kakbah yang berada di dalam Masjidil Haram Mekkah merupakan bangunan ibadah tertua di muka bumi ini. Bangunan yang berbentuk kubus ini diriwayatkan dibangun pertama kali oleh Nabi Adam AS. Karena kekunoannya, bangunan ini disebut juga sebagai bayt al-Athiq sebagaimana tertera dalam Surat Al-Hajj ayat 29:
“Dan thawaf (berkeliling) lah kalian di rumah yang kuno.”
Al-Qur’an menyebutkan bahwa Kakbah telah ada pada saat Nabi Ibrahim menempatkan Siti Hajar dan Nabi Ismail ketika masih bayi di lokasi tersebut, sebagaimana tercermin dalam Surat Ibrahim ayat 37:
"Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur."
Setelah meninggalkan istrinya, Siti Hajar, dan putranya, Ismail, Nabi Ibrahim kemudian datang lagi ke tempat tersebut karena mendapatkan wahyu untuk mendirikan bangunan Ka’bah.
Bersama Nabi Ismail beliau kemudian mendirikan Kakbah, sebagaimana diceritakan dalam Surat al-Baqarah ayat 127:
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". Ketika perintah untuk shalat diberikan kepada Nabi Muhammad pasca peristiwa Isra’ Mi’raj, Nabi Muhammad yang saat itu berada di Makkah tentu saja menghadap Ka’bah saat melaksanakan shalat. Hingga kemudian Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, maka turunlah perintah Allah agar menghadap ke Baitul Maqdis ketika sholat.
Perubahan arah kiblat yang 180 derajat ini membuat kaum Yahudi kesal. Mereka sangat geram dan melontarkan desas-desus yang tidak sedap dengan menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah orang yang plin-plan, seketika sholat menghadap ke sini dan ke sana.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul " Sejarah Hidup Muhammad " mengungkapkan orang-orang Yahudi merasa sesak napas. Lalu mereka mengatakan kepada Nabi Muhammad, bahwa para rasul sebelum dia semua pergi ke Baitul Maqdis dan memang di sana tempat tinggal mereka. Jika dia juga memang benar-benar seorang rasul, iapun akan berbuat seperti mereka, dan kota Madinah ini akan dianggapnya sebagai kota perantara dalam hijrahnya dulu antara Mekkah dengan al-Masjidil Aqsha.
Sekali lagi mereka berusaha memperdayakannya, dengan mengatakan, bahwa mereka akan mau jadi pengikutnya kalau ia kembali ke kiblat semula. Kaum Yahudi juga menebarkan isu bahwa kebaikan hanya bisa diraih dengan cara sholat menghadap Baitul Maqdis.
Allah SWT lalu menurunkan ayat guna menghancurkan desas-desus tersebut. Ketika turunlah ayat 177 dalam Surat al-Baqarah :
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta, (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
Dua versi
Laman AboutIslam menyebut perubahan arah kiblat terjadi pada bulan Rajab, yakni 16-17 bulan usai hijrah dari Mekkah ke Madinah. Saat di Mekkah, Rasulullah SAW dikisahkan mengambil posisi sedemikian rupa sehingga tidak membelakangi Kakbah dengan wajah yang menghadap Masjid Al-Aqsa.
Hanya saja, ada pendapat lain yang menyebut bahwa kejadian peralihan kiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram adalah pada bulan Sya’ban. Setidaknya ini disampaikan Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki dalam kitab "Ma Dza fi Sya’ban?"
Al-Qurthubi ketika menafsirkan Surat Al-Baqarah ayat 144 dalam kitab Al-Jami’ li Ahkāmil Qur’an dengan mengutip pendapat Abu Hatim Al-Basti mengatakan bahwa Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk mengalihkan kiblat pada malam Selasa bulan Sya’ban yang bertepatan dengan malam nisfu Sya’ban .
Kala itu Rasulullah SAW sedang melaksanakan sholat zuhur dengan menghadap ke arah Masjid al-Aqsha. Dalam riwayat lain saat sholat Ashar.
Baca Juga
Ditunggu-tunggu
Peralihan kiblat ini merupakan suatu hal yang sangat ditunggu-tunggu oleh Nabi Muhammad SAW. Bahkan diceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW berdiri menghadap langit setiap hari menunggu wahyu turun perihal peralihan kiblat itu seperti digambarkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 144 berikut.
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
“Sungguh Kami melihat wajahmu kerap menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.”
Ketika ayat tersebut turun, Rasulullah baru melaksanakan sholat dua rekaat berjamaah di sebuah masjid di pinggiran kota Madinah. Dengan turunnya ayat itu, maka beliau segera menghentikan sholat sebentar, kemudian beliau berputar 180 derajat menghadap arah baru, sehingga jamaah yang ikut salat itu terpaksa jalan memutar dan tetap berada di belakang Nabi.
