3 Macam Puasa Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani
Senin, 28 Maret 2022 - 17:20 WIB
Menurut Syaikh Abdul Qâdir, ulama ahli syari’ah dan ahli thariqah berbeda pendapat tentang hadis di atas. Menurut ahli syari’ah yang dimaksud dengan berbuka adalah makan saat matahari tenggelam. Sedangkan ru’yah yang mereka maksud adalah melihat hilal untuk mementukan jatuhnya hari raya Idul Fitri.
Adapun pengertian menurut ahli thariqah, berbuka ialah kebahagiaan saat masuk surga, saat mencicipi semua kenikmatan surga. Yang dimaksud dengan ru’yah menurut ahli thariqah ialah melihat Allah SWT secara nyata pada hari kiamat dengan pandangan sirri. Semoga dengan kemuliaan Allah SWT, Ia menganugerahkan kepada kita untuk bisa melihat-Nya.
Konsep puasa thariqah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani ini sejalan dengan pemikiran Imam Ghazali.
Imam Ghazali tidak melulu memandang puasa sebagai ibadah badaniyah. Oleh karena itu, gagasannya tentang rahasia puasa pun menyadarkan kita akan pentingnya menunaikan ibadah puasa secara lahir batin.
Berikut ini enam rahasia puasa menurut Imam al Ghazali yang ditulis dalam kitab fenomenalnya Ihya’ Ulum ad Din.
Pertama adalah menundukkan mata dan mencegahnya dari memperluas pandangan ke semua yang dimakruhkan, dan dari apapun yang melalaikan hati untuk berzikir kepada Allah.
Berikutnya adalah menjaga lisan dari igauan, dusta, mengumpat, fitnah, mencela, tengkar, dan munafik.
Kedua, menahan telinga dari mendengar hal-hal yang dimakruhkan. Karena semua yang haram diucapkan, haram pula didengarkan. Allah menyamakan antara mendengar dan memakan perkara haram “sammâ’ûna lil kadzibi akkâlûna lis suht”.
Ketiga, mencegah bagian tubuh yang lain seperti tangan dan kaki dari tindakan-tindakan dosa, juga mencegah perut dari makan barang syubhat ketika berbuka.
Mana mungkin bermakna, orang berpuasa dari makanan halal lalu berbuka dengan makanan haram. Ibaratnya seperti orang yang membangun gedung tetapi menghancurkan kota.
Nabi Muhammad pernah bersabda, “Banyak sekali orang yang berpuasa namun yang ia dapat hanya lapar dan haus. Ia adalah orang yang berbuka dengan haram.
“Ia yang berpuasa lalu berbuka dengan memakan daging sesama, yaitu dengan ghibah.”
Keempat, adalah tidak memperbanyak makan ketika berbuka, mengisi perut dan mulut dengan tidak sewajarnya. Maka, apalah arti puasa jika saat berbuka seseorang mengganti apa yang hilang ketika waktu siang, yaitu makan. Bahkan, justru ketika Ramadhan makanan akan lebih beragam.
Apa yang tidak dimakan di bulan-bulan selain Ramadhan malah tersedia saat Ramadhan. Padahal, maksud dan tujuan puasa ialah mengosongkan perut dan menghancurkan syahwat, supaya diri menjadi kuat untuk bertakwa.
Supaya hati setelah berbuka berguncang antara khouf (takut) dan roja’ (mengharap). Karena, ia tidak tahu apakah puasanya diterima dan ia menjadi orang yang dekat dengan Allah, ataukah puasanya ditolak dan ia menjadi orang yang dibenci.
Dan seperti itulah adanya di seluruh ibadah ketika selesai dilaksanakan.
Puasa Hakikat
Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, adapun puasa hakikat adalah menjaga qalbu dari mencintai selain Allah SWT dan menjaga rasa (sirri) agar tidak mencintai musyahadah pada selain Allah SWT.
