Kisah Urwah bin Zubair dan Doa 4 Remaja di Kaki Kakbah yang Terkabul

Minggu, 10 April 2022 - 19:52 WIB
Tatkala amirul mukminin mengundang Urwah untuk berziarah ke Damaskus. Ia mengabulkan undangan tersebut dan mengajak putra sulungnya. Amirul mukminin menyambutnya dengan gembira, memperlakukannya dengan penuh hormat dan melayaninya dengan ramah.

Kemudian datanglah ketetapan dan kehendak Allah, laksana angin kencang yang tak dikehendaki penumpang perahu. Putra Urwah masuk ke kandang kuda untuk melihat kuda-kuda piaraan pilihan. Tiba-tiba saja seekor kuda menyepaknya dengan keras hingga menyebabkan kematiannya.

Belum lagi tangan seorang ayah ini bersih dari tanah penguburan putranya, salah satu telapak kakinya terluka. Betisnya tiba-tiba membengkak, penyakit semakin menjalar dengan cepatnya.

Kemudian bergegaslah amirul mukminin mendatangkan para tabib dari seluruh negeri untuk mengobati tamunya dan memerintahkan mereka untuk mengobati Urwah dengan cara apa pun.

Namun, para tabib itu sepakat untuk mengamputasi kaki Urwah sampai betis sebelum penyakit menjalar ke seluruh tubuh yang dapat merenggut nyawanya.

Jalan itu harus ditempuh. Tatkala ahli bedah telah datang dengan membawa pisau untuk menyayat daging dan gergaji untuk memotong tulangnya, tabib berkata kepada Urwah, “Sebaiknya kami memberikan minuman yang memabukkan agar Anda tidak merasakan sakitnya diamputasi.”

Akan tetapi Urwah menolak, “Tidak perlu, aku tidak akan menggunakan yang haram demi mendapatkan afiat (kesehatan). Tabib berkata, “Kalau begitu kami akan membius Anda!” beliau menjawab, “Aku tidak mau diambil sebagian dari tubuhku tanpa kurasakan sakitnya agar tidak hilang pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Ketika operasi hendak dimulai, beberapa orang mendekati Urwah, lalu ia bertanya, “Apa yang hendak mereka lakukan?” Lalu dijawab, “Mereka akan memegangi Anda, sebab bisa jadi Anda nanti merasa kesakitan lalu menggerakkan kaki dan itu bisa membahayakan Anda.”

Urwah berkata, “Cegahlah mereka, aku tidak membutuhkannya. Akan kubekali diriku dengan zikir dan tasbih.”

Mulailah Tabib menyayat dagingnya dengan pisau dan tatkala mencapai tulang, diambillah gergaji untuk memotongnya. Sementara itu Urwah tak henti-hentinya mengucapkan, “Laa ilaaha Illa Allah Allahu Akbar”, sang tabib terus melakukan tugasnya dan Urwah juga tetap bertakbir hingga selesai proses amputasi itu.

Setelah itu dituangkanlah minyak yang telah dipanaskan mendidih dan dioleskan dibetis Urwah bin Zubair untuk menghentikan perdarahan dan menutup lukanya. Urwah pingsan untuk beberapa lama dan terhenti membaca ayat-ayat Al-Qur’an di hari itu. Inilah satu-satunya hari di mana ia tidak bisa melakukan kebiasaan yang ia jaga sejak remajanya.



Ketika Urwah tersadar dari pingsannya, ia meminta potongan kakinya. Dibolak-baliknya sambil berkata, “Dia (Allah) yang membimbing aku untuk membawamu di tengah malam ke masjid, Allah Maha Mengetahui bahwa aku tak pernah menggunakannya untuk hal-hal yang haram.”

