Maaf Rasulullah: Hidangan Susu untuk Calon Pembunuh

Rabu, 17 Juni 2020 - 05:00 WIB
Hal yang mengagetkan para sahabat, Rasulullah justru membebaskan Tsumamah dan menyuruhnya pergi. Foto/Ilustrasi/SINDOnews
LELAKI Arab itu bernama Tsumamah bin Itsal. Dia berasal dari Kabilah al-Yamamah. Tsumamah amat membenci Nabi Muhammad SAW. Tekadnya satu: membunuh Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam (SAW).

Hari yang dinanti itu akhirnya tiba. Dari Makkah , ia bergegas ke Madinah . Bersenjatakan pedang dan semangat yang meluap-luap ia mencari Rasulullah.

Pada saat Tsumamah memasuki Kota Madinah, ia bertemu Umar bin Khattab . “Apa tujuan kedatanganmu ke Madinah? Bukankah engkau seorang musyrik?” tanya Umar penuh curiga.

“Aku datang ke negeri ini hanya untuk membunuh Muhammad!” teriak Tsumamah tanpa tedeng aling aling.



Dengan sigap Umar menghadang lelaki musyrik itu. Umar pun berhasil merampas senjata dan mengikat tangan Tsumamah. Selanjutnya Al-Farouk membawanya ke masjid. Setelah mengikat Tsumamah di salah satu tiang masjid, Umar segera melaporkan kejadian ini kepada Rasulullah. (

Rasulullah pun segera keluar menemui orang yang bermaksud membunuhnya itu. Setibanya di tempat pengikatannya, beliau mengamati wajah Tsumamah baik-baik, kemudian bertanya kepada para sahabatnya, “Apakah ada di antara kalian yang sudah memberinya makan?” ( )

Para sahabat tentu saja kaget dengan pertanyaan Nabi. Umar yang sejak tadi menunggu perintah Rasulullah untuk membunuh orang ini, seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya.



Maka Umar memberanikan diri bertanya, “Makanan apa yang kau maksud wahai Rasulullah? Orang ini datang ke sini ingin membunuh, bukan ingin masuk Islam!”

Rasulullah tidak menghiraukan sanggahan Umar. Beliau berkata, “Tolong ambilkan segelas susu dari rumahku, dan buka tali pengikat orang itu.”

Walaupun merasa heran, Umar mematuhi perintah Rasulullah. Setelah memberi minum Tsumamah, Rasulullah dengan sopan berkata kepadanya, “Ucapkanlah Laa ilaha Illallah (Tiada ilah selain Allah).”



Si Musyrik itu menjawab dengan ketus, “Aku tidak akan mengucapkannya!”

Rasulullah membujuk lagi, “Katakanlah, aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muhammad itu Rasul Allah.”

Namun Tsumamah tetap berkata dengan nada keras, “Aku tidak akan mengucapkannya!”

Para sahabat Nabi yang turut menyaksikan adegan ini menjadi geram terhadap orang yang tidak tahu untung tersebut. Hal yang mengagetkan para sahabat, Rasulullah justru membebaskan Tsumamah dan menyuruhnya pergi.



Si musyrik itu bangkit seolah-olah hendak pulang ke negerinya. Tetapi belum jauh dari masjid, dia kembali kepada Rasulullah dengan wajah ramah berseri. Ia berkata, “Ya Rasulullah, aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muhammad Rasul Allah".

Rasulullah tersenyum dan bertanya, “Mengapa engkau tidak mengucapkannya ketika aku memerintahkan kepadamu?”



Tsumamah menjawab, “Aku tidak mengucapkannya ketika masih belum kau bebaskan karena khawatir ada yang menganggap aku masuk Islam karena takut kepadamu. Namun setelah engkau bebaskan, aku masuk Islam semata-mata karena mengharap keridhaan Allah.”

Pada suatu kesempatan, Tsumamah bin Itsal berkata, “Ketika aku memasuki Kota Madinah, tiada yang lebih kubenci dari Muhammad. Tetapi setelah aku meninggalkan kota itu, tiada seorang pun di muka bumi yang lebih kucintai selain Muhammad Rasulullah."

ahi Munkar

Maaf Rasulullah

Memaafkan merupakan bagian dari akhlak mulia yang diajarkan Rasulullah SAW kepada umatnya. Abdullah al-Jadali berkata, ''Aku bertanya kepada Aisyah RA tentang akhlak Rasulullah SAW, lalu ia menjawab, 'Beliau bukanlah orang yang keji (dalam perkataan ataupun perbuatan), suka kekejian, suka berteriak di pasar-pasar atau membalas kejahatan dengan kejahatan, melainkan orang yang suka memaafkan.'' (HR Tirmidzi; hadis sahih).



Umat Islam diperintahkan untuk memaafkan kesalahan orang lain kepadanya. Rasulullah SAW bersabda, ''Orang yang hebat bukanlah orang yang menang dalam pergulatan. Sesungguhnya orang yang hebat adalah orang yang (mampu) mengendalikan nafsunya ketika marah. Memaafkan dan mengampuni juga merupakan perbuatan yang diperintahkan Sang Khalik kepada umatnya."



Dalam surah al-A'raaf ayat 199, Allah SWT berfirman, ''Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.'' Pada surah al-Hijr ayat 85, Allah SWT kembali berfirman, ''Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.''

Allah Ta'ala memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk memaafkan orang-orang musyrik atas tindakan mereka menyakiti dan mendustakan beliau. Sebab, Allah SWT sangat menyukai hamba-Nya yang berbuat kebajikan dan memaafkan. ''Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.'' (QS: asy-Syuura; 43).



Syekh Mahmud al-Mishri dalam kitab Mausu'ah min Akhlaqir-Rasul mengatakan memaafkan adalah pintu terbesar menuju terciptanya rasa saling mencintai di antara sesama manusia. ''Jika orang lain mencerca kita, sebaiknya kita membalasnya dengan memberi maaf dan perkataan yang baik,'' ungkap Syekh al-Mishri.

Begitu juga ketika seorang berbuat jahat kepada kita, papar Syekh al-Mishri, seharusnya kita membalas dengan berbuat baik kepadanya.



Menurut dia, Allah Ta'ala akan selalu memberikan pertolongan kepada kita selama memiliki sifat memaafkan dan kebaikan. Memaafkan adalah ciri orang-orang yang baik.

Allah Ta'ala berfirman:

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا ۖ فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

"Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim." (QS asy-Syuraa ayat 40)

Semoga kita menjadi insan yang bisa dan selalu ikhlas memaafkan kesalahan orang lain. Amin. ( )
(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sering berdoa: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari empat perkara, yaitu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu', dari jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak didengar.

(HR. Ibnu Majah No. 3827)