Siiri itu berasal dari cahaya Allah, sehingga tidak mungkin condong kepada selain Allah. Bagi orang yang berpuasa tarekat, di dunia ini maupun di akhirat, tidak ada yang dicintai, diingini, dan dicari selain Allah SWT.
Adapun pengertian menurut ahli thariqah, berbuka ialah kebahagiaan saat masuk surga, saat mencicipi semua kenikmatan surga. Yang dimaksud dengan ru’yah menurut ahli thariqah ialah melihat Allah SWT secara nyata pada hari kiamat dengan pandangan sirri. Semoga dengan kemuliaan Allah SWT, Ia menganugerahkan kepada kita untuk bisa melihat-Nya.
Konsep puasa thariqah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani ini sejalan dengan pemikiran Imam Ghazali.
Imam Ghazali tidak melulu memandang puasa sebagai ibadah badaniyah. Oleh karena itu, gagasannya tentang rahasia puasa pun menyadarkan kita akan pentingnya menunaikan ibadah puasa secara lahir batin.
Berikut ini enam rahasia puasa menurut Imam al Ghazali yang ditulis dalam kitab fenomenalnya Ihya’ Ulum ad Din.
Pertama adalah menundukkan mata dan mencegahnya dari memperluas pandangan ke semua yang dimakruhkan, dan dari apapun yang melalaikan hati untuk berzikir kepada Allah.
Berikutnya adalah menjaga lisan dari igauan, dusta, mengumpat, fitnah, mencela, tengkar, dan munafik.
Kedua, menahan telinga dari mendengar hal-hal yang dimakruhkan. Karena semua yang haram diucapkan, haram pula didengarkan. Allah menyamakan antara mendengar dan memakan perkara haram “sammâ’ûna lil kadzibi akkâlûna lis suht”.
Ketiga, mencegah bagian tubuh yang lain seperti tangan dan kaki dari tindakan-tindakan dosa, juga mencegah perut dari makan barang syubhat ketika berbuka.
Mana mungkin bermakna, orang berpuasa dari makanan halal lalu berbuka dengan makanan haram. Ibaratnya seperti orang yang membangun gedung tetapi menghancurkan kota.
Nabi Muhammad pernah bersabda, “Banyak sekali orang yang berpuasa namun yang ia dapat hanya lapar dan haus. Ia adalah orang yang berbuka dengan haram.
“Ia yang berpuasa lalu berbuka dengan memakan daging sesama, yaitu dengan ghibah.”
Keempat, adalah tidak memperbanyak makan ketika berbuka, mengisi perut dan mulut dengan tidak sewajarnya. Maka, apalah arti puasa jika saat berbuka seseorang mengganti apa yang hilang ketika waktu siang, yaitu makan. Bahkan, justru ketika Ramadhan makanan akan lebih beragam.
Apa yang tidak dimakan di bulan-bulan selain Ramadhan malah tersedia saat Ramadhan. Padahal, maksud dan tujuan puasa ialah mengosongkan perut dan menghancurkan syahwat, supaya diri menjadi kuat untuk bertakwa.
Supaya hati setelah berbuka berguncang antara khouf (takut) dan roja’ (mengharap). Karena, ia tidak tahu apakah puasanya diterima dan ia menjadi orang yang dekat dengan Allah, ataukah puasanya ditolak dan ia menjadi orang yang dibenci.
Dan seperti itulah adanya di seluruh ibadah ketika selesai dilaksanakan.
Puasa Hakikat
Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, adapun puasa hakikat adalah menjaga qalbu dari mencintai selain Allah SWT dan menjaga rasa (sirri) agar tidak mencintai musyahadah pada selain Allah SWT.
Siiri itu berasal dari cahaya Allah, sehingga tidak mungkin condong kepada selain Allah. Bagi orang yang berpuasa tarekat, di dunia ini maupun di akhirat, tidak ada yang dicintai, diingini, dan dicari selain Allah SWT.