Kemudian dibacanya syair Ma’an bin Aus:

Tak pernah kuingin tanganku menyentuh yang haram

Tidak juga kakiku membawaku kepada yang haram

Telinga dan pandangan mataku pun demikian

Tidak pula menuntun ke arahnya pandangan dan pikiran

Aku tahu, tiadalah aku ditimpa musibah dalam kehidupan

Melainkan telah menimpa orang sebelumku.

Kejadian tersebut membuat amirul mukminin, Al-Walid bin Abdul Malid sangat terharu. Urwah telah kehilangan putranya, lalu sebelah kakinya. Maka dia berusaha menghibur dan menyabarkan hati tamunya atas musibah yang menimpanya tersebut.

Bersamaan dengan itu, di rumah khalifah datang satu rombongan Bani Abbas yang salah seorang di antaranya buta matanya. Kemudian al-Walid menanyakan sebab musabab kebuataannya.

Di menjawab, “Wahai amirul mukminin, dulu tidak ada seorang pun di kalangan Bani Abbas yang lebih kaya dalam harta dan anak dibanding saya. Saya tinggal bersama keluarga di lembah di tengah kaum saya. Mendadak muncullah air bah yang langsung menelan habis seluruh harta dan keluarga saya. Yang tersisa bagi saya hanyalah seokor unta dan seorang bayi yang baru lahir. Maka saya taruh bayi itu di atas tanah lalu saya kejar onta tadi. Belum seberapa jauh, saya mendengar jerit tangis bayi itu.

Saya menoleh, ternyata kepalanya telah berada di mulut srigala yang telah memangsanya. Saya kembali, tapi tak bisa berbuat apa-apa lagi karena bayi itu telah habis dilalapnya. Lalu serigala itu lari dengan kencangnya. Akhirnya aku kembali mengejar onta liar tadi sampai dapat. Tapi begitu saya mendekat dia menyepak dengan keras hingga hancur wajah saya dan buta kedua mata saya.

Demikianlah saya dapati diri saya kehilangan semua harta dan keluarga dalam sehari semalam saja dan hidup tanpa memiliki penglihatan.”

Kemudian Al-Walid berkata kepada pengawalnya, “Ajaklah orang ini menemui tamu kita Urwah, lalu mintalah agar ia mengisahkan nasibnya agar beliau tahu bahwa ternyata masih ada orang yang ditimpa musibah lebih berat darinya.”

Tatkala beliau diantarkan pulang ke Madinah dan menjumpai keluarganya, Urwah berkata sebelum ditanya, “Janganlah kalian risaukan apa yang kalian lihat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberiku empat orang anak dan Dia berkehendak mengambil satu. Maka masih tersisa tiga. Puji syukur bagi-Nya. Dia mengambil sedikit dariku dan masih banyak yang ditinggalkan-Nya untukku. Bila Dia menguji sekali, kesehatan yang Dia karuniakan masih lebih banyak dan lama darinya.”

Demi melihat kedatangan dan keadaan imam dan gurunya, maka penduduk Madinah segera datang berbondong-bondong ke rumahnya untuk menghibur.

Yang paling baik di antara teman-teman Urwah adalah dari Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah, “Bergemberilalah wahai Abi Abdillah, sebagian dari tubuhmu dan putramu telah mendahuluimu ke surga. Insya Allah yang lain akan segera menyusul kemudian. Karena rahmat-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala meninggalkan engkau untuk kami, sebab kami ini fakir dan memerlukan ilmu fiqih dan pengetahuanmu. Semoga Allah memberikan manfaat bagimu dan juga kami. Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah wali bagi pahala untukmu dan Dia pula yang menjamin kebagusan hisab untukmu.”



Mendidik Anak dengan Cinta

Urwah bin Zubair menjadi menara hidayah bagi kaum muslimin. Menjadi penunjuk jalan kemenangan dan menjadi da’i selama hidupnya. Perhatiannya yang paling besar adalah mendidik anak-anaknya secara khusus dan generasi Islam secara umum. Urwah tidak suka menyia-nyiakan waktu dan kesempatan untuk memberikan petunjuk dan selalu mencurahkan nasihat demi kebaikan mereka.