Untuk mempertahankan bukti sejarah, hingga kini, masjid tempat sholat Nabi itu masih mempertahankan dua mimbar, satu menghadap ke Kakbah dan satu lagi menghadap ke Baitul Maqdis, dan disebut dengan Masjid Qiblatain (dua kiblat).
Imam Abu al-Fida Ismail Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, menyebut: “Yang pertama kali di-naskh dalam Al-Qur’an ialah kiblat, bahwasanya Rasulullah SAW ketika hijrah ke Madinah, sementara penduduk Madinah mayoritas adalah Yahudi, Allah memerintahkan untuk menghadap Baitul Maqdis (ketika sholat), maka berbahagialah orang Yahudi. Rasulullah menghadap Baitul Maqdis (ketika sholat) selama lebih dari 10 bulan, padahal beliau lebih senang pada kiblatnya Nabi Ibrahim (Kakbah), maka beliau seringkali berdoa dan menghadap ke langit”
Dalam beberapa keterangan disebutkan, ketika Allah memerintahkan perintah sholat dan menghadap ke Masjid Al-Aqsha, hal itu dimaksudkan agar menghadap ke tempat yang suci, bebas dari berbagai macam berhala dan sesembahan. Ketika itu, kondisi Masjid Al-Haram yang merupakan tempat keberangkatan Isra dan Mi'raj, belum berupa bangunan masjid. Sebab, kala itu masih dipenuhi berhala-berhala yang jumlahnya mencapai 309 buah dan senantiasa disembah oleh orang Arab sebelum kedatangan Islam. Di bawah dominasi kekufuran seperti itu, Rasulullah SAW belum bisa menunaikan ibadah sholat di tempat tersebut.
Selain itu, bila Rasulullah SAW saat itu melaksanakan sholat dengan menghadap ke Masjid Al-Haram, maka hal itu akan menjadi kebanggaan bagi kaum kafir Quraisy bahwa Rasulullah SAW seolah mengakui berhala-berhala mereka sebagai tuhan. Inilah salah satu hikmah diperintahkannya sholat dengan menghadap ke Baitul Maqdis (Al-Aqsha).
Ujian Keimanan
Sedangkan perpindahan ini dimaksudkan, bahwa ibadah sholat itu bukan semata-mata menghadap ke masjid al-Haram atau Al-Aqsha sebagai tujuan, melainkan menghadapkan diri pada Allah. Dan adapun Kakbah adalah sebagai pemersatu umat Islam dalam menentukan arah kiblat.
Sama seperti Al-Aqsha yang juga belum berupa bangunan masjid (ketika itu), dan al-Shakhra masih berupa gundukan tanah yang dipenuhi dengan debu. Adapun hikmah di balik penyebutan Allah terhadap Al-Haram dan Al-Aqsha sebagai masjid (sebagaimana surah al-Isra ` [17] ayat 1), adalah untuk menunjukkan pada umat Islam bahwa semua itu merupakan mukjizat yang akan datang dan terwujud seiring dengan berjalannya waktu sebagaimana sekarang ini, keduanya telah menjadi masjid.
Rupanya, perubahan arah kiblat ini, selain sebagai jawaban atas doa Nabi Muhammad, juga merupakan sebentuk ujian yang Allah berikan untuk membedakan mana yang imannya asli atau palsu. Ini tergambar dalam Surat al-Baqarah ayat 143:
وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi beberapa orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”
Bangunan Tertua
Kakbah yang berada di dalam Masjidil Haram Mekkah merupakan bangunan ibadah tertua di muka bumi ini. Bangunan yang berbentuk kubus ini diriwayatkan dibangun pertama kali oleh Nabi Adam AS. Karena kekunoannya, bangunan ini disebut juga sebagai bayt al-Athiq sebagaimana tertera dalam Surat Al-Hajj ayat 29:
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“Dan thawaf (berkeliling) lah kalian di rumah yang kuno.”
Al-Qur’an menyebutkan bahwa Kakbah telah ada pada saat Nabi Ibrahim menempatkan Siti Hajar dan Nabi Ismail ketika masih bayi di lokasi tersebut, sebagaimana tercermin dalam Surat Ibrahim ayat 37:
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
"Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur."
Setelah meninggalkan istrinya, Siti Hajar, dan putranya, Ismail, Nabi Ibrahim kemudian datang lagi ke tempat tersebut karena mendapatkan wahyu untuk mendirikan bangunan Ka’bah.
Bersama Nabi Ismail beliau kemudian mendirikan Kakbah, sebagaimana diceritakan dalam Surat al-Baqarah ayat 127:
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". Ketika perintah untuk shalat diberikan kepada Nabi Muhammad pasca peristiwa Isra’ Mi’raj, Nabi Muhammad yang saat itu berada di Makkah tentu saja menghadap Ka’bah saat melaksanakan shalat. Hingga kemudian Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, maka turunlah perintah Allah agar menghadap ke Baitul Maqdis ketika sholat.
(mhy)