Tak bosan-bosannya ia memberikan motivasi kepada para putranya untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Katanya, “Wahai putra-putriku, tuntutlah ilmu dan curahkan seluruh tenagamu untuknya. Karena, kalaupun hari ini kalian menjadi kaum yang kerdil, kelak dengan ilmu tersebut Allah menjadikan kalian sebagai pembesar kaum.”

Lalu beliau melanjutkan, “Sungguh menyedihkan, adakah di dunia ini yang lebih buruk daripada seorang tua yang bodoh?”

Ia anjurkan mereka untuk memperbanyak sedekah, sedangkan sedekah adalah hadiah yang ditujukan kepada Allah.

Katanya, “Wahai anak-anakku, janganlah kalian menghadiahkan kepada Allah dengan apa yang kalian merasa malu menghadiahkannya kepada para pemimpin kalian, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mulia, Maha Pemurah dan lebih berhak didahulukan dan diutamakan.”

Urwah senantiasa mengajak orang-orang untuk memandang suatu masalah dari sisi hakekatnya. Katanya, “Wahai putra-putriku, jika kalian melihat kebaikan pada seseorang maka akuilah itu baik, walaupun dalam pandangan banyak orang dia adalah jahat. Sebab setiap perbuatan baik itu pastilah ada kelanjutannya. Dan jika melihat pada seseorang perbuatan jahat, maka hati-hatilah dalam bersikap walaupun dalam pandangan orang-orang dia adalah orang yang baik. Sebab setiap perbuatan itu ada kesinambungannya. Jadi camkanlah, kebaikan akan melahirkan kebaikan setelahnya dan kejahatan menimbulkan kejahatan berikutnya.”

Ia juga mewasiatkan agar berlemah lembut, bertutur kata yang baik dan berwajah ramah. Katanya, “Wahai putra-putriku, tertulis di dalam hikmah, ‘Jadikanlah tutur katamu indah dan wajahmu penuh senyum, sebab hal itu lebih disukai orang daripada suatu pemberian’.”

Jika ia melihat seseorang condong pada kemewahan dan mengutamakan kenikmatan, diingatkannya betapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membiasakan diri untuk hidup sederhana.

Sebagai contoh adalah kisah yang diceritakan oleh Muhammad bin Al-Munkadir, “Aku bertemu dengan Urwah bin Zubair. Dia menggandeng tanganku dan berkata, ‘Wahai Abu Abdillah.’ Aku jawab, ‘Labbaik’.”



Urwah berkata, “Aku pernah menjumpai ibuku Aisyah radhiyallahu ‘anha lalu beliau berkata, “Wahai anakku, demi Allah, adakalanya selama 40 hari tak ada api di rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk api ataupun masak.” Maka aku bertanya, “Bagaimana Anda berdua hidup pada masa itu?” Beliau menjawab, “Dengan korma dan air.”

Urwah hidup hingga usia 71 tahun. Hidupnya penuh dengan kebajikan, kebaktian dan diliputi ketakwaan. Ketika dirasa ajalnya telah dekat dan dia dalam keadaan shaum, keluarganya mendesak agar ia mau makan, tetapi ia menolak keras karena ingin berbuka di sisi Allah dengan minuman dari telaga Al-Kautsar yang dituangkan dalam gelas-gelas perak oleh bidadari-bidadari cantik dari surga.
Halaman :
Follow
Hadits of The Day
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Akan ada di akhir zaman para 'Dajjal Pendusta' (bukan Al-Masih Ad-Dajjal) membawa hadits-hadits kepada kalian yang mana kalian tidak pernah mendengarnya dariku dan bapak-bapak kalian pun juga belum pernah mendengarnya. Maka jauhilah mereka, agar mereka tidak bisa menyesatkan kalian dan tidak bisa memfitnah kalian.

(HR. Muslim No. 8